Peran baru itu menjadi sebab Kinasih berpikir keras. Pesan atau nasihat Agung Sedayu padanya tentu bukan sekedar ucapan tanpa makna. Mendadak berhenti dari perkelahian atau melepaskan diri dari ikatan pertarungan adalah pantangan bagi orang-orang yang digembleng dengan nilai kesatria. “Apakah Ki Rangga tidak salah berucap kata?” tanya Kinasih membatin. Gadis muda itu kemudian membayangkan paras anggun Nyi Banyak Patra seandainya mendengar dirinya keluar dari gelanggang karena terdesak. Sesaat kemudian Kinasih menggeleng-gelengkan kepala sambil bergumam lirih, “Entahlah, apakah beliau akan murka padaku atau tidak? Aku tidak tahu.”
Agung Sedayu cepat berpaling kemudian lurus memandang wajah ayu di depannya. “Apakah kau mengatakan sesuatu?”
“Oh, tidak, tidak,” sahut Kinasih cepat sambil mengusap wajah disertai tarikan napas panjang. “Tidak, Ki Rangga. Saya hanya ingin membayangkan sikap guru seandainya beliau mengetahui perubahan pada sebuah pertarungan.”
Agung Sedayu mengangguk kemudian berkata, “Aku dapat mengerti tapi aku pun dapat menjelaskan seluruhnya di depan gurumu.”
“Terima kasih. Ki Rangga sudah berkenan begitu jauh dalam hubungan kami berdua,” ucap Kinasih.
Waktu berlalu dalam sekejap ketika Agung Sedayu kembali larut dalam persoalan inti ; pengembangan gelar dan siasat. Senapati pasukan khusus Mataram yang kerap mendampingi Panembahan Senapati pada banyak pertempuran itu telah mencapai keputusan akhir. Namun dia tidak mengungkap pikirannya di depan Kinasih, melainkan beberapa penugasan yang benar-benar membutuhkan kecermatan dan keahlian khusus.
“Aku akan kembali ke Jagaprayan, lalu menyampaikan perubahan ini pada Nyi Pandan Wangi. Selanjutnya aku dapat meminta beliau meneruskan ke Pangeran Selarong,” bisik Agung Sedayu.
“Saya mendukung semua keputusan Ki Rangga,” sahut lirih Kinasih sambil mengangguk dalam-dalam. Lantas dia bertanya dengan suara pelan, “Apakah saya dizinkan bergerak sekarang?”
Agung Sedayu mengangguk. “Berhati-hatilah. Ada serombongan orang berkuda yang mendekati tempat ini. Mereka datang dari utara,” bisik Agung Sedayu.
Kinasih mengerutkan kening. Dia tidak mendengar ketuk sepatu kuda di atas permukaan jalan atau tanah kering. Semakin kagumlah dirinya pada kemampuan Agung Sedayu – yang menurutnya – mungkin setara dengan Nyi Banyak Patra. Setelah beberapa kali menarik napas panjang, Kinasih melesat pada arah yang ditunjuk Agung Sedayu demi menjalankan tugasnya.

Itu tugas yang sangat berat. Dia harus menemui Sekar Mirah, Dharmana lalu melibatkan Sayoga dan Sukra dalam tugas barunya. Tapi sebelum menemui lalu bicara pada mereka satu demi satu, Kinasih harus dapat menembus rintangan yang menghalangi tempat mereka dengan pedukuhan induk. Penjagaan yang sangat ketat yang diterapkan berlapis oleh Ki Garu Wesi dibantu Ki Sonokeling itu tidak main-main! Benteng pendem menjadi pertahanan yang dikhawatirkan Agung Sedayu
Menempuh jalur air berupa potonga-potongan aliran sungai memang dapat menjadi pilihan. Tapi Agung Sedayu telah menimbang kemungkinan Ki Garu Wesi memasang perangkap di beberapa bagian. Jaring-jaring tipis atau tali halus yang terhubung dengan benda-benda yang dapat mengeluarkan bunyi keras menjadi perangkap yang terpikirkan olehnya. Maka dengan bekal pesan tersebut, Kinasih kemudian mengambil jalan yang hampir mustahil ; .memintas jalur melalui dahan dan ranting. Murid Nyi Banyak Patra itu akan berloncatan dari pohon ke pohon. Bila dipandang perlu, maka dia harus merayap lalu melayang dalam sekejap untuk melenyapkan diri dari pengawasan lawan!
Demikianlah sebelum mata mengerjap dua kali, Kinasih telah menghilang dari pandangan. Sesuai pesan Agung Sedayu, gadis perkasa itu pun seolah melayang di sela-sela pepohonan yang rapat meski tak rapi berbaris. Kadang kala dia harus meratakan tubuh dengan permukaan tanah lalu berlindung di balik semak-semak. Kemampuan Kinasih dalam meringankan tubuh benar-benar luar biasa. Sangat mengagumkan! Sedikit sekali bunyi yang terjadi akibat gesekan antar daun atau karena hentakan tubuhnya. Keadaan itu terus berlangsung hingga dia dapat melihat pertigaan yang menghubungkan Watu Sumping dengan rumah Ki Demang Sangkal Putung. Untuk sesaat dia merasa membutuhkan waktu untuk berpikir. Mengapa bukan Ki Rangga sendiri yang mendatangi rumah Ki Demang? Mengapa Ki Rangga memilih dirinya? Bukankah itu dapat menimbulkan kecurigaan dalam hati Nyi Sekar Mirah? Jantung Kinasih berdesir cepat. Lebih cepat jika dibandingkan pertemuan pertama dengan Agung Sedayu. Tiba-tiba telapak tangannya mendingin.
Yang terhormat Pembaca Setia Blog Padepokan Witasem.
Kami mengajak Panjenengan utk menjadi pelanggan yang lebih dulu dapat membaca wedaran Kitab Kyai Gringsing serta kisah silat lainnya dari Padepokan Witasem. Untuk mendapatkan kelebihan itu, Panjenengan akan mendapatkan bonus tambahan ;
Kitab Kyai Gringsing (3 Jilid PDF) dan Penaklukan Panarukan serta Bara di Bukit Menoreh (KKG jilid 4) bila sudah selesai. Caranya? Berkenan secara sukarela memberi kontribusi dengan nilai minimal Rp 25 rb/bulan melalui transfer ke BCA 822 05 22297 atau BRI 31350 102162 4530 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi transfer mohon dikirimkan ke WA 081357609831
Tanya Jawab ; T ; Bagaimana jika Kitab Kyai Gringsing Buku ke-4 sudah selesai? Apakah akan ada kelanjutannya?
J ; Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik demi keberlangsungan kisah..
Demikian pemberitahuan. Terima kasih.
“Perjumpaanku dengan Nyi Sekar Mirah dapat menjadi bahaya bagi rumah tangga Ki Rangga. Oh, adakah jalan lain?” keluh Kinasih. TIba-tiba dia ingin mengumpat dirinya sendiri yang dianggapnya cukup bodoh dalam menerima tugas tanpa bertanya terlebih dulu. Lalu muncul anggapan lain dalam pikirannya, bukankah mereka sedang berusaha untuk menanggulangi bahaya? Menemui Sayoga atau Sukra terlebih dulu pun dapat menjadi api di dalam sekam. Mereka pun mungkin juga berpikir dan bertanya, mengapa bukan Ki Rangga sendiri yang datang ke pedukuhan induk? Kinasih menepuk jidatnya sendiri lalu mengepalkan tangan, “Apakah aku pernah melihat wajah mereka berdua?”
Fajar masih jauh dari batas cakrawala saat Kinasih menapakkan kaki di bawah pohon yang tumbuh di sekitar pertigaan. Setelah memperhitungkan waktu dan menimbang keadaan, Kinasih berencana akan menuju ke rumah Ki Demang ketika orang-orang mulai tampak dengan kesibukan. “Hari masih terlalu dini jika aku melakukannya sekarang. Para pengawal sudah pasti menaruh kecurigaan besar padaku meski aku menunjukkan lencana khusus Ki Rangga,” ucap murid Nyi Banyak Patra itu dalam hati.
Pada waktu yang sebentar itu, Kinasih berpikir keras karena dia akan berada di tengah-tengah hubungan Sekar Mirah dan Agung Sedayu. Dia dapat menjadi pergunjingan banyak orang dan mungkin juga menimbulkan tuduhan sebagai perusak rumah tangga. Kinasih mendesah panjang lalu berucap dalam hati, “Hah, aku harap Nyi Sekar Mirah dapat berpikir dan bersikap yang sewajarnya. Bahwa aku adalah utusan seorang senapati dan keadaan sudah diambang peperangan.” Setelah memantapkan hati dengan memperkirakan semua anggapan-anggapan yang akan muncul di kemudian hari, Kinasih tegak mengayun langkah menuju kediaman Ki Demang Sangkal Putung.
Sesampainya di regol halaman, Kinasih mengatakan jati diri dan keperluannya di depan ketua regu jaga.
“Apakah Ni Sanak dapat memperlihatkan pada kami sesuatu sebagai bukti?” tanya ketua regu.
“Tentu saja itu sudah kewajiban saya untuk menunjukkan benda yang Ki Sanak maksudkan,” jawab Kinasih lalu memperlihatkan lencana yang hanya dimiliki oleh Agung Sedayu.
Ketua regu pun mengambilnya dari tangan Kinasih lalu memeriksa dengan cermat. Katanya kemudian, “Ini benar milik Ki Rangga.” Setelah memandang wajah Kinasih sesaat, sepertinya ketua regu itu sedang menimbang sesuatu di dalam pikirannya, dia berkata lagi, “Saya tidak dapat segera mempertemukan Ni Sanak dengan Nyi Sekar Mirah. Saya harus minta izin sambil memperlihatkan lencana ini pada beliau.”
Kinasih mengganguk sambil menjawab, “Silahkan, Ki. Saya menunggu di sini dan akan menerima segala hal yang datang dari Nyi Sekar Mirah.” Dalam hati Kinasih, dia memuji kerapian kerja dan ketegasan regu pengawal. Ini dapat menjadi ikatan kuat saat kademangan berada di bawah tekanan, pikirnya.
Ketua regu pun berlalu dari hadapan Kinasih.
“Siapakah dia?” tanya Sekar Mirah pada ketua regu. Tampaknya adik Swandaru ini sudah mengetahui kedatangan gadis muda yang berdiri di dekat regol.
Ketua regu jaga terlebih dulu menjelaskan keadaan di depan, lalu menjawab pertanyaan Sekar Mirah, “Gadis itu bernama Kinasih. Datang dari kotaraja dan mengaku sebagai murid Nyi Ageng Banyak Patra.”
Sekar Mirah mengerutkan kening ketika mendengar nama yang jarang didengarnya. “Nyi Banyak Patra…,” ulang Sekar Mirah dalam hati. Lalu dia bertanya pada dirinya sendiri, bukankah nama itu adalah saudara mendiang Panembahan Senapati? Sejenak kemudian, Sekar Mirah menaruh perhatian penuh pada penjelasan ketua regu jaga mengenai Kinasih dan keperluannya.
“Baiklah,” ucap Sekar Mirah. “Persilahkan Kinasih bertemu denganku di sini.” Dia harus diberikan sedikit ketenangan dan rasa nyaman, pikir Sekar Mirah. Kemudian dia meminta seorang perempuan tengah baya agar mempersiapkan sekedar perjamuan untuk tamunya itu.
Sekelebat bayangan melesat dari bagian dalam rumah, tiba-tiba Sukra telah berada di beranda dalam keadaan siaga.
