Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 53 – Utusan Khusus Agung Sedayu Itu Bernama Kinasih

“Sukra!” seru Sekar Mirah dengan suara lirih. “Tidak mengapa. Gadis itu utusan Ki Lurah.”

Sukra lantas menepi namun tatap matanya penuh dengan pandangan selidik. “Ki Lurah mengutus seorang perempuan,” tanya Sukra dalam hati pada dirinya sendiri. Ketika Kinasih sudah berada di dekatnya, Sukra bertanya dingin, “Bagaimana keadaan Ki Lurah?”

Kinasih terdiam karena pertanyaan itu dilontarkan dengan nada yang terdengar agak ketus. Oleh sebab dia belum mengenal Sukra, maka Kinasih menjawab dengan anggukan saja.

“Itu bukan jawaban,” ucap Sukra dengan raut wajah yang tidak menyenangkan.

“Saya tidak tahu maksud Kakang,” kata Kinasih. “Siapakah Ki Lurah yang Kakang maksudkan?”

Sukra membuang muka lantas berkata, “Aku bukan kakamu.” Kemudian dia berlalu meninggalkan murid tunggal Nyi Banyak Patra yang berdiri sambil memandangnya dengan mulut ternganga.

“Masuklah, ayo, silahkan, aku sudah menunggumu,” kata Sekar Mirah dari pringgitan dengan senyum mengembang sembari menggeleng-geleng karena geli melihat kejadian ingkat itu.

“Permisi, Nyi,” ucap Kinasih dengan tubuh sedikit membungkuk, lalu meraih punggung tangan Sekar Mirah yang bebas kemudian menciumnya.

“Anak itu bernama Sukra,” kata Sekar Mirah sesaat setelah Kinasih duduk di depannya. “Dia sudah bersama kami sejak usia belia. Mungkin sudah belasan tahun. Ki Lurah yang dimaksud olehnya itu adalah Ki Rangga Agung Sedayu. Sukra tidak mengubah caranya menyebut atau memanggil orang yang sepertinya mendapat tempat khusus di hatinya itu.”

Kinasih mendengar penuh perhatian sambil sekali-kali memandang wajah bayi perempuan yang pulas dalam timangan Sekar Mirah.

“Beberapa orang pernah menyatakan keberatan atas cara Sukra itu, tapi kami sudah meminta permakluman agar mereka dapat menerima Sukra seperti kami yang hidup bersama.”

Kinasih mengangguk tapi pandang matanya lekat tertuju pada bayi perempuan itu.

“Oh, ini, aku perkenalkan padamu. Anak perempuan yang lahir ketika Sangkal Putung dilanda kekacauan beberapa waktu lalu,” ucap Sekar Mirah diiringi desah napas panjang ketika ingatannya melesat ke masa beberapa waktu lalu. “Itu keadaan yang sulit bagi kami berdua.”

Kinasih mengangguk tapi lidahnya keluh walaupun ada keinginan untuk mengatakan sesuatu.

“Aku harus bersyukur saat mendengar Ki Patih Mandaraka memilihkan nama untuknya,” lanjut Sekar Mirah lalu mengayun perlahan putrinya. “Wangi Sriwedari. Itu nama pemberian Ki Patih yang selalu saja dapat membuatku tenang lalu hanyut dalam maknanya.”

Wangi Sriwedari, ulang Kinasih dalam pikirannya. Sejenak dia terseret oleh angan namun cepat memusatkan perhatian pada pokok persoalan yang masih menunggu waktu untuk dimunculkan.

“Oh maaf, Kinasih tentu sudah tak sabar mendapat waktu untuk mengatakan sesuatu yang mungkin datang dari Kakang atau Kepatihan,” kata Sekar Mirah sambil meminta Kinasih untuk mencicipi hidangan pala pendem yang masih mengepul hangat. Pada waktu itu, watak sederhana tapi penuh pesona Kinasih menjadi aura yang dapat dirasakan oleh Sekar Mirah. Hanya saja, kedewasaan Sekar Mirah mampu membuang prasangka itu jauh-jauh.

“Saya, Nyi,” ucap lirih Kinasih.

Murid tunggal Nyi Banyak Patra segera menjelaskan rencana Agung Sedayu setahap demi setahap. Namun belum sampai pada pertengahan, Sekar Mirah memeotongnya, “Maaf, Nduk. Aku kira lebih baik Paman Dharmana juga dapat duduk bersama. Aku akan panggil beliau.”

“Hmmm…,” gumam Kinasih.

“Ada apakah?” tanya Sekar Mirah.

“Bila tidak memberatkan, Ki Rangga juga menitip pesan khusus untuk dua orang yang bernama Sayoga dan Sukra,” jawa Kinasih.

“Baik, kita kumpulkan mereka segera,” sahut Sekar Mirah dengan tegas. Dia lantas memanggil Sukra untuk mengundang dua nama yang disebut Kinasih.

Sukra masuk pringgitan sambil memandang Kinasih dengan alis yang merapat. Pikirnya, siapa sebenarnya gadis muda yang tiba-tiba membuat suasana di dalam rumah menjadi sedikit tegang?

“Sukra,” ulang Sekar Mirah.

Anak muda yang pernah mendapat sedikit pengajaran dari Pangeran Purbaya dan sentuhan Nyi Banyak Patra itu kembali melesat keluar.

“Dia tidak banyak cakap,” kata Sekar Mirah ketia Sukra sudah tidak ada di dekat mereka. “Sebagian orang sering merasa geli dengan sikapnya meskipun mereka sudah terbiasa tapi selalu saja merasa ada yang aneh dengan anak itu.”

Kinasih tersenyum, lalu katanya, “Tidak mengapa, Nyi. Saya pun harus membiasakan diri dan mungkin akan mengalami perasaan yang sama dengan orang-orang.”

Sambil menunggu kedatangan Dharmana dan Sayoga, mereka berdua kemudian terlibat dalam pembicaraan ringan seputar kehidupan di Sangkal Putung. Tapi tak lama pembicaraan itu berlangsung karena Dharmana dan Sayoga lebih cepat memenuhi panggilan Sekar Mirah. Setelah memperkenalkan tiap orang yang baru masuk ke dalam pringgitan, Sekar Mirah meminta Kinasih untuk mengulang pesan dari Agung Sedayu.

Yang terhormat Pembaca Setia Blog Padepokan Witasem.

Kami mengajak Panjenengan utk menjadi pelanggan yang lebih dulu dapat membaca wedaran Kitab Kyai Gringsing serta kisah silat lainnya dari Padepokan Witasem. Untuk mendapatkan kelebihan itu, Panjenengan akan mendapatkan bonus tambahan ;

Kitab Kyai Gringsing (3 Jilid PDF) dan Penaklukan Panarukan serta Bara di Bukit Menoreh (KKG jilid 4) bila sudah selesai. Caranya? Berkenan secara sukarela memberi kontribusi dengan nilai minimal Rp 25 rb/bulan melalui transfer ke

BCA 822 05 22297 atau BRI 31350 102162 4530 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi transfer mohon dikirimkan ke WA 081357609831

Tanya Jawab ; T ; Bagaimana jika Kitab Kyai Gringsing Buku ke-4 sudah selesai? Apakah akan ada kelanjutannya?

J ; Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik demi keberlangsungan kisah..

Demikian pemberitahuan. Terima kasih.

Dharmana dan Sayoga tekun menyimak pesan dari Agung Sedayu. Sedangkan Sukra, entah dia mendengar atau tidak, yang pasti adalah sorot matanya tajam menyayat wajah Kinasih. Tubuhnya cukup kaku seperti patung batu di pelataran candi. Sekar Mirah melihat itu tapi sepertinya wanita perkasa itu tidak terganggu dengan pikiran ganjil.

Ketika Kinasih berhenti sejenak untuk mengatur napas, Sukra menyela, “Kedatanganmu di rumah ini hanya membuat segalanya menjadi tegang. Kau bernasib baik karena adikku tidak terbangun lalu menangis.”

Orang-orang tersenyum dan merasa geli. Dalam waktu itu, Kinasih dapat memahami kedekatan hubungan mereka, terutama Sukra terhadap keluarga Ki Rangga Agung Sedayu. Sekar Mirah lantas memberi tanda supaya Kinasih melanjutkan lagi pesan Agung Sedayu serta keterangan lainnya.

Pada saat Kinasih sudah mencapai pembagian tugas, Sukra kembali menjadi pusat perhatian. Tiba-tiba tangannya mengepal dan rahangnya mengeras. Dia pun memotong keterangan Kinasih dengan nada suara yang tidak biasa, “Untuk bagianku, Ki Lurah memberiku waktu berapa lama lagi?”

Meski sedikit terkejut, tapi Kinasih cepat menguasai diri. Hanya saja Sekar Mirah sigap mengendalikan keadaan, katanya, “Bersabarlah. Semuanya nanti akan mempunyai bagian-bagian yang berkaitan.”

“Dia bertele-tele,” kata Sukra dengan muka bersungut. “Bukankah dia dapat langsung mengatakan pada Kakang Dharmana begini dan begini. Pada Sayoga [pun demikian, lalu urusanku. Bukan ke sana dan ke sini. Benar-benar tak jelas!”

Sekar Mirah melambaikan tangan pada Kinasih sebagai tanda agar tidak tersinggung dengan ucapan Sukra. Wanita yang disegani di Tanah Perdikan itu paham bahwa di dalam hati Sukra ada kerinduan mendalam pada Agung Sedayu. Kerinduan dan rasa hormat yang cukup tinggi hingga tak mampu menahan diri saat dirinya dibutuhkan senapati tangguh itu.

Kinasih pun dapat menyelami keadaan. Sikap Sukra yang aneh itu bukan tidak beralasan atau anak itu mengalami gangguan jiwa. “Tidak, sama sekali bukan seperti itu. Tapi Sukra ini sepertinya sangat ingin bertemu dengan Ki Rangga dan kecintaannya pada Ki Rangga hampir melebihi akal sehat,” ucap Kinasih dalam hatinya.

Demikianlah Kinasih kemudian menerangkan tugas masing-masing orang. Sayoga dan Sukra akan berpasangan dan menjadi satuan khusus untuk mengejutkan pasukan Ki Garu Wesi yang berhimpun di sekitar Watu Sumping. Dharmana tetap menjadi pengendali utama keamanan pedukuhan induk dan sekitarnya termasuk Janti serta Gondang Wates. Sedangkan Bunija dan beberapa satuan pengawal ditugaskan bersiap memutus jalur yang menghubungkan Sangkal Putung dengan Tanah Perdikan Menoreh. Seluruhnya akan bergerak serentak dengan tanda khusus dari Agung Sedayu dan Kinasih.

“Semua orang mendapatkan tugas dan peran, tapi aku duduk di sini,” kata sedih Sekar Mirah.

Dharmana tersenyum tapi yang berkata kemudian adalah Sayoga. “Mbokayu bukan sedang duduk dan melihat saja. Justru kami akan mampu bertarung dengan sangat kuat bila Mbokayu tampak begitu tenang. Mbokayu adalah mahkota raja bagi kami.”

“Kau ini, tahu apa?” seloroh Sukra dengan wajah datar.

Kisah Terkait

Bara di Bukit Menoreh 36 – Pilihan Sulit Utusan Ki Untara untuk Kotaraja ; Kraton atau Kepatihan

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 46 – Pandan Wangi adalah Ancaman Nyata

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 51 – Senandung Asmara di Sekitar Agung Sedayu

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.