Ki Demang Brumbung mendengarkan penuh seksama sambil disertai kepala yang tampak manggut-manggut sesekali. “Keadaan….,” gumamnya, kemudian memandang Agung Sedayu dengan tatap mata penuh arti.
Agung Sedayu mencoba menebak-nebak isi pikiran Ki Demang Brumbung, lalu bertanya, “Apakah Ki Demang sedang membayangkan seseorang akan mengajak bergabung pada salah satu pendapat?”
Ki Demang Brumbung menarik napas panjang, lalu menghembuskan pelan, lantas menjawab, “Itulah yang saya pikirkan tentang keadaan seperti yang dikatakan Ki Rangga.” Sejenak kemudian, dia merenungkan kalimat yang akan diucapkan di depan Agung Sedayu, lalu berkata, “Bagaimana jika pilihan itu menjadi satu-satunya yang ada di depan Ki Rangga?”
“Apakah akan menjadi lebih baik seandainya kita turut larut dalam perbedaan pendapat, Ki Lurah?” bertanya Agung Sedayu.
Ki Demang Brumbung menggeleng sambil berkata, “Sulit, tentu saja itu menjadi jalan yang sangat sulit ditempuh oleh orang-orang yang berkedudukan seperti kita. Sebagai penjaga keseimbangan, seperti yang Ki Rangga katakan, berarti hanya satu perintah atau satu keadaan saja yang dapat menjadikan kita berdiri di tengah-tengah.”
“Sama-sama menjadi keadaan yang tidak menyenangkan atau menenangkan,” ucap Agung Sedayu.
“Tapi, sebagai rangga dan sekaligus orang yang dapat dianggap cukup dekat dengan Ki Patih Mandaraka, tentu Ki Rangga mempunyai dasar pemikiran yang berbeda dengan kami semua.”
“Begitulah, Ki Demang. Saya sudah memikirkan itu, bahwa kebanyakan orang akan menilai saya seperti yang dikatakan Ki Demang baru saja,” ucap Agung Sedayu kemudian menyandarkan diri pada tiang penyangga atap beranda. Cukup lama dia bersandar hingga gerimis perlahan-lahan jatuh lalu membasahi atap gedung Kepatihan. Kemudian senapati pasukan khusus Mataram itu berkata, “Dari pesisir utara hingga pantai selatan, dari puncak Gunung Lawu sampai Merbabu, sepertinya kita akan berputar-putar pada akar persoalan yang sama.”
“Bagaimana, Ki Rangga?” tanya Ki Demang Brumbung.
“Kita adalah segolongan orang yang jauh dari pusat kekuasaan. Kita hanya serpihan kecil yang mengelilingi lingkaran, jadi saya pikir lebih baik kita mengalihkan pandangan pada pergerakan Raden Atmandaru. Karena, tentu saja, mereka tidak berhenti atau puas dengan hasil yang dicapai di Alas Krapyak,” jawab Agung Sedayu.
Ki Demang Bumbung pun sepakat dengan pendapat Agung Sedayu, kemudian kerabat dekat Ki Selagilang itu bertanya, “Apakah Ki Rangga akan mengerahkan pasukan di Tanah Perdikan secara mandiri atau dengan dukungan Ki Tumenggung Untara?”
Agung Sedayu tersenyum, lalu jawabnya, “Tentu saja tidak ada yang dapat dilakukan dari dua pilihan yang ditawarkan Ki Demang.”
Ki Demang Brumbung bergeser selangkah demi selangkah hingga mencapai tepi beranda. Sambil memandang perbukitan yang terletak di sisi utara Kepatihan, dia berkata, “Benar, tentu saja kita tidak dapat mengeluarkan kekuatan Mataram tanpa sepengetahuan salah satu dari dua pangeran Mataram. Bahkan seandainya saya sendiri yang mengirim laskar pengawal dari Pegunungan Sewu pun tetap saja dapat dijatuhi hukuman bersalah.“
“Jadi…,” kata Agung Sedayu setelah menarik napas panjang. “Apa yang sebaiknya kita lakukan, Ki Demang?”
Sikap senapati pasukan khusus itu benar-benar di luar dugaan Ki Demang Brumbung. Sambil menggeleng kepala berulang-ulang, Ki Demang pun melepas senyum penuh arti. Dia tahu bahwa Agung Sedayu tidak berada dalam kebimbangan tapi sebuah kesengajaan yang dapat memaksanya berpikir lebih keras. Walau demikian, Ki Demang Brumbung tahu bahwa mereka berdua tidak sedang bersenda gurau. Maka, lurah muda yang cukup disegani di kalangan prajurit itu pun berkata, “Saya manut Ki Rangga saja.”
“Baiklah,” ucap Agung Sedayu sambil menarik punggung dari pilar beranda. “Kita tidak akan berpihak pada salah satu atau semua orang yang mempunyai pendapat atau kepentingan. Ki Demang, saat kita berada di sini atau ketika berada di tempat lain, Mataram dan pesan mendiang Panembahan Hanykrawati harus menjadi perhatian yang utama. Sejenak Agung Sedayu melempar pandangan ke arah perbukitan, lalu berpaling pada Ki Demang Brumbung sambil berkata, “Kita harus lakukan sesuatu, tapi dengan sepengetahuan Ki Patih Mandaraka.”
Ki Demang mengangguk. “Raden Atmandaru tidak akan menunda waktu. Dia telah mewujudkan maksud yang mungkin dianggapnya keberhasilan yang pertama”
Di kejauhan tampak kilat membelah langit di atas Gunung Merapi lalu gaung ledakannya menjangkau hingga jauh ke dalam dada dua senapati Mataram itu. Agung Sedayu menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata, “Barangkali, seperti suara ledakan itulah Raden Atmandaru menempatkan orang-orang di dalam istana atau Kepatihan. Atau ada orang-orang yang rela menghanyutkan diri mengikuti Raden Atmandaru hingga seperti bayangan yang tak terpisahkan.”
Ki Demang Brumbung mengambil sikap seperti sedang menunggu penjelasan atau rencana Agung Sedayu selanjutnya.
Dari sorot mata Ki Demang Brumbung, Agung Sedayu mengerti bahwa ucapannya tidak dapat dihentikan begitu saja. Maka dia pun berkata lagi, “Ki Demang, percakapan ini sudah tentu dilihat banyak orang. Dari situ, beberapa orang dari mereka mungkin sudah mempunyai dugaan tentang pokok persoalan yang sedang kita bincangkan.”
“Apakah itu berarti Ki Rangga mempunyai dugaan, selain Ki Panji Secamerti, masih ada orang yang berkepala dua di sekitar sini?” tanya Ki Demang Brumbung dengan suara lirih untuk memastikan isi pikirannya.
Agung Sedayu mengangguk. “Itu sudah pasti, Ki Demang. Orang-orang yang mendua itu pasti ada di sekeliling kita namun mereka masih belum menampakkan diri atau kita yang belum menjangkau persembunyian mereka. Ki Panji Secamerti tidak dapat bergerak sendiri bila berdekatan dengan Ki Patih. Terlebih lagi, di Kepatihan telah hadir pula penyanggah yang tidak terbayangkan siapa pun, Nyi Ageng Banyak Patra, maka ruang gerak para pembangkang pun pasti semakin sempit. Untuk itu, dan karena kesabaran pun mempunyai batas, maka saya yakin mereka akan menggeliat apabila kita membuat suatu rencana yang bisa saja berdampak buruk di dalam Kepatihan ini. Rencana yang saya susun sepenuhnya tergantung pada Ki Demang.”
Dada Ki Demang Brumbung sedikit berdentang ketika Agung Sedayu memilihnya sebagai pelaksana. Tentu saja, rencana itu harus dirahasiakan termasuk orang yang harus ditemuinya atau perihal yang lain. Ki Demang lantas mengungkap perasaannya, “Bagaimana Ki Rangga tiba-tiba menunjuk saya? Bukan berarti saya menolak, tapi ini sesuatu yang mengejutkan.”
Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam kemudian berkata, “Saya mohon maaf untuk itu, Ki Demang. Tapi, siapa lagi yang dapat saya percaya dan siapa orang yang dapat secara tegas tidak berat pada kubu tertentu? Tentu saja Ki Demang dapat menganggap saya berlebihan tetapi saya tidak pernah meragukan Ki Demang, meski dan seandainya, Ki Demang ternyata lebih cenderung pada salah satu pendapat.”
Untuk beberapa lama mereka berdiam diri dengan alunan pikiran yang merambat di benak masing-masing. Kemudian Agung Sedayu memecah kesunyian dengan berucap, “Bila tidak keberatan dengan pendapat saya, Ki Demang dapat memulai pengejaran. Setidaknya, kita tidak berdiam diri sambil menunggu kabar yang dibawa Ki Patih.”
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Terima kasih.
Ki Demang Brumbung menarik napas panjang. Dia sedang bertanya di dalam pikirannya, dari mana mengawali pengejaran seperti yang diminta Agung Sedayu? Kemudian, berapa prajurit yang akan menyertainya? Jika lebih dari sepuluh orang, apakah itu akan mendapatkan izin dari pimpinan pasukan pengawal kotaraja? Kemudian Ki Demang Brumbung bertanya pada pemimpin pasukan khusus yang berdiri di sampingnya, “Lalu, menurut Ki Rangga, waktu apa yang kiranya tepat bagi saya mengawali perjalanan?”
“Kebanyakan orang mulai meningkatkan kewaspadaan ketika hari berganti malam,” jawab Agung Sedayu. Tapi, Ki Demang tetap berada di Kepatihan pada malam ini. Saya yang akan menarik perhatian mereka dengan meninggalkan Kepatihan setelah pergantian prajurit penjaga. Tentu saja, saya tidak akan terang-terangan tapi juga tidak akan menghilang begitu saja. Saya akan ada di pertengahan.”
Ki Demang Brumbung memandang Agung Sedayu dengan kening berkerut.
Kemudian Agung Sedayu melanjutkan penjelasannya, “Tentu saja, saya akan kembali terlihat oleh mereka pada pagi atau siang hari. Nah, dalam waktu itulah Ki Demang dapat meninggalkan Kepatihan bersama-sama petugas perbekalan.”
Ki Demang Brumbung mengangguk, pikirnya, bisa jadi itu adalah peralihan waktu yang tepat saat perhatian banyak orang beralih pada barang-barang yang dimuat ke atas kereta perbekalan. Dan seandainya tidak terjadi perbantahan panjang di bangsal pertemuan, Ki Patih Mandaraka dapat dipastikan sudah berada di Kepatihan pada waktu sekitar itu. Ki Demang Brumbung dapat menilai bahwa rencana Agung Sedayu memang tidak sepenuhnya akan membawa dampak baik tetapi Raden Atmandaru masih mengancam Mataram. Maka, tidak ada pilihan selain menjalankan rencana senapati tangguh Mataram yang dihormatinya itu. Terlebih dia mengetahui arah pergerakan sisa-sisa pengikut Raden Atmandaru ketika mereka meninggalkan Alas Krapyak. Bukan tidak mungkin, orang-orang yang sedang bersuka cita itu akan menebar lagi kekacauan sepanjang perjalanan mencapai Gunung Kendil.
“Ki Rangga,” ucap Ki Demang Brumbung kemudian, “dengan alasan apakah mereka tidak segera menyerang kotaraja selagi Mataram dalam keadaan berkabung?’
Agung Sedayu sedikit terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Ki Demang Brumbung. Sebenarnya dia pun berpikir sama sejak mengetahui adanya pergerakan makar Raden Atmandaru. Mengapa mereka tidak segera membenturkan kekuatan dengan cara menyerang langsung kotaraja atau menduduki wilayah-wilayah tertentu di Mataram? Mereka berkeliaran di sekitar tempat-tempat yang dahulu telah mempunyai sejarah kelam seperti Kademangan Sangkal Putung dan juga Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian Agung Sedayu mengungkap isi pikirannya, “Saya tidak sepenuhnya mempunyai dugaan yang tepat, Ki Demang. Tapi ada kemungkinan mereka sengaja menjaga jarak sedemikian rupa untuk merongrong kepercayaan orang kebanyakan pada Mataram atau juga pada mendiang Panembahan Hanykrawati. Lalu, setelah kepercayaan itu sepenuh mereka dapatkan, bukankah lebih mudah untuk mendapatkan dukungan dari orang-orang daripada mereka menyerang kotaraja pada saat ini? Tentu saja, jika menjangkau tempat yang jauh maka mereka hampir pasti sudah mendapatkan tanah-tanah untuk perbekalan dan pengikut dari orang yang mempunyai pikiran sama dengan mereka.”
Ki Demang Brumbung mengangguk-angguk mendengar pendapat Agung Sedayu.
“Lagipula, apabila Ki Demang perhatikan letak Tanah Perdikan dan Kademangan Sangkal Putung, bukankah dua wilayah itu hampir dapat dianggap mengepung kotaraja? Dua wilayah yang masing-masing berlawanan arah, maka itu menyulitkan Mataram apabila ingin menumpas dalam satu gebrakan. Pangeran Purbaya atau Pangeran Mas Rangsang harus membagi kekuatan Mataram dan tentu saja itu hanya membuat lemah. Tanah Perdikan yang berbukit-bukit adalah sarang terbaik, sedangkan Sangkal Putung dengan aliran sungai yang begitu banyak adalah lumbung terbaik. Meski ada banyak wilayah yang mempunyai kesamaan, tapi berapa jarak masing-masing wilayah tersebut dari kotaraja? Raden Atmandaru tentu sudah membuat perhitungan dan perencanaan yang sangat baik. Terus terang, saya harus menyatakan pujian atas kemampuannya itu.”
Dua senapati Mataram itu lantas berbicara dengan suara lebih pelan. Atas permintaan Agung Sedayu, mereka kembali membahas serta menguji siasat yang disusun olehnya. Untuk rencana ini, Agung Sedayu sengaja tidak melibatkan Kinasih yang sedang berada di dalam bilik yang juga ditempati Nyi Banyak Patra. Kinasih, secara khusus, mendapatkan pesan dari gurunya untuk memulihkan dirinya dari luka yang didapatnya saat mengiringi Panembahan Hanykrawati menuju Alas Krapyak.
Demikianlah para pelayan dalam Kepatihan tetap hilir mudik melayani kebutuhan dua orang yang mendapat tempat khusus di hati Ki Patih Mandaraka itu hingga hari menjelang petang. Sekali waktu mereka berdua pun membuka percakapan kecil dengan para pelayan sehingga sedikit banyak mendapatkan gambaran suasana di dalam Kepatihan.
Tibalah waktu yang harapkan Agung Sedayu untuk menjalankan rencana pertama. Agung Sedayu menyelinap masuk ke dalam biliknya, membenahi diri barang sebentar lalu berjalan keluar dengan pakaian yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Sedangkan Ki Demang Brumbung pun berjalan menuju gardu prajurit yang terletak di samping bangunan utama Kepatihan. Meski begitu, sebenarnya tugas utama Ki Demang Brumbung adalah mengamati pergerakan orang yang diperkirakan segera muncul untuk membayangi Agung Sedayu.