Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 66 – Swandaru Menebar Ancaman

“Ke mana mereka pergi dengan tujuan apa?” tanya Swandaru pada dirinya sendiri. Tapi kemudian dia merasa harus segera mengabaikan pertanyaan itu.

Swandaru melangkah lagi hingga tiba di tepi parit kecil. Murid kedua Kyai Gringsing itu berhenti sejenak sambil memandang arus air yang mengalir di bawah kakinya. Dia kemudian merangkai ulang segenap kegiatan yang dapat dilihatnya. “Nyaris tanpa cela sama sekali,” Swandaru memuji dalam hati walau belum juga dapat membuang rasa jengkel yang menggumpal dalam hatinya.

Pemikiran lain kemudian menyusul di dalam benaknya. Mengapa para pemberontak itu tiba-tiba mundur kemudian berkumpul? Pertanyaan itu menyisakan jawaban dalam ruang pikiran Swandaru. Pemimpin Kademangan Sangkal Putung itu terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Buat apa dia tahu dua orang yang mengekornya? Biarlah, pikir Swandaru. Ketika dia sudah berada di batas antara laskar Dharmana dan kelompok pemasok bahan pangan, Swandaru berhenti sejenak. Dia diam saja melihat orang-orang yang ternyata juga mengetahui kedatangannya.

Aneh, itu pemandangan yang janggal karena orang-orang pun tidak menegur sapa Swandaru!

Apakah mereka begitu takut atau sungkan pada Ki Rangga Agung Sedayu, Nyi Pandan Wangi atau Pangeran Purbaya?

Apakah keadaan itu dapat dianggap sebagai pengucilan?

Raut wajah Swandaru tampak begitu dingin seolah tidak peduli orang-orang atau pikiran mereka. Swandaru pun enggan bertanya keberadaan Dharmana. Dia pun melangkah lagi, mencari pemimpin pengawal itu dengan caranya sendiri. Agak lama setelah itu, terlihat tiga kelompok duduk melingkar dengan jumlah seluruhnya tidak menyentuh sepuluh orang. “Mungkin dia ada di sana,” ucap Swandaru dalam hati. Dia pun mengayun kaki mendekati kerumunan itu.

Dharmana segera bangkit menyambut kedatangan Swandaru Meski mereka berdua pernah berselisih pendapat tapi itu bukan alasan untuk turut membiarkan Swandaru dalam kesendirian, pikir Dharmana.

“Ki Swandaru,” sapa Dharmana dengan suara rendah. Dia mengisyaratkan agar orang-orang sekelilingnya memberi tempat pada pemimpin kademangan itu. Orang-orang pun bersegera menjalankan perintah itu.

Namun Swandaru menanggapi dengan tatap mata dingin. Wajahnya pun tampak beku. Kemudian tangannya menggerakkan tongkat seakan-akan menegaskan kedudukan dan juga jati dirinya.

Dharmana hanya dapat menelan ludah lalu meredam rasa dongkol yang mendadak muncul dalam hati sebagai tanggapan atas sikap Swandaru.

Tanpa melihat bagian longgar yang disiapkan untuknya, Swandaru berkata-kata sambil berdiri di tempatnya, “Apa dan siapa yang menyebabkan kalian berani melompat tinggi melewati kepalaku?”

Tidak ada seorang pun bersuara. Mungkin mereka berpikir sama ; suasana masih belum menentu dan luka belum mengering, untuk apa mendengarkan Swandaru?

Swandaru makin geram lalu menyabetkan tongkat ke udara berulang-ulang seakan ingin memukuli kepala setiap orang di sekitarnya. Sejenak kemudian dia berkata, “Ternyata apa yang aku pikirkan selama ini memang benar terjadi. Kalian membuang kepercayaan dariku dengan alasan demi keamanan dan keselamatan seluruh kademangan. Gila, itu benar-benar gila! Bagaimana kalian dapat berpikir seperti itu? Hey, siapa kalian sebenarnya?”

Orang-orang yang tergabung di bawah pimpinan Dharmana melanjutkan kebekuan. Mereka tetap diam. Tapi sebagian dari mereka yang merupakan prajurit Mataram memandang Swandaru dengan tatap mata heran. Satu atau dua orang tampaknya ingin menanggapi tapi seseorang dari mereka menggerakkan tangan diam-diam. Orang ini sepertinya masih ingin mendengar atau menunggu sikap  Swandaru.

“Aku menduga tanpa irisan prasangka buruk, bahwa ada orang yang tanpa sadar telah memecah Sangkal Putung,” Swandaru berkata dengan nada sangat tajam. Pandang matanya nanar dan napasnya memburu.

Meski tidak menyebutkan nama orang yang dimaksud, tapi ucapan Swandaru seolah memahat cukup dalam pada pikiran orang-orang. Sejenak kemudian, seorang senapati Mataram – yang berpakaian seperti kebanyakan pengawal – pun berdiri lalu berkata, “Aku adalah prajurit Mataram. Sebaiknya kau tahan segala perasaanmu. Simpan dulu semua yang ingin kau katakan. Lihatlah, pertempuran  belum selesai dan kebanyakan orang masih sibuk dengan urusan dan keselamatan masing-masing. Aku peringatkan kau tanpa perlu tahu siapa dirimu.”

Yang terhormat Pembaca Setia Blog Padepokan Witasem.

Kami mengajak Panjenengan utk menjadi pelanggan yang lebih dulu dapat membaca wedaran Kitab Kyai Gringsing serta kisah silat lainnya dari Padepokan Witasem. Untuk mendapatkan kelebihan itu, Panjenengan akan mendapatkan bonus tambahan ; Langit hitam Majapahit dan Bara di Borobudur  Jilid 1 (PDF).

Caranya? Berkenan secara sukarela memberi kontribusi dengan nilai minimal Rp 25 rb/bulan melalui transfer ke BCA 822 05 22297 atau BRI 31350 102162 4530 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi transfer mohon dikirimkan ke WA 081357609831

Demikian pemberitahuan. Terima kasih.

Swandaru mengacungkan tongkat tepat pada arah wajah prajurit itu, lalu berkata,”Bagusnya adalah kau lihat dulu siapa dirimu sebelum mengatakan itu padaku.”

Tapi sepertinya prajurit itu tidak ingin menahan diri. Dia membalas ucapan itu, “Keadaan ini masih menyimpan bahaya dan kedatanganmu bahkan menjadi ancaman bagi kami semua.” Dia maju dengan sikap menantang.

Mendengar kata-kata seperti itu, Swandaru meloncat maju lalu membuka gerak dasar seakan siap memulai perkelahian.

Dharmana mengerutkan kening. Ini adalah keadaan yang sulit baginya. Mereka berdua adalah dua orang yang sama-sama mempunyai pengaruh dikelompok masing-masing. Swandaru, kedatangannya mengejutkan banyak orang karena masih menjadi tahanan rumah, adalah putra Ki Demang Sangkal Putung. Kedudukan itu membuatnya tetap menjadi orang yang disegani dan berpengaruh pada banyak orang. Para pengawal pun, seandainya bukan karena kehadiran Agung Sedayu dan sebab lain, sepertinya tidak akan rela bertempur di Watu Sumping.

Sedangkan orang yang mengenalkan diri sebagai prajurit Mataram itu pun adalah kepercayaan Pangeran Selarong sekaligus juga utusan khusus Pangeran Purbaya. Pada peperangan itu, dia menjadi pelapis Dharmana. Bila Dharmana terjebak kesulitan untuk menjalankan rencana, maka senapati Mataram itu diizinkan mengambil alih kendali secara penuh.

Dua keadaan itu dipahami dan disadari betul oleh Dharmana. Baik Swandaru maupun senapati Mataram itu sama-sama benar dengan pendapat masing-masing, pikir Dharmana. Jika menengahi mereka berdua, pada kedudukan apa dirinya saat itu? Tapi pertentangan dapat meningkat tajam. Tidak menutup kemungkinan terjadi perpecahan dan benturan kekerasan antara pengawal pedukuhan dengan prajurit Mataram! Dharmana pantas untuk cemas.

“Ki Swandaru,” kata Dharmana dengan nada rendah. Kemudian dia berpaling pada senapati Mataram sambil berkata pula, “Tuan Senapati.” Pemimpin pengawal kademangan itu lantas berjalan perlahan ke bagian tengah antara Swandaru dan senapati Mataram.

“Anda berdua sama-sama benar, baik secara perasaan maupun pandangan,” ucap Dharmana dengan jantung berdetak kencang. Suaranya pun terdengar bergetar. Sekali saja dia keliru memilih kata, maka akbit terburuk pun dapat terjadi seketika. “Kita berada di tengah-tengah penentang yang belum keluar dari kademangan sementara Anda berdua pun sama-sama kuat dalam pendirian dan kepercayaan diri. Sehingga mau tidak mau, kekuatan yang didukung penuh kebenaran jelas akan menjadi keuntungan bagi kita dalam keadaan seperti sekarang.”

Swandaru masih bergeming dengan sikapnya tapi tatap matanya seperti sedang tertuju pada satu arah. Yah, dia sedang memperhatikan pergerakan orang-orang yang dipimpin oleh Ki Malawi.

Sementara senapati Mataram mendengarkan Dharmana dengan seksama. Sikapnya pun memperlihatkan rasa hormatnya pada pemimpin pengawal kademangan itu. Meski demikian, dia juga mengamati Swandaru secara diam-diam.

Dharmana masih akan meneruskan kata-katanya tapi Swandaru cepat memotongnya. “Berapa orang yang ada di tanganmu?”

Dharmana menoleh sejenak pada senapati Mataram yang kemudian memberi tanda agar mengatakan sejujurnya. Dharmana mengangguk, lalu merinci jumlah berdasarkan asal kedatangan, termasuk bantuan dari dusun-dusun yang mengelilingi kademangan.

“Jati Anom?” Swandaru bertanya lagi masih dengan sikap dingin dan seperti tak peduli dengan jawaban Dharmana.

“Saya belum memperoleh jumlah pasti tapi Jati Anom sudah dimintai bantuan oleh Nyi Pandan Wangi.”

Swandaru mendengus.  “Tidak seharusnya kademangan melibatkan orang-orang yang tidak berkepentingan atau yang tidak menetap di dalamnya. Sangkal Putung terlalu tangguh untuk mereka kalahkan. Jika gagasan ini tidak berasal dari rasa manja, aku yakin kademangan masih dapat berdiri tegak,” katanya dengan nada yang cukup tajam.

Dharmana, senapati Mataram dan juga orang-orang yang mendengarkan ucapan Swandaru dapat merasakan kemarahan yang memancar darinya. Kemudian mereka bertukar pandang dengan sinar mata bertanya, mengapa mempermasalahkan sosok pencetus gagasan?

Dengan pandangan dan wajah menghadap ke utara, Swandaru masih berdiri mematung, Tidak muncul keinginan untuk bertanya tentang kedudukan Agung Sedayu. Dalam pikirannya, suatu pekerjaan harus dapat dilakukannya agar kakak seperguruannya itu sadar bahwa ada kelemahan dalam rencananya itu. Suasana di sekitar Swandaru pun terhisap oleh keheningan. Suara-suara yang sampai pada tempat itu berasal dari kesibukan orang-orang di sekitar mereka. Keadaan itu bergantung cukup lama.

Terkadang pula menatap cakrawala yang berangsur-angsur berubah warna. Barangkali menantu Ki Gede Menoreh ini sedang mempertimbangkan sesuatu di dalam pikirannya. Sesekali dia mengalihkan sorot matanya ke lingkaran besar pasukan Ki Garu Wesi.

Kisah Terkait

Bara di Bukit Menoreh 24 – Agung Sedayu Meragukan Kejujuran Berita tentang Raden Mas Wuryah

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 19 – Setelah Sekian Waktu, Akhirnya Agung Sedayu Bertemu Sekar Mirah

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 59 – Putaran Cambuk Agung Sedayu

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.