Perlahan-lahan Agung Sedayu meraba arah perkembangan dalam pikirannya. Otaknya bekerja sangat cepat dan cukup keras ketika berusaha menggali sebab sehingga ada perubahan yang sedikit menyimpang dari kemungkinan yang telah dipikirkannya. Siapakah penyebab kejutan gelombang di permukaan pengawal kademangan? Maka hanya muncul satu nama saja ; Swandaru. Murid utama Kyai Gringsing itu lantas menggerakkan kepala. Kemudian dia melempar pandangannya ke bagian lain sambil membuat perkiraan baru, apakah Sukra sudah mencapai tempat Kinasih menunggu?
Arah Tanah Perdikan adalah jalur yang telah dirancangnya sebagai jalan keluar Ki Garu Wesi dan pengikutnya. Oleh sebab itu, mengutus Kinasih yang didampingi Sukra adalah langkah terbaik yang dapat ditempuh Agung Sedayu pada saat itu. Sehingga pertanyaan pun muncul karena alasan tersebut. Sukra adalah anak muda yang dapat memengaruhi suasana jiwani para pengawal. Selain itu, pesan penting darinya dapat diragukan atau bahkan ditolak oleh Ki Gede Menoreh, Prastawa maupun Ki Lurah Sanggabaya yang menggantikan dirinya untuk sementara.
Sejurus waktu berlalu, Agung Sedayu masih menetap pada tempat pengamatan. Meski bentang jarak dari arus besar pergerakan itu cukup jauh, tapi Agung Sedayu dapat mengenali perbedaan masing-masing kelompok, termasuk laskar yang dipimpin Ki Malawi. Barangkali yang luput dari pengamatannya adalah perubahan arah kelompok Swandaru.
Tiba-tiba!
Terdengar bunyi ledakan yang sanggup memecahkan gendang telinga. Diikuti kemudian pekik perang dari balik keremangan senja di Watu Sumping. Begitu mendadak dan sangat cepat, Swandaru bersama segenap pengiringnya melabrak regu Ki Malawi dari arah yang tidak terduga!
Terjangan pasukan Swandaru ternyata cukup kuat. Dalam selimut remang, kekuatan para pengawal dan anak buah Ki Malawi tidak terlihat perbedaannya. Pada waktu Swandaru berhasil mengikat beberapa lawan dalam suatu perkelahian, Ki Malawi masih dilanda kejutan yang menggetarkan hatinya. Mungkin jumlah mereka berimbang atau ada unsur lain, tapi benturan itu belum tampak berat sebelah. Setiap orang segera mendapatkan lawan.
Sebagian waktu sebelumnya, Swandaru sepintas menilai bahwa pasukannya bukanlah tandingan kubu lawan. Tapi keputusan menyerang secara kilat adalah sesuatu yang benar, pikirnya. Hanya saja, Swandaru cukup lama tidak berlatih atau menajamkan kemampuannya maka serangan banyak orang itu pun membuatnya kerepotan.

Serangan kilat yang dicetuskan dan dilakukan oleh Swandaru sendiri dan pengiringnya membuat anak buah Ki Malawi berhamburan. Tapi dalam waktu singkat, mereka mampu merapatkan barisan. Ketika beberapa musuh sudah terhisap pada pusarannya, Swandaru berkelahi dengan sangat garang. Dalam keadaan yang wajar, orang-orang itu tidak mungkin dapat bertahan lama. Tapi orang-orang itu memberikan perlawanan yang cukup keras dengan sepenuh kemampuan. Bahkan Swandaru pun seolah tidak mendapatkan ruang yang cukup untuk bernapas.
Keadaan meningkat menjadi kekisruhan yang seakan tidak dapat dikendalikan. Bukan hanya para pengawal yang merasa sudah menemukan jalan pelampiasan amarah, tapi anak buah Ki Malawi pun membutuhkan keadaan yang sama. Mereka ini adalah dua kubu yang sama-sama sedang menuntaskan rasa marah!
Yang terhormat Pembaca Setia Blog Padepokan Witasem.
Kami mengajak Panjenengan utk menjadi pelanggan yang lebih dulu dapat membaca wedaran Kitab Kyai Gringsing serta kisah silat lainnya dari Padepokan Witasem. Untuk mendapatkan kelebihan itu, Panjenengan akan mendapatkan bonus tambahan ;
Langit hitam Majapahit dan Bara di Borobudur Jilid 1 (PDF). Caranya? Berkenan secara sukarela memberi kontribusi dengan nilai minimal Rp 25 rb/bulan melalui transfer ke BCA 822 05 22297 atau BRI 31350 102162 4530 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi transfer mohon dikirimkan ke WA 081357609831
Demikian pemberitahuan. Terima kasih.
Hanya dalam waktu sekejap, Ki Malawi dapat menguasai diri. Orang ini segera mengatur barisan pasukannya meski masing-masing sudah terikat perkelahian. Sejurus kemudian, anak buah Ki Malawi berubah menjadi lawan yang terlampau tangguh untuk dihadapi Swandaru dan pengiringnya. Kerapian susunan barisan dan cara mereka berkelahi telah jauh berbeda dari keadaan awal. Dalam waktu yang tidak lama dari pengaturan Ki Malawi, kedudukan pun mulai tidak lagi seimbang. Meski begitu, Swandaru masih belum dapat lepas dari orang-orang yang mengeroyoknya secara bergantian. Keadaan itu dapat dimanfaatkan Ki Malawi dengan cukup baik. Sepak terjangnya pun menggentarkan nyali pengawal kademangan yang mendampingi Swandaru.
“Hei! Kau ini, bertarunglah satu lawan satu denganku!” seru Swandaru pada Ki Malawi.
Pembantu Ki Garu Wesi itu tertawa, kemudian membalas, “Kau kalahkan dulu orang-orangku, lalu beradulah denganku jika keberanianmu masih ada.” Ucapan yang seolah menggambarkan kekuatan hati dan kepercayaan diri yang tinggi meski tidak seperti itu. Dalam hatinya, Ki Malawi sadar bahwa kelompoknya segera habis sebelum malam benar-benar tiba. Ki Garu Wesi tidak mungkin memerintahkan sebagian pasukan untuk membantunya. Awalnya dia berniat untuk melindungi perpindahan pasukan induk dari serangan yang datang dari belakang atau samping barisan. Tapi kedatangan Swandaru akhirnya membuatnya beralih ke rencana yang lain ; bertempur hingga tanpa sisa, baik pada pasukannya atau lawannya.
Ki Malawi benar-benar tidak menggubris Swandaru. Lecut sendal pancing dari rantai bermata trisula miliknya telah berputar-putar, melemparkan dua orang dari gelanggang. Dia terus menggebrak hingga gelar perang yang diperagakan pengawal kademangan semakin goyah.
Guncangan itu jelas diketahui Swandaru tapi dia tidak dapat menghalangi arus serangan Ki Malawi dan anak buahnya. Swandaru tidak mempunyai pelapis dalam pasukannya. Jika dia melabrak Ki Malawi, maka pengawal kademangan pasti kocar kacir. Hanya saja jumlah penyerang Swandaru kian bertambah. Ketika ada pengawal yang tumbang, maka kekuatan laskar Ki Malawi akan makin kuat menekan Swandaru. Maka seandainya Swandaru memilih untuk bertarung melawan pengeroyoknya, itu pun tidak akan mengubah keseimbangan.
Kemampuan para penyerang Swandaru juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Itu bukan perkara remeh, pastinya! Ujung cambuk Swandaru yang meledak-ledak dapat mereka imbangi dengan gelar yang terus berganti susunan. Mereka cepat mengisi celah barisan ketika gedoran Swandaru dapat membuka ruang kosong. Bahkan sebagian orang yang bersenjata tombak cukup berani menyambut serangan Swandaru lalu berusaha merebut cambuknya. Walau pertaruhannya adalah nyawa tapi mereka terlihat cukup senang dan menikmati perkelahian yang sengit itu.
Suara tawa atau dengus yang bernada ejekan pun terdengar oleh Swandaru. Suara-suara itu seperti minyak yang dituangkan di atas nyala api. Dalam kekalutan pikir dan perasaan yang dialaminya, Swandaru sempat menimbang dua pilihan. Pertama, meminta bantuan pada Pandan Wangi atau pemimpin kelompok lainnya. Tapi itu sama dengan merendahkan dirinya. Pilihan lain adalah tetap bertempur sekuatnya hingga bantuan tiba. Mereka pasti datang untuk menyelamatkan pengawal yang dipimpinnya. menjadikan dirinya. Tapi, apakah mereka mampu bertahan hingga bantuan datang? Setidaknya bila dia mampu memperpanjang perlawanan kemudian bantuan tiba, maka dia tidak perlu khawatir kehilangan harga diri.
Yang terjadi kemudian adalah Swandaru menjadi gelap mata saat pandangannya tertumbuk pada tubuh pengawalyang tergolek tanpa nyawa. Dia menggandakan seluruh kekuatan. Cambuknya semakin lincah menyabet, menebas datar lalu berputar-putar dengan lambaran tenaga cadangan yang mulai dipaksakan mencapai puncak. Tapi Swandaru pada saat itu sudah jauh berbeda dengan Swandaru sebelum perkenalannya dengan Nyi Gandung Jati. Bisa jadi penurunan kemampuan itu adalah akibat dari ramuan yang masuk ke dalam tubuhnya dalam waktu yang cukup lama. Ditambah dengan ketiadaan latihan selama berada di rumah tahanan maka kekacauan gerak segera terlihat pada dirinya. Hampir seluruhnya mengalami kemerosotan yang cukup tajam.
Perubahan itu dipahami dengan baik oleh Ki Malawi. Swandaru mungkin sudah kehilangan atau sengaja membuntu nalar sehingga hasil akhir perkelahian cukup mudah ditebaknya.
“Keadaan membuatnya tidak mempunyai pilihan. Itu sama denganku saat ini,” ucap Ki Malawi dalam hati. Dia sadar bahwa tidak mungkin baginya untuk dapat hidup usai perkelahian pada akhir senja itu. Menyerah pun bukan jalan terbaik baginya dan seluruh anggota laskarnya.
