Terdengar hela napas panjang dari putra mendiang Panembahan Hanykrawati itu, lalu dia berkata lagi, “Itulah yang terpikirkan olehku. Bagaimana aku dapat menjawab pertanyaan Pangeran Purbaya bila masih membiarkan orang itu berkelahi? Meski dia bertarung melawan pemberontak, tapi apakah benar sikapnya dapat dianggap mewakili Mataram?”
“Pangeran,” ucap Sabungsari dengan nada rendah. “Tanpa mengurangi rasa hormat atau sebagai dukungan untuk pendapat Anda, saya pikir Ki Rangga akan merelakan diri menjadi sasaran kemarahan Pangeran Purbaya demi Anda.” Sabungsari mundur selangkah, lalu menghadapkan seluruh wajah dan tubuhnya pada Pangeran Selarong, kemudian berkata lagi, “Saya mengenal Ki Rangga sangat baik. Saya yakin Ki Rangga pun sudah mempunyai pertimbangan tersendiri mengenai Ki Swandaru. Apabila sampai sekarang belum ada tindakan dari beliau, maka saya sepenuhnya yakin itu tidak berarti Ki Rangga tidak dapat berbuat apa-apa.”
Sekilas Pangeran Selarong menengadahkan kepala, lalu memandang ke bawah sambil bergumam, “Semoga keyakinan dan kepercayaanmu pada Ki Rangga memang benar.” Sebentar kemudian, dia mengalihkan pandangan ke gelanggang perkelahian Swandaru yang tampaknya semakin menggetarkan.
Pertarungan dua orang berkemampuan tinggi itu seperti sedang mendekati batas akhir. Swandaru berdiri tegak dengan kaki renggang. Cambuknya masih terikat dengan senjata Ki Malawi yang merendahkan dua lututnya. Mereka saling menatap dengan pandangan setajam pedang.
Ki Malawi berkata, “Sepertinya kau ini termasuk orang buangan. Tiba-tiba masuk tapi tidak mempunyai dukungan dari orang-orang yang telah mengelilingi tempat ini.”
Swandaru mendengus, tukasnya kemudian, “Buangan atau tidak, yang pasti akhir perkelahian ini adalah kematianmu dan seluruh anak buahmu.”
“Ucapanmu itu,” sahut Ki Malawi, “benar-benar menunjukkan bahwa kau sungguh terbuang. Aku tidak tahu jati dirimu tapi keberadaanmu sudah pasti telah dilupakan oleh orang-orang terdekatmu. Yang mengikutimu hanya sekumpulan manusia bodoh, hanya saja, kau tidak berani menghadapi kenyataan. Pengecut!”
Kata-kata Ki Malawi itu terdengar seperti sambaran geledek yang memecahkan gendang telinga oleh Swandaru!
Yang diucapkan Ki Malawi adalah keadaan Swandaru dan hampir mendekati kenyataan. Meski begitu, ruang nalar Swandaru telah sempit sehingga perasaannya dapat keluar sebagai pemenang.
“Setan!” umpat Swandaru. Seketika murid Kyai Gringsing itu melabrak Ki Malawi dengan serangan membadai. Dalam keadaan ujung cambuk yang masih terikat dengan rantai lawannya, Swandaru seakan memperlihatkan cara mengolah amarah!
Ki Malawi menghindar tapi Swandaru tidak memberinya kesempatan. Dengan kecepatan luar biasa, ayunan lengan Swandaru yang sulit diikuti dengan mata wadag, menyerang Ki Malawi dengan tenaga yang meledak-ledak.
Darah yang mengalir di atas permukaan kulit dua orang tersbut sudah mengering dan bercampur debu pertarungan, dan tentu mendatangkan rasa nyeri walau setitik. Tapi mereka berdua sudah mematikan rasa maka kengerian pun semakin menjadi-jadi! Kebengisan telah memancar secara mencolok dari sepasang mata mereka. Itu menjadi tanda bahwa mereka tidak lagi menyisakan pengampunan bagi lawan di dalam hati masing-masing.
Menyerah bukan pilihan terbaik bagi Swandaru dan Ki Malawi. Ada harga diri yang dipertaruhkan di sana. Mengalahkan lawan dalam keadaan hidup menjadi sesuatu yang tidak terpikirkan oleh mereka. Segala sesuatu berujung pada kematian dan itu berarti kebaikan bagi mereka, demikian yang menancap kuat dalam benak Swandaru maupun Ki Malawi.

Bumbu Pecel Cak Roni – Pendukung Utama Padepokan Witasem dapat diperoleh dengan menghubungi nomer pada label di atas atau di SINI
Maka kegigihan dan keuletan masing-masing semakin nyata terwujud dalam pertarungan hebat itu. Setiap ada langkah yang surut, maka itu bukan tanda kemunduran tapi syarat wajib menyerang balik. Begitu seterusnya hingga perkelahian pun seakan tak menyisakan jeda sedikit pun!
“Mereka benar-benar keras kepala! Hati yang mungkin terbuat dari batu gunung!” desis Pandan Wangi dalam hati. Perempuan tangguh ini tegar mengawasi pertarungan yang melibatkan suaminya, Swandaru. Kadang-kadang muncul keinginan untuk membantunya tapi rasa enggan segera menghadang Pandan Wangi. Tega larane ora tega patine menjadi kalimat yang segera menghantui panglima perempuan ini. Namun begitu, rasa bimbang masih saja belum dapat disingkirkan olehnya. Jika mengingat kelakuan Swandaru pada masa yang telah berlalu, Pandan Wangi benar-benar geram – kegeraman yang tidak dapat diungkapkan melalui ucapan maupun perbuatan. Tapi dia juga tidak melupakan segala kebaikan Swandaru padanya. Rasa aman dan hormat diterimanya dengan sangat baik. Tidak ada kekurangan yang cukup pantas untuk dijadikan alasan menghakimi atau meninggalkan Swandaru pada saat suaminya itu dalam keadaan gawat. Maka tangan Pandan Wangi pun bergetar hebat oleh sebab pertanyaan ; membiarkan atau membantunya? Suasana hati Pandan Wangi, sungguh, tercermin dari sikap duduknya di atas kuda.
Perihal Pandan Wangi itu diketahui oleh salah seorang pengawal yang berada di dekat lambung kuda. Orang ini secara diam-diam meninggalkan tempat untuk melaporkan keadaan Pandan Wangi pada Dharmana.
“Kita tidak dapat berbuat banyak, Ki Pamuji. Tidak ada,” kata Dharmana pelan dengan nada getir. Dia dapat memahami suasana hati Pandan Wangi dengan kecerdasannya. “Itu bukan wewenang kita.”
“Bahkan untuk memasuki gelanggang pertarungan Ki Swandaru?” lanjut Ki Pamuji.
Dharmana mengangguk. “Kita hanyalah seikat rumput kering yang segera terbakar bila mendekati pertarungan itu.”
Ki Pamuji diam kemudian menatap tanah di bawah kakinya. Sejenak kemudian, dia bertanya lagi, “Bagaimana dengan Ki Rangga? Apakah Anda mempunyai bayangan Ki Rangga sudah menyiapkan sesuatu atau bagaimana? Pangeran Selarong pun apakah diam saja?”
Dharmana menggeleng, lalu berkata, “Marilah kita berharap Yang Maha Sempurna berkenan memberi hasil yang terbaik untuk kademangan ini.”
Dengan demikian, orang-orang yang mengelilingi padang Watu Sumping pun hanya dapat membentuk dinding yang sulit ditembus oleh pasukan lawan. Bukan tidak berani mendekat atau mencampuri, tapi mereka memiliki pertimbangan sendiri. Pandan Wangi, Pangeran Selarong dan Agung Sedayu bukan tidak peduli pada keadaan Swandaru, tapi sepenuhnya hanya mereka saja yang mengetahui isi hati masing-masing.
Di gelanggang pertarungan, baik Swandaru maupun Ki Malawi seolah=oleh telah sepakat pada satu hal meski tanpa perundingan. Itu terlihat dari perubahan cara mereka bertarung. Dari pertarungan tangan kosong yang terbungkus tenaga cadangan, lalu terungkap melalui tata gerak yang rapi menjadi gerakan yang asal pukul dan asal tendang!

Beras Sorgum Sukowati dapat juga beli di SINI
Namun karena gerakan asal itu dilakukan dengan kecepatan serta tenaga yang mengagumkan, maka hanya sedikit orang yang menepuk jidat! Selebihnya adalah sekumpulan orang yang terus berdecak kagum melihat perkelahian yang hampir serupa dengan bola angin. Bayangan dua orang itu terus menerus berputar karena ujung senjata yang masih terikat dan juga keinginan untuk menjadi pemenang. Orang-orang itu mengira mereka saling serang dengan kemampuan yang dahsyat.
Dari tempat yang agak jauh, Agung Sedayu dapat melihat kekonyolan yang bersumber dari keputusasaan. Senapati Mataram ini sadar bahwa Swandaru sebenarnya sudah berada pada keadaan yang lemah, demikian pula Ki Malawi. Namun menyerah sudah pasti bukan bagian dari watak mereka berdua. Maka Agung Sedayu hanya dapat menunggu. Dia tahu bahwa dirinya tidak dapat mencampuri atau menolong Swandaru yang sering jebol pertahanannya.
“Saat itu orang yang biasa dipanggil dengan nama Kakang Panji telah mencampuri perkelahianku, maka guru pun masuk untuk mengimbanginya,” ucap Agung Sedayu dalam hati. Keadaan itu memang mengingatkannya saat melawan Ki Tumenggung Prabandaru. Kakang Panji menggunakan ilmu tingkat tinggi yang sanggup memecahkan pikiran Agung Sedayu, lalu Kyai Gringsing mendorong ilmu kabut untuk melindungi muridnya, Agung Sedayu. Tapi pertarungan Swandaru menghadapi Ki Malawi adalah keadaan yang berbeda. Ki Malawi tidak dibantu oleh orang lain, lalu apakah dirinya akan turun tangan menolong Swandaru? Agung Sedayu lantas menutup mata. Pikiran murid utama Kyai Gringsing itu mengarah pada keadaan dan pertanyaan : bagaimana atau apa yang akan diperbuat Pangeran Purbaya dan Raden Mas Rangsang? Kemudian Ki Patih Mandaraka, dapatkah melindungi atau meringankan hukuman yang pasti dijatuhkan pada Swandaru?
