Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 75 – Mantra Penari Api

Salah seorang dari penyusup bergumam lalu berkata lirih pada dirinya sendiri, “Ternyata pekerjaan kita masih jauh dari kata selesai.”

Ucapan itu rupanya dapat didengar oleh kawannya yang berada agak serong belakang dari yang bergumam. Orang ini kemudian berkata pelan, “Aku rasa begitu. Kita juga belum mendengar tanda dari kawan-kawan. Boleh jadi, tidak seorang pun yang menemukan sesuatu.”

Malam yang suram meski waktu tetap merambat walau terasa sangat pelan. Kesunyian yang benar-benar mencekam.

Pesona kematian, Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari mantra sakti penari api yang menyala pada malam hari, termasuk Sekar Mirah dan Kyai Bagaswara. Suasana malam seolah sedang menyihir mereka yang berada di dalam lingkungan kediaman Ki Demang.

Tak seorang pun dari kawanan penyusup yang ragu-ragu bahwa seolah ada sebilah pedang sedang menyentuh leher mereka. Mundur? Hanya pengecut yang dapat melakukannya. Dalam waktu itu, pikiran mereka juga bertanya-tanya tentang penghuni rumah, di mana mereka? Walau begitu, tidak ada satu pun dari penyusup yang bergerak tanpa aba-aba dari Ki Garjita.

Ki Garjita merambat maju, setapak demi setapak. Dengan kemampuan menyerap bunyi yang sangat baik, maka orang ini begitu ringan ketika kakinya menginjak dedaunan kering. Pergerakan Ki Garjita dapat diketahui oleh sebagian anak buahnya, lantas mereka pun mengikutinya.

Kyai Bagaswara melihat pergerakan mula-mula dari sayap halaman. Dengan isyarat tangan, dia meminta Sekar Mirah untuk tidak bergerak mendahuluinya. Sekar Mirah mengangguk lalu satu lengan terjulur mengambil senjata peninggalan Ki Sumangkar, tongkat baja putih. Sejenak kemudian, dia memandang wajah lembut putrinya yang lelap dalam tidurnya. Sekar Mirah mengembangkan senyum sebelum benar-benar menaruh perhatian sepenuhnya pada pergerakan orang-orang yang menyusup rumah ayahnya.

Pada waktu itu, Kyai Bagaswara memejamkan mata, memusatkan segalanya pada pendengaran sebelum menjadikan seseorang sebagai sasaran. Dia sedang menimbang pula bahwa dirinya cukup lama tidak berkutat pada olah kanuragan sejak memutuskan untuk mengambil murid seorang lagi.

Tiba-tiba! Satu lompatan panjang, dengan kecepatan gerak yang luar biasa dan seperti terbang, Kyai Bagaswara melesat ke sayap timur halaman belakang. Menyambar salah seorang yang dipilihnya karena jejak kakinya terdengar lebih berat daripada yang lain.

Seruan tertahan memecah keheningan. Secara mendadak, salah satu penyusup kemudian tumbang! Kawannya pun tidak mengetahui persis kejadian itu padahal dia berada tepat di sampingnya.

Kyai Bagaswara sangat cepat kembali ke tempatnya semula! Yah, dia sedang berusaha untuk menentukan orang terlemah kemudian membuat sedikit kegaduhan pada kalangan penyusup. Keputusan yang sangat berani meski dapat berbahaya! Menurutnya, tak ada pilihan lagi selain satu pukulan yang mengejutkan sekaligus mematikan. Meski hanya untuk menjatuhkan seorang saja, tapi setidaknya akan memengaruhi jiwani para penyusup.

Bahkan Ki Garjita pun hanya dapat menoleh ke sumber suara tanpa mampu berbuat sesuatu, tapi dia melihat sekelebat bayangan seperti setan yang bergerak menuju bangunan mungil itu. Ki Garjita terperanjat! Siapa sangka ada seseorang yang menempatkan diri begitu terbuka tapi tidak terlihat olehnya?

“Orang itu tidak menyembunyikan diri,” ucap Ki Garjita dalam hati. Keraguan cepat hinggap dalam pikirannya. Siapa lagi yang berada di sana? Sorot mata Ki Garjita terpusat pada teras depan bangunan. Tampaknya ada orang lagi, tapi bisa saja itu adalah bayangan, pikirnya. Orang ini cukup berhati-hati, oleh sebab itu, dia tidak berani membuat dugaan.

Sekar Mirah pun terkejut bukan main ketika sudut matanya melihat Kyai Bagaswara menjejakkan kaki lalu tiba-tiba seperti menghilang, kemudian kembali lagi dengan napas yang mengalir  halus.

“Luar biasa,” puji Sekar Mirah dalam hati. Dia pun teringat pada Agung Sedayu yang mungkin mempunyai kecepatan yang setara dengan Kyai Bagaswara. Maka bersyukurlah ipar Pandan Wangi itu bahwa dirinya dikelilingi oleh orang-orang yang mumpuni secara jiwani maupun ragawi. Untuk sejenak waktu, ingatan Sekar Mirah tertambat pada wajah yang dirindukannya.

“Bagaimana keadaanmu, Kakang?” Sekar Mirah menunduk sambil memanjatkan harapan pada Yang Maha Sempurna.

Tumbangnya salah satu anggota penyusup dapat dianggap sebagai kekalahan pertama oleh salah satu anak buah Ki Garjita. Ketika pemimpin mereka terdiam dan belum juga melakukan serangan balasan, dia menggeram. “Apakah dia masih menunggu anak buahnya menjadi korban lagi?” Orang ini lalu gelisah dalam bayangannya, bagaimana jika dia yang menjadi mangsa? Dia meloloskan senjatanya berupa pedang yang mengkilat suram karena bulan pun tak kunjung menampakkan diri.

“Bodoh!” umpat Ki Garjita dalam hati. Kilau muram yang berasal dari pedang anak buahnya malah menjadikan orang itu menjadi sasaran selanjutnya!

Saat Ki Garjita bersiap terhadap serangan susulan, tiba-tiba suara parau terdengar lalu pedang yang berkilau itu tergeletak di atas tanah!

“Dasar kau setan!” Ki Garjita memekik nyaring. Dia berkelebat memotong lintasan bayangan yang baru saja membunuh anak buahnya!

Keributan di halaman belakang pun meledak!

Ki Garjita menabrak Kyai Bagaswara dengan kekuatan penuh! Pertarungan tangan kosong yang baru menginjak awal kemampuan tapi kedahsyatannya sudah jelas terbayang! Maka para penyusup yang berencana untuk mengeroyok Kyai Bagaswara pun mengurungkan niat masing-masing ketika kecepatan dua orang itu meningkat tajam.

Kebisingan halaman segera terdengar oleh pengawal kademangan yang masih berada di dalam rumah dan sedang menuju ke tempat itu. Bunija memberi tanda agar mereka lebih cepat mengayun langkah. Meski begitu, derap kaki pengawal kademangan seperti tidak didengar oleh para penyerang gelap rumah Ki Demang. Orang-orang hanya dapat melihat sambil mengelilingi perkelahian tanpa sadar pula bahwa Sekar Mirah sedang memerhatikan mereka semua!

Sekar Mirah sudah cukup lama tidak menyaksikan orang-orang beradu ilmu,  maka dia pun terpana dengan pertarungan hebat yang tergelar di depannya. Namun begitu, rasa cemas mulai merambat pelan di dalam hatinya. Bagaimana bila orang-orang itu mengetahui keberadaannya karena tangis bayi yang terkejut dengan suara bising di sekitarnya? Sekar Mirah cukup lama pula tidak terlibat perkelahian yang seru maka kecemasan pun menjadi wajar baginya karena tidak mudah melindungi putrinya dari serbuan liar para penyusup. Tapi seandainya terjadi hal buruk, Sekar Mirah sudah siap bertaruh nyawa!

Kekhawatiran Sekar Mirah pun terjadi!

Tangis Wangi Sriwedari, putri Agung Sedayu, tidak dapat dihindarkan! Seruan dua orang yang terlibat dalam perkelahian menyentuh pendengarannya. Sorak sorai para penyusup cukup mengganggu bayi mungil yang belum genap berusia dua bulan itu.

Yang terhormat Pembaca Setia Blog Padepokan Witasem.

Kami mengajak Panjenengan utk menjadi pelanggan yang lebih dulu dapat membaca wedaran Kitab Kyai Gringsing serta kisah silat lainnya dari Padepokan Witasem. Untuk mendapatkan kelebihan itu, Panjenengan akan mendapatkan bonus tambahan ;

Langit hitam Majapahit dan Bara di Borobudur  Jilid 1 (PDF). Caranya? Berkenan secara sukarela memberi kontribusi dengan nilai minimal Rp 25 rb/bulan melalui transfer ke BCA 822 05 22297 atau BRI 31350 102162 4530 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi transfer mohon dikirimkan ke WA 081357609831

Demikian pemberitahuan. Terima kasih.

“Ada bayi! Itu anak Agung Sedayu!” ucap seseorang dengan suara lantang. Serauan yang disambut dengan sorak gembira kawan-kawannya. Ucapan itu terdengar bagaikan mereka sudah menemukan tambang emas! Kademangan boleh gagal direbut, tapi memisahkan Agung Sedayu dari Mataram pun menjadi keniscayaan, pikir mereka. Selangkah lagi, Mataram akan dapat direbut oleh kelompok mereka. Tanpa peduli jumlah orang sakti yang memihak Mataram, tak perlu menghiraukan lagi kekuatan prajurit Mataram yang dikabarkan seperti air bah itu. Buat apa? Mereka adalah orang-orang yang diperintahkan langsung oleh Raden Atmandaru untuk menculik putri Agung Sedayu. Rencana itu cukup halus dilakukan dalam penyamaran sehingga luput dari pengawasan pengawal kademangan. Mungkinkah malam itu mereka akan meraih hasil yang diimpikan? Mereka berlarian dan berlompatan menuju sumber suara!

Kisah Terkait

Bara di Bukit Menoreh 31 – Swandaru Terjebak dalam Cengkeraman Makar

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 14 – Peringat Bahaya dari Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 50 – Benih Keraguan Pandan Wangi pada Swandaru

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.