Hampir semua orang yang berada di sekitar Sukra terpukau dengan peralihan senjata serta pergerakan kepala regu yang tanggap keadaan anak buahnya. Melepaskan senjata di arena sama dengan menyerahkan batang leher pada lawan, tetapi kepala regu itu mampu melakukannya.
Waktu yang sangat singkat itu membalikkan suasana hati prajurit lawan. Betapa perasaan pasukan Raden Atmandaru yang mengepung Sukra nyaris melonjak gembira. Mereka kira Sukra segera menempati kedudukan yang lemah lalu pembantaian dapat dijalankan dengan mudah. Bahkan, salah satu pengawal Gondang Wates sempat berpucat wajah dan lututnya bergetar menyaksikan Sukra nekad melabrak empat pengepungnya. Namun kepala regu Gondang Wates begitu gagah. Ia meloncat, menyerahkan senjatanya pada Sukra, lalu bergulingan sambil meraih pedang yang tergeletak agak jauh darinya kemudian menerjang lawan.
Demikianlah Sukra melihat semuanya. Ia sadar bahwa para pengawal Gondang Wates dengan segenap hati rela bertarung demi usahanya mendobrak baris terakhir pasukan lawan. Mungkin belum sampai hitungan yang ketiga kali bagi mata yang berkejap, Sukra melabrak sisi kanan barisan lawan. Ada dua musuh di sana, Sukra berkelebat lincah. Mengayunkan tombak pendek dengan tata gerak sederhana sederhana tetapi begitu cantik ketika dimainkan olehnya. Ujung tombak berkilau, memantul, sedangkan Sukra lebih terlihat menari-nari dalam pertarungannya itu. Meski demikian, Sukra masih terlihat sangat garang. Ini buah latihannya pada masa singkat di bawah gemblengan Nyi Ageng Banyak Patra.
Sukra sudah begitu dekat dengan garis akhir tetapi empat prajurit Ki Sor Dondong juga berkelahi sengit menghadangnya. Sukra mundur selangkah, meloncat ke samping dua langkah lalu melesat deras menembus pertahanan di lapisan terakhir itu. Namun, itu tidak mudah! Empat prajurit lawan telah menyongsongnya dengan barisan ganda!
Kepala regu mengetahui kesulitan yang menghalangi Sukra. Dari belakang punggung pengawal muda Tanah Perdikan itu, kepala regu masih terikat pada seorang lawan. Tetapi, mendadak, ia berputar, menggabungkan diri pada lingkar perkelahian Sukra. Berdua mereka berusaha memecah kepungan.
Itu bantuan yang tidak main-main! Sukra telah didera rasa lelah. Anak muda ini belum mempunyai masa istirahat yang cukup sejak memasuki Sangkal Putung. Dalam keadaan segar, tentu Sukra dapat mengatasi perlawanan empat lawannya. Hanya saja, di Karang Dawa, Sukra sudah menerima banyak luka yang pasti memengaruhi ketahanannya. Maka, kehadiran kepala regu di sampingnya dengan cepat mengubah keseimbangan pertempuran meski tidak berjumlah seimbang. Seorang lawan terlempar karena gagang tombak tepat mengenai dadanya.
Di Karang Dawa, satu demi satu korban mulai berjatuhan, baik dari pihak Gondang Wates maupun kubu Raden Atmandaru. Pekik kesakitan kerap terdengar di antara dentang senjata yang beradu. Rintihan yang memelas dan menusuk perasaan pun menggema lirih di semua bagian Karang Dawa. Sedikit orang yang mendapatkan pertolongan atau kesempatan untuk mundur. Hampir setiap orang sibuk dengan urusan masing-masing, sibuk berkelahi mempertahankan hidup atau cita-cita. Hanya segelintir orang yang mau memikirkan nasib orang lain. Sejumlah pemimpin pasukan mulai memusatkan perhatian pada keselamatan anggota masing-masing, dan dalam waktu bersamaan, mereka juga dituntut agar dapat memenangkan perang.
Sukra memutar tombak pendek di atas kepala, bersiap meledakkan tekadnya yang membara. Sukra, dalam usianya yang masih muda, dapat mengerti serba sedikit persoalan yang terjadi di sekitar Panembahan Hanykrawati. Di dalam sanggar tertutup, Nyi Ageng Banyak Patra kerap memberinya pesan-pesan yang sangat kuat ketika menempanya dengan latihan-latihan keras yang cukup rumit. Melalui pembicaraan yang tidak pernah menyinggung keadaan Mataram, Sukra dapat membuat gambaran di dalam benaknya mengenai persoalan yang membelit orang-orang yang dihormatinya. Sukra tetap berusaha menghimpun semangat dan tekad agar tidak cepat memudar hingga pertemuannya dengan Agung Sedayu. Itu adalah waktu yang sangat penting. Ki Patih Mandaraka dan Nyi Ageng Banyak Patra sering mengulang pesan bahwa keselamatan dirinya akan membawa pengaruh besar pada Agung Sedayu.
Perkelahian Sukra meningkat semakin seru. Ia menghadapi tiga lawan yang tersisa. Sementara kepala regu telah kembali pada barisannya karena yakin Sukra dapat menyelesaikan tugas pentingnya. Kepala regu tidak salah! Daya serang Sukra yang hebat Sukra kembali terlihat, menyalak sangat keras, mencecar setiap kelemahan barisan penghadangnya.
Tiga penghadang Sukra tampak gelisah. Salah seorang dari mereka tergeletak dan tidak dapat diharapkan untuk dapat melanjutkan pengeroyokan. Seorang diri menghadapi mereka ketika berempat, tandang Sukra begitu garang dan mengerikan. Kemudian berkurang satu orang, apakah mereka yakin dapat menghalau Sukra kembali ke bagian tengah pertempuran? Sejenak kemudian mereka terdesak lalu menjadi pihak yang tidak diuntungkan walau kelebihan jumlah.
Tiga anak buah Ki Sor Dondong semakin tenggelam dalam kesulitan. Sukra memang berada di dalam medan perang tetapi ia berhasil memegang kendali perkelahian. Namun, lawan-lawannya tetap berkeras untuk bertahan dari gempuran demi gempuran Sukra yang masih tampak lincah berloncatan. Ujung tombak pendeknya yang bergerak selaras dengan tangan kiri seakan berubah menjadi capit depan belalang tempur yang sanggup memotong tubuh lawan. Tanpa peduli dengan luka-luka dan rasa lelah yang perlahan-lahan menggerogotinya, Sukra terus bertahan pada kemampuan puncak. Semakin lama, para pengeroyok Sukra merasakan bahwa gerakan Sukra terlampau cepat dibandingkan ketika mereka masih lengkap berempat. Begitu banyak lubang yang sulit ditutup ketika seorang dari mereka telah dirobohkan.
Pada bagian dalam Gondang Wates.
Ki Ajar Mawanti mengakui bahwa Pangeran Purbaya benar-benar dapat menjadi lawan yang tangguh. Pendapat yang sama pun datang dari orang asing yang mengincar Swandaru. Pergerakan Pangeran Purbaya benar-benar mengkhawatirkan dua lawannya. Karena serangan Pangeran Purbaya seolah-olah datang dari berbagai arah. Namun, Ki Ajar Mawanti serta kawannya belum menunjukkan suatu kerja sama yang baik untuk menghadang laju serangan Pangeran Purbaya.
Dalam perkelahian itu, Pangeran Purbaya membagi perhatiannya dengan keadaan di Karang Dawa. Sepertinya ada sesuatu yang menjadi sumber kekhawatitan. Ki Sor Dondong, jati diri panglima perang Raden Atmandaru ini belum banyak diketahui oleh Pangeran Purbaya. Namun, cara Ki Sor Dondong menanggapi setiap perubahan atau perkembangan di medan perang tampaknya sudah cukup membuatnya gelisah. Empat punggawa yang menjadi pilar kekuatan Pangeran Purbaya sepertinya tidak dapat diharapkan apabila Ki Sor Dondong ternyata menyimpan sebuah rencana simpanan. “Panglima mereka begitu baik dalam menyusun serangan dan jug asangat terampil membuat pertahanan. Aku mempunyai empat senapati pekerja keras di medan perang, tetapi mereka mempunyai ketergantungan pada seluruh siasat yang aku rencanakan,” kata hati Pangeran Purbaya dalam nada gelisah. Pikirnya, bila terlalu lama dirinya berkelahi di dalam pedukuhan, maka setap perkembangan akan berubah menjadi ancaman yang tidak mengenakkan.
Kembali ke Karang Dawa.
Pertempuran masih berlangsung sedemikian sengit. Semangat para pengawal Gondang Wates mengembang dan terjaga dalam keadaan itu ketika Sabungsari serta Glagah Putih menunjukkan kemampuan tanding yang hebat. Mereka tidak lagi berkecil hati karena desas desus yang menyuarakan bahwa Sangkal Putung akan diterkam sekelompok orang yang berkemampuan tinggi. Kenyataannya, mereka dapat mengimbangi pasukan yang dikabarkan setara dengan pasukan khusus pimpinan Agung Sedayu. Meski kadang-kadang gagal menguasai keseimbangan atau menguasai lawan, namun mereka bertempur begitu mantap. Mereka tangguh mengatasi desakan, dan cukup mapan ketika berada di atas angin. Maka dengan demikian, seluruh bagian pertempuran benar-benar bergolak, dan setiap orang seakan-akan menjadi sumber semangat bagi kawan-kawan yang lain.
Sabungsari yang juga mengemban beban sebagai pimpinan pasukan jangkar sedang bertarung ketat melawan Ki Astaman. Pengakuan Ki Astaman sebagai teman dekat Ki Gede Telengan serba sedikit memberi keguncangan pada jiwani Sabungsari. Sekuat dan sekeras Sabungsari mengabaikan pernyataan itu, namun perasaannya tetaplah terbolak-balik. Sabungsari mengenal ayahnya sebagai petarung tangguh yang mempunyai pendirian tetap. Seandainya – bila itu dizinkan – Ki Gede Telengan masih hidup, tentu akan menghargai keputusan Sabungsari bergabung dengen keprajuritan Mataram. Penyelewengan yang dilakukan ayahnya di masa lalu bukan berarti tidak mendapat pengampunan. Sabungsari menjadi bukti kemurahan Mataram pada penilaian kebanyakan orang. Mataram memang menilai bahwa kesalahan Ki Gede Telengan tidak terjadi pada masa pemerintahan Panembahan Senapati, tetapi Pajang.
Namun, segala anggapan tidak memberi pengaruh sedikit pun pada Ki Astaman. Ia adalah lawan yang panjang akal. Mengacaukan perhatian lawan melalui serangan kata-kata adalah senjata utama sebelum benar-benar terbelit perkelahian sungguh-sungguh. Sebagai ahli pembuatan senjata, Ki Astaman telah menjalani hidupnya dalam pertempuran besar dan juga perkelahian satu lawan satu. Maka, melayani tekad Sabungsari adalah babak baru yang memperpanjang pengalamannya.
Benturan hebat telah terjadi ketika Ki Astaman memilih Sabungsari sebagai lawan, lalu menghujaninya dengan serangan-serangan berbahaya. Senjata Ki Astaman menimbulkan desingan yang begitu kuat karena lambaran tenaga cadangan yang luar biasa. Bersamaan dengan terkaman yang mematikan, Ki Astaman juga menyerang Sabungsari dengan kata-kata tajam. Ini bukan serangan yang mudah dihindari Sabungsari. Meski demikian, Sabungsari gesit menghindari dengan loncatan-loncatan yang cukup cepat sehingga dirinya dapat menjaga keseimbangan.
Rupanya Ki Astaman tidak butuh penjajagan dalam perkelahian itu. Sebelah lengannya bergerak-gerak begitu mantap memainkan olah gerak yang menunjang ilmu pedangnya. Selain itu, Ki Astaman belum terlihat gencar mengejar Sabungsari dengan pergeseran tempat yang agak panjang. Ki Astaman memburu Sabungsari hanya dengan peralihan kaki yang bergeser setapak demi setapak. Sekali waktu, bahkan, tubuhnya seolah membeku namun permainan pedangnya sangat berbahaya.
Menghadapi lawan yang tidak berkemampuan biasa, Sabungsari segera meloloskan pedangnya. Ini adalah senjata kedua yang dikuasainya selain permainan cambuk yang dipelajarinya dari Ki Widura di Jati Anom. Pedang Sabungsari berputar-putar menutup tubuhnya seperti perisai bercaping besar. Cukup sulit menembus pertahanan Sabungsari meski puluhan anak panah dilepaskan bersamaan mematuknya.
Oleh karenanya, Ki Astaman berusaha menjaga perhatian agar terpusat pada tata gerak Sabungsari yang luar biasa. Dalam perkelahian itu, Sabungsari mengayun dan menggerakkan pedang dengan cara yang mirip permainan cambuk. Ia menebas datar dan memotong silang dengan gerak tangan yang biasa dilakukan cantrik-cantrik Perguruan Orang Bercambuk. Ki Astaman mengerutkan kening. Ia mengira ilmu pedang Sabungsari berada pada lapisan seperti kebanyakan orang, untuk itu, muncul keyakinan dalam dirinya bahwa perkelahiannya tidak akan berlangsung lama. Namun, Sabungsari mengeluarkan tandang yang sangat mengejutkan. Lurah prajurit Mataram itu mampu memadukan unsur-unsur ilmu pedang dengan oleh gerak bercambuk yang bersumber dari Kiai Gringsing. Tentu itu menimbulkan kesulitan baru bagi Ki Astaman, sehingga lawan Sabungsari itu harus menurunkan tingkat keyakinannya.
Pertempuran mereka begitu sengit dan kerap meningkat tajam secara mendadak. Mereka sama-sama mempunyai pengalaman meski Sabungsari tidak sekaya Ki Astaman yang mempunyai keterampilan lebih. Namun, mereka berdua adalah orang-orang pilihan dengan segala kekurangan yang terpendam. Kekurangan yang mampu ditutup oleh kelebihan-kelebihan yang nyaris tiada tara. Gelanggang perkelahian mereka pun semakin luas dan seolah terpisah dari pertempuran secara keseluruhan. Gelanggang yang benar-bena rmenyita perhatian orang-orang yang berada di sayap kanan.
Hampir bersamaan dengan pertemuan keras Sabungsari, Sukra semakin menguasai perkelahian pada garis akhir barisan pasukan Ki Sor Dondong. Satuan regu yang menempelnya turut merasakan kelonggaran karena Sukra yang gigih memperjuangkan keadaan yang diinginkan Pangeran Purbaya. Lambat laun kepungan tiga pengikut Raden Atmandaru mulai tersibak. Mereka kewalahan meladeni kegilaan Sukra. Ya, Sukra seperti telah melupakan dirinya. Sukra memusatkan budi dan rasanya pada tujuan awal ; melewati barisan terakhir lawan. Dengan demikian, Sukra bertarung seperti tidak mempunyai rasa takut. Beberapa kali tombak pendeknya berkelebat, memukul dan menetak lawan hingga kemudian jalan terbuka lebar-lebar!
Sukra melompati lawan yang terguling karena terjangannya, lalu bergegas meninggalkan medan pertempuran agar secepatnya dapat tiba di Pajang.
Lawannya telah bangkit lalu meneriakinya sebagai pengecut dan pengkhianat, tetapi Sukra bergeming. Sejenak ia berpaling kemudian berseru, “Nasib baik, aku tidak membunuhmu!” Lawan Sukra kemudian tergilas oleh regu khusus yang mendampinginya keluar dari arena perang.
Dalam waktu itu, tanpa menunggu balasan dari lawannya, Sukra memutar tubuh, menuju sebuah tempat sesuai petunjuk Pandan Wangi. Namun ia berhenti tiba-tiba ketika mendengar pekik perang dari arah belakang. Sambil termangu-mangu, Sukra berdiri sejenak memandang Karang Dawa ketika terjadi serbuan yang sangat mendadak dan mengguncang Gondang Wates! “Tidak, tidak mungkin aku kembali ke pertempuran itu. Aku mengemban perintah yang tidak kalah penting dari pertempuran di pedukuhan ini,” ucap Sukra dalam hati. Anak muda Menoreh ini pun menyalakan semangat, menambah daya tahan dan tenaga dari kekuatan yang tidak terkira ; kecintaannya pada Agung Sedayu!
Penglihatan Sukra memang tidak menipu!
Sekelompok pasukan berkuda memukul sayap kiri pengawal Gondang Wates dengan cara yang sungguh-sungguh gila. Lautan orang pun segera tersibak. Kerumunan dan perhatian pun terpecahkan oleh para penunggang kuda yang berpakaian hitam dan dipimpin oleh seorang gadis muda yang indah dipandang mata. Senjata yang dirahasiakan oleh Raden Atmandaru itu segera menuju tempat Pandan Wangi.
Serbuan kilat pasukan berkuda itu ternyata sanggup memecahkan siasat kuat Pangeran Purbaya. Kedatangan mereka juga mengejutkan Pandan Wangi, Glagah Putih serta Ki Sor Dondong sendiri.
Betul, hanya sedikit orang yang tahu tentang siasat tempur Raden Atmandaru yang disusun bersama Ki Sekar Tawang serta Ki Ramapati. Dan Ki Ajar Mawanti adalah salah seorang diberitahukan mengenai rencana serangan kilat itu.
Ketika kegaduhan hebat terdengar hingga medan perkelahian Pangeran Purbaya, Ki Ajar Mawanti berkata lantang, “Apakah dengkulmu masih bertopang kayu sengon, Pangeran?” Ki Ajar Mawanti mengenal wajah Pangeran Purbaya pada waktu mereka berpapasan tanpa sengaja pada sebuah perayaan di alun-alun depan Kraton Panembahan Hanykrawati. Namun, Ki Ajar Mawanti adalah orang yang pandai bermain watak sehingga mampu menyembunyikan keterkejutannya ketika perkelahian mereka meledak. Dan pada saat serbuan hebat pasukan berkuda yang disimpan Raden Atmandaru mulai berderap, Ki Ajar Mawanti pun mengungkapkan kekesalannya pada Pangeran Purbaya yang dianggapnya begitu pongah ketika membelah lautan manusia pada perayaan itu.