Pangeran Purbaya yang mempunyai ketenangan luar biasa pun harus menahan napas. Pangeran Purbaya berusaha menahan perasaan dan pikiran yang terguncang karena tubuh Sukra melayang deras menuju batu cadas yang tergelar di bawah jembatan.
Pun dua pengawal Sangkal Putung yang berpucat wajah. Mereka tidak lagi menahan napas tetap napas mereka berhenti tanpa mereka sadari. Ambang kematian Sukra bukan sebuah angan atau khayalan, tetapi benar-benar kenyataan yang pasti terjadi. “….kecuali lelaki itu mengulurkan tangan, tetapi segala sesuatu berada di dalam genggaman Yang Maha Kuasa,” keluh seorang pengawal.
Sebelum tubuh Sukra benar-benar melayang terjun bebas, anak muda itu masih sempat melemparkan pedang ke arah Ki Bluluk Rambang. Ki Bluluk Rambang secepatnya menghindar. Ia meloncat tinggi dan ternyata Ki Bluluk Rambang juga melompat dari jembatan bambu. Meski demikian, Ki Bluluk Rambang tetap tidak dapat melepaskan diri dari pengamatan Pangeran Purbaya! Sekejap ketika salah satu kakinya menjejak permukaan batu ceper, Pangeran Purbaya telah bergeser tempat.
Ini semakin mengusik ketenangan Pangeran Purbaya, apakah ia akan kehilangan Sukra dan Ki Bluluk Rambang dalam waktu yang sama? Meringkus Ki Bluluk Rambang atau menyelamatkan Sukra?
Ki Bluluk Rambang berdiri tegak dengan sepasang kaki kokoh di atas permukaan batu datar. Saat itu, pikirnya, cukup sulit mengukur kemampuan Sukra yang sesungguhnya. Bagaimana ia masih dapat berusaha membunuhnya sedangkan tidak ada lagi tempat untuknya menyelamatkan diri? Yang diketahui oleh Ki Bluluk Rambang adalah lawannya masih dangkal dalam berperang tanding. Atas pikiran itulah, Ki Bluluk Rambang menyiapkan diri untuk berkelahi melawan Pangeran Purbaya bila Sukra benar-benar tak mampu bernapas lagi.
Dan, ketika itu, semua orang memandang pada arah jatuhnya tubuh Sukra dengan penuh ketegangan. Sepertinya peristiwa itu benar-benar membetot seluruh perhatian dan menghisap segala perasaan.
Sukra tidak mempunyai seseorang yang benar-benar sanggup mengajarinya olah kanuragan tetapi setiap orang selalu mencurahkan sepenuh hati ketika memberinya pengajaran. Dalam waktu yang tidak dapat dibilang singkat, Sukra telah kaya dengan tata gerak dasar yang sangat kuat. Di Tanah Perdikan Menoreh, waktu luangnya banyak diisi dengan latihan-latihan yang mengandalkan kekuatan wadag di bawa tuntunan Glagah Putih. Agung Sedayu pun turut mengembangkan olah latihan yang diletakkan Glagah Putih. Ketajaman nalar Sukra pun makin terasah dengan arahan-arahan yang diberikan oleh Sekar Mirah ketika berlatih olah pernapasan. Dan semuanya terhimpun sangat baik di bawah gemblengan keras Nyi Ageng Banyak Patra.
Pada suatu malam, di salah satu bagian sungai di Tanah Perdikan, tepat di atas pliridan yang baru selesai dikerjakan Sukra, Agung Sedayu mengajarkan tata olah tenaga pada Sukra. Kata Agung Sedayu ketika itu, “Engkau dapat membalikkan beban ketika sepasang tanganmu berada di bawah.” Dalam pengajarannya, Agung Sedayu menekankan pada dua hal : kecepatan dan kekuatan. “Aku melihatmu melatih kekuatan dengan mengangkat beban tubuh dengan sepasang tangan bergantung di dahan. Sukra, apakah engkau telah beristirahat cukup?”
“Saya, Ki Lurah.”
“Baiklah, engkau dapat mencoba dengan membalikkan tenaga pada arah yang berlawanan. Bila sebelumnya sepasang tanganmu berada di atas kepala, sekarang letakkan di bawah kepala. AKu akan membantumu dengan memegang dua kakimu hingga engkau benar-benar seimbang.”
Tanpa menunggu pengulangan keterangan, Sukra bergegas melakukan perintah Agung Sedayu. Sekali, dua kali hingga belasan kali kaki Sukra masih dalam jangkauan tangan Agung Sedayu supaya tidak lekas terjatuh. Ketika mereka mengulang latihan, Sukra mampu menjaga keseimbangan lalu melakukan gerakkan terbalik berulang-ulang.
“Tidak akan engkau lihat seseorang yang melompat dari ketinggian lalu mendarat dengan kaki lurus. Mereka semua akan menekuk sepasang kaki. Burung-burung, harimau, bahkan belalang pun akan menekuk kaki ketika mendarat. Itu bertujuan untuk mengurangi beban atau meredam daya dorong dari luncuran. Seperempat, setengah atau seperdelapan. Itu tergantung cara mereka berlatih atau sejauh kemampuan untuk mendapatkan keseimbangan. Namun, jika engkau sulit menjaga diri atau cenderung jatuh pada arah tertentu, maka ikutilah sisi yang berat itu, lalu gunakan sebaik mungkin untuk bergeser tempat hingga keseimbangan dapat engkau gapai.”
Mereka kembali berlatih pada malam yang berbeda. Kali ini, Sukra melontarkan diri setinggi lutut dari permukaan tanah lalu mendarat dengan sepasang tangan. Bertahap hingga Sukra mampu melompat dari dahan satu setengah kali tinggi tubuhnya. Bila Agung Sedayu tidak dapat mendampinginya berlatih, maka pengawasan berada di bawah mata Ki Jagaraga setiap kali Sukra mengantarkan bekal makan siang di persawahan. Keseimbangan menjadi titik utama Ki Jagaraga dalam mengembangkan dasar-dasar yang diberikan Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Demikian pula yang dilakukannya di dalam sanggar ketika berlatih bersama Nyi Ageng Banyak Patra. Sukra menerangkan cara Agung Sedayu dan Glagah Putih ketika membimbingnya dalam olah kanuragan. dalam. Menurut pengamatan Nyi Banyak Patra, di dalam diri Sukra telah terbentuk jalur-jalur yang dapat mengalirkan ilmu-ilmu tingkat tinggi. Apalagi sejak Ki Patih Mandaraka membuka jalan sebagai landasan pegerahan tenaga cadangan, maka Nyi Ageng Banyak Patra tidak menjumpai banyak kesulitan untuk menghentak Sukra ke lapisan puncak.
Tubuh Sukra begitu deras meluncur ke bebatuan. Dengan mata terbuka, senyum Sukra merekah sambil bergumam, “Aku sayang Ki Lurah.” Sealiran tenaga cadangan memenuhi urat dan jalan darah pengawal Menoreh itu. Sukra menemui maut dengan senyum mengembang dan sorot mata menantang. Ia memandang permukaan batu tanpa berkedip!
Kini, sepasang tangan Sukra terjalin dan tersusun kuat tepat di bawah kepalanya. Ia akan mengandalkan kelenturan otot dan kecepatannya menggerakkan siku lalu beralih tempat, berloncatan sebelum sanggup berdiri di atas sepasang kaki.
Berhasil!
Sukra berpindah tempat, berloncatan dengan kegesitan seekor belalang, mendekati dua pengawal kademangan sambil berseru, “Senjata!”
Seorang pengawal sigap melemparkan pedang, tetapi segera ia bertanya pada temannya, “Lalu, ke mana Sukra akan memijakkan kaki?”
Yang ditanya pun memberi jawaban dengan gelengan kepala.
Ketika pedang telah tergenggam, Sukra kembali berseru sambil memberi tanda ke arah Ki Bluluk Rambang, “Pangeran!”
Selain kelonggaran dada yang dirasakannya, sambil mendesah dalam hati karena rasa kagum, Pangeran Purbaya mendorong sebelah tangan dengan jari mengembang. Selontar angin menjadi pijakan Sukra untuk mengubah arah.
“Bluluk Rambang!”
Ki Bluluk Rambang tercengang dengan perubahan yang sedemikian cepat terjadi. Ia nyaris tidak dapat berbuat selain mundur setapak.
Dari atas,ketika tubuhnya melayang, Sukra memandang sekilas keadaan di sekitar Ki Bluluk Rambang. Ia tersenyum karena dapat mengenali ceruk sungai yang dangkal atau sedikit dalam. “Sangat berbahaya bila aku menyerang pengumpat itu dalam keadaan melayang. Ki Lurah melarangku berbuat demikian,” kata Sukra dalam hati. Ia berjungkir balik untuk menghentikan laju lalu mendarat sambil tetap menjaga jarak dari musuhnya.
“Ki Bluluk Rambang. Sang pengumpat. Aku ingin bertanya lagi padamu, apakah benar engkau telah memilih sungai ini sebagai akhir dari hidupmu?” Sukra bertanya dengan nada mentereng dan sikap tubuh yang cukup keren. Sungguh, sebenarnya Sukra menjadi gembira dan merasa seolah telah kembali ke rumah. Sungai adalah tempat terbaik baginya selain rumah Agung Sedayu dan Tanah Perdikan Menoreh.
Bagaimana anak ini dapat kembali dari kematian? Apakah ini kebetulan? Ki Bluluk Rambang gugup dan menjawab dengan suara glagapan, “Baru sehari engkau belajar olah kanuragan, namun ucapanmu sudah penuh dengan perasaan jumawa.”
Sukra menanggapinya dengan sikap tak peduli. Tidak penting baginya pendapat orang ketika menilai dirinya. Orang tidak akan tahu yang terjadi di dalam hati orang lain. Mereka hanya berpraduga, mengira dan menyangka. Buat apa ia pedulikan itu? “Kebebasan adalah ketika engkau tidak merasa tertekan dengan pendapat orang lain mengenai keadaanmu,” demikian nasehat Agung Sedayu padanya ketika Sukra menjumpainya di barak pasukan khusus Menoreh.
Dari balik temaram cahaya, Sukra kembali bertanya, “Apakah aku sedang berbicara dengan Ki Bluluk Rambang? Hey, aku bertanya padamu, di mana Bluluk Rambang?” Walau demikian, sambil bercakap, Sukra berjalan perlahan menyibak permukaan sungai menuju ceruk yang sedikit dalam.
Ki Bluluk Rambang meradang!
Ki Bluluk Rambang tiba-tiba mengamuk. Kesetanan. Cukup baginya. Ucapan Sukra benar-benar penuh penghinaan baginya. Ia menerjang dengan kekuatan dahsyat!
Sukra telah bersiap. Ia telah membuat perhitungan matang. Ia akan menghindar dengan cara menyelam.
Serangan Ki Bluluk Rambang mengenai udara kosong. Tubuh Sukra menghilang di bawah permukaan air.
“Jancuk!”
Catatan : jancuk terpaksa saya gunakan karena tidak menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan kejengkelan Ki Bluluk Rambang.