Harapan itu adalah keadaan yang wajar apabila muncul dalam perasaan Kinasih. Daya tahan Agung Sedayu belum dapat dianggap pulih jika harus turun tangan dalam suatu perkelahian. Apalagi orang-orang yang bakal menjadi lawan Agung Sedayu juga belum diketahui tingkatan mereka. Maka, itu adalah kerumitan tersendiri yang berada di dalam pikiran Kinasih. yang tak terduga-duga. Ia harus tetap berada di bawah pesan Nyi Ageng Banyak Patra. Ini adalah pekerjaan berat, kalimat ini muncul berulang-ulang pada setiap lorong pikiran Kinasih. Menahan Agung Sedayu agar tidak terlalu cepat menempuh perjalanan, menjaga diri mereka sendiri dari jangkauan penciuman petugas sandi Raden Atmandaru, bahkan mereka harus bersembunyi ketika berpapasan dengan prajurit peronda. Kinasih, dengan perasaan bersalah, harus tega membairkan Sukra berkelahi seorang diri hingga datang campur tangan dari lurah prajurit Mataram, Ki Sura Pawira.
Berseberangan dengan isi pikiran Kinasih, Agung Sedayu justru sibuk dengan perhitungan atau perencanaan rahasia yang mungkin sedang dibangun oleh Panembahan Hanykrawati atau Ki Patih Mandaraka. Apabila Swandaru sudah terlibat, walau belum cukup dalam, maka hampir dapat diperkirakan bahwa sejumlah orang di dalam istana pun telah melumuri lidah dan pikiran mereka dengan persekongkolan rahasia. “Ini bukan perkembangan yang dapat dianggap main-main. Ini bukan sebuah permainan,” desis tajam Agung Sedayu dalam hatinya. Payung-payung perlindungan, alasan-alasan yang dipaksakan agar masuk akal serta duta-duta pembawa pesan tentu sudah berada dalam genggaman senapati-senapati cerdas tapi berjalan dengan punggung yang berlawanan dengan Mataram. Sesuai dengan keadaan yang digambarkan di dalam pikirannya, Agung Sedayu pun menjangkau tempat persenjataan dan perkemahan lawan. Yang terpendek dalam dugaannya adalah wilayah-wilayah yang akan menjadi tempat pemberhentian atau berkumpul untuk sementara waktu.
“Di manakah itu?” Agung Sedayu bertanya pada dirinya sendiri.
Sebetulnya, masih dalam pikiran Agung Sedayu, Sukra akan dapat bertahan dan tidak menutup leuang untuk menang. Namun pendapat itu bergeser ketika rombongan Ki Sambak Kaliangkrik terlihat berhenti. Kemudian penilaian itu berubah lagi sejak Ki Sura Pawira menerjunkan diri, bertarung bersama-sama Sukra. “Orang itu sudah pasti adalah prajurit Mataram,” ucap Agung Sedayu setengah berbisik hingga terdengar oleh Kinasih. “Semoga dia sudah menimbang bahwa mereka berdua akan mendapat kesulitan jika Ki Sambak Kaliangkrik berubah pikiran.”
Tidak ada salah Agung Sedayu berharap baik pada prajurit Mataram yang belum pernah dilihatnya sebelum pada malam itu. Ki Sura Pawira dalam pertimbangannya, Sukra selamat atau tidak, tetapi yang lebih penting adalah arah pergerakan Ki Sambak Kaliangkrik dan pengikutnya. Jika Sukra selamat, maka Ki Sura Pawira tidak akan mempunyai penyesalan dalam sisa hidupnya karena menolong orang lain. Jika Sukra memang ditetapkan berakhir hidupnya pada malam itu, setidaknya, Ki Sura Pawira dapat mengurangi kekuatan lawan. Dia tidak akan berarti apabila hanya bertopang dagu melihat pertarungan antara hidup dan mati.
Tidak ada keseimbangan dalam jumlah pada orang-orang yang terlibat perkelahian sengit tersebut. Anak buah Ki Sambak Kaliangkrik hanya harus berbagi menjadi dua kelompok untuk menghadapi dua lawan mereka. Perkembangan itu agaknya disadari Ki Sura Pawira. Maka, demi meringankan bebas Sukra yang berkelahi lebih lama darinya, Ki Sura Pawira mengincar orang yang menjadi pemimpin dari para pengeroyok. Dia sudah memperkirakannya. Mataram. Karena itu, belum lama mereka bergumul dalam pertarungan ketat, Ki Sambak Kaliangkrik telah mendapatkan perlawanan seru dari lurah Mataram itu.
Pada benturan yang pertama, Ki Sambak Kaliangkrik tidak terlalu terkejut dengan perubahan lawan. Ia sudah menduga bahwa pendatang yang menolong anak muda yang tidak dikenalnya itu akan menyongsong beradu dada dengannya. Mungkin mereka adalah lawan yang seimbanga atau berada pada tingkatan yang sepadan, tetapi perkelahian itu terjadi dalam keadaan tidak wajar. Meski demikian, pertempuran tetap terkesan seimbang dan mapan.
“Orang tua,” seru Ki Sambak Kaliangkrik, “apakah engkau tidak sayang pada usiamu yang tinggal sedikit saja?”
“Aku adalah prajurit,” tegas Ki Sura Pawira. “Aku adalah prajurit yang ditugaskan untuk menghadang pelarian kalian.”
“Jantan!” kata Ki Sambak Kaliangkrik dengan lantang. “Apakah Mataram sudah memberimu jaminan masa depan untuk anak dan istri yang kau tinggalkan jauh dari medan perang?”
Bila Anda terhibur? Bantulah dengan donasi melalui klik tautan ini.
Ki Sura Pawira tidak goyah perhatiannya atas ucapan yang dapat meluruhkan ketahanan jiwaninya. “Aku bukan lelaki manja karena tanggung jawabku adalah yang utama,” begitu kata hati Ki Sura. Di sekelilingnya, anak buah Ki Sambak Kaliangkrik berloncatan, berlomba-lomba saling mendahului untuk menggoreskan senjata pada Ki Sura Pawira. Utusan khusus Panembahan Hanykrawati ini bertahan sekuat tenaga. Dia terkurung oleh lingkaran yang sempit.
Namun itu bukan perkara mudah bagi lawan untuk memecah benteng pertahanan Ki Sura Pawira. Di luar perkiraan dan perhitungan Ki Sambak Kaliangkrik, Sukra – sang belalang tempur Pangeran Purbaya – melawan dengan kekuatan yang mengejutkan para pengeroyoknya, terutama Ki Klowor Junwangi. Bagaimana mungkin anak ini tiba-tiba dapat melipatgandakan kekuatan dan kecepatannya? pikirnya sebagai orang pertama yang menjadi penantang Sukra di bagian hutan yang terletak pada jalur yang menghubungkan Sangkal Putung dengan Pajang. Maka, dan tentu saja, sepak terjang Sukra sanggup memecah perhatian anak buah Ki Sambak Kaliangkrik yang mengepungnya cukup rapat. Sejauh waktu mengapung di dalam hutan, belum ada orang yang mampu memojokkan Sukra seperti tikus yang tersudut. Mereka terhalang kebuntuan dengan tata gerak Sukra yang penuh kembangan-kembangan yang mengejutkan dan menyusahkan. Mereka hanya mampu memaki dan memaki dalam hati atau juga mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas didengar.