Dalam waktu itu, Ki Tumenggung Wilaguna membayangkan suatu keadaan yang melegakan hatinya. Ia tidak menginginkan kekuasaan atau pengaruh lebih dari yang sekarang berada padanya, tetapi kepuasan ketika melihat kesengsaraan menimpa keturunan Panembahan Senapati. Ia dapat merasakan kebebasan yang demikian karena tidak menganggap dirinya sedang diperalat. Justru sebaliknya, Ki Tumenggung Wilaguna yakin bahwa ia sedang menunggangi gerakan Raden Atmandaru.
Pada sisi lain, iring-iringan pengawal Panembahan Hanykrawati berjalan semakin dekat dengan tikungan yang diapit dua tebing pendek yang tidak berhadapan lurus. Mereka akan melewati tebing yang sedikit tandus yang terletak pada kanan jalan, kemudian jalanan akan sedikit menurun. Lantas sebidang tebing yang terletak pada bagian kiri mereka akan tampak setelah mendaki jalan yang landai. Barisan akan memasuki tempat yang dapat dianggap sebagai celah sempit dan mempunyai kelebihan jika digunakan untuk melakukan serangan kilat. Mereka tidak mempunyai ruang untuk melakukan pengamatan dan benar-benar menggantungkan pada penglihatan petugas sandi dan prajurit pelopor. Aba-aba dari pengamat berkumandang meminta orang-orang untuk meningkatkan kesiagaan. Sebagian dari mereka berdebar-debar dengan raut wajah tegang. Bagi mereka, sesaat lagi adalah pertemuan puncak yang dapat dijadikan sebagai gambaran akhir perjuangan Raden Atmandaru.
Hampir setiap orang yang berada di dalam barisan itu sudah mengetahui kemungkinan bahwa perjalanan mereka berada di bawah ancaman musuh yang tidak terlihat. Setiap kali mereka melalui tempat yang terbuka, maka segenap kewaspadaan meningkat berlipat-lipat. Setiap mereka melewati celah yang agak tertutup, maka tangan mereka berada lebih dekat dengan senjata.
Dari samping barisan belakang, Agung Sedayu melihat seseorang berlari dengan tubuh sedikit merunduk. Ia tampak tergesa-gesa menghampiri Agung Sedayu yang ketat mengawasi rombongan. Sesaat kemudian, orang itu duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup memberinya perlindungan jika ada pengamatan dari tempat yang lebih tinggi. Ketika Agung Sedayu sudah jelas melihatnya, ia mengarahkan jari telunjuk pada arah tertentu. Agung Sedayu mengangguk lalu memberi isyarat pada Ki Baya Aji agar mendekat padanya. Ketika Ki Baya Aji sudah berdiri di sampingnya, mereka segera terlibat pembicaraan sungguh-sungguh. Sebagai orang yang pernah menjadi bawahan langsung Agung Sedayu di barak pasukan khusus Menoreh, Ki Baya Aji memahami cara berpikir Agung Sedayu yang kadang dirasa sulit dimengerti oleh orang lain.
“Ada sekelompok orang yang berada di tempat itu,” kata Agung Sedayu menunjuk pada arah sambil memberi isyarat agar Ki Baya Aji seolah-olah tidak melihat pada arah yang ditunjuk pemimpinnya.
“Jika demikian, ada kemungkinan mereka akan memotong rombongan dari dua sisi atau hanya satu sisi saja,” ucap Ki Baya Aji. “Serangan jarak jauh dengan lontaran anak panah atau lembing berujung tajam tentu akan menyulitkan kita untuk membalas serangan.”
“Benar,” kata Agung Sedayu, “kita akan sibuk melindungi pertahanan dan keselamatan Panembahan Hanykrawati.”
Pada bagian depan, Pangeran Selarong memberi aba-aba agar barisan mengurangi kecepatan. Perkembangan itu sesuai dengan kesepatakan dengan Agung Sedayu sebelumnya ketika senapati pasukan khusus itu mengutarakan siasatnya. Dalam benaknya, Pangeran Selarong sudah membuat perkiraan bahwa akan pecah benturan saat barisan memasuki lorong sempit di antara dua tebing landai. Oleh karena itu, ia menerima siasat Agung Sedayu dengan beberapa perbaikan darinya.
Dari bagian lain tebing, Ki Tumenggung Wilaguna menoleh pada Ki Hariman sambil berbisik, “Mereka sudah dekat. Apakah Kiai ingin memastikan kesiapan kita?“
“Aku tidak begitu paham tentang peperangan atau keprajuritan,” sahut Ki Hariman. “Yang aku mengerti hanyalah kewaibanku saat terjadi benturan keras.”
Ki Tumenggung Wilaguna mendengus, lalu memanggil seorang pemimpin kelompok, katanya, “Perhatikan, lalu buatlah penyesuaian bila memang diperlukan. Mudah-mudahan kita dapat menghabisi mereka dalam satu gebrakan. Jika Panembahan Hanykrawati tidak dapat melanjutkan perjalanan menuju Alas Krapyak, tentu saja itu akan memberimu nilai yang tinggi di Raden Atmandaru.”
Pemimpin kelompok itu mengangguk, kemudian berkata, “Saya sendiri merasa tidak cukup jika hanya memberi mereka kesulitan. Bila mereka gagal dihadang, kesulitan mereka dapat saja berubah menjadi senjata tajam yang menembus jantung kita secara tiba-tiba.”
Info Catering di sini
“Ucapan yang menyenangkan,” kata Ki Tumenggung Wilaguna sambil menampakkan senyum pada wajahnya. “Berhati-hatilah. Jangan gegabah dan menganggap enteng Mataram meski kalian menempati kedudukan yang sangat menguntungkan. Sedikit kesalahan akan dapat mengundang bencana besar untuk kita semua.” Lalu ia memberi beberapa pesan dan arahan yang harus dilakukan oleh orang-orang yang berharap ganjaran besar dalam waktu itu.
“Saya mengerti, Ki Tumenggung,” ucap pemimpin kelompok itu lalu kembali ke barisan dengan membawa perintah dari Ki Tumenggung Wilaguna. Sejenak kemudian, mereka bersiap menyerang dengan serbuan kilat. Karena perbedaan ketinggian, maka mereka merasa tidak perlu menyiapkan tempat untuk berlindung atau menyembunyikan diri. Dengan ayunan lengan yang kuat, maka anak panah dan lembing akan meluncur deras seperti air bah yang _grojok_ dari ketinggian. Mereka membayangkan pasukan Mataram dan Panembahan Hanykrawati akan terhempas seperti dahan dan ranting yang terseret air sungai.
Sangat sulit bagi mereka untuk menyelamatkan diri. Jika untuk dirinya sendiri saja sudah tak mampu, bagaimana mereka akan melindungi Raden Mas Jolang? Inilah keyakinan para pengikut Raden Atmandaru, termasuk Ki Tumenggung Wilaguna sebagai juru siasat yang dipercaya untuk mengendalikan keadaan.
Jarak dua kelompok yang berseberangan itu semakin dekat. Bayang-bayang orang telah berada di bawah rimbun dedaunan. Dalam pada itu, Kinasih masih berada di belakang Ki Sanden Merti yang mengamati perkembangan dengan wajah tegang.
Ketika iring-iringan Panembahan Hanykrawati telah seluruhnya terapit oleh tebing, maka hujan anak panah dan lembing pun terjadi! Serangan muncul dari dua sisi tebing. Panembahan Hanykrawati dan pengiringnya benar-benar terjepit! Serentak para pengiring Panembahan Hanykrawati segera melindungi diri. Sebagian berlarian ke arah yang terkesan tidak jelas. Sebagian lagi bergerak kalang kabut. Semua orang yang berada di sekitar Panembahan Hanykrawati mengesankan tidak berada dalam satu siasat atau sedang berada di luar kendali!
Kelompok serbu yang pertama dari kubu Raden Atmandaru pun bersorak ketika memandang ke bawah. Mereka melihat betapa kekacauan segera melanda barisan yang mengawal Panembahan Hanykrawati. Wajah-wajah segera berbinar penuh kepuasan. Lebih-lebih saat dua kereta kuda Mataram berputar-putar seperti tidak dapat dikendalikan.
Perintah Pangeran Selarong segera menggema, memenuhi lembah sempit, “Tahan. Semua harus dapat menahan keadaan!” Sekilas ia melihat Agung Sedayu mulai bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan, kemudian putra raja itu tersenyum sambil mengangguk-angguk.
Barisan lawan mereka pun telah berganti. Kelompok serbu yang kedua mendapat giliran untuk menyerang iring-iringan Panembahan Hanykrawati dengan cara yang serupa namun tak sama. Selain tetap melontarkan anak panah, mereka mengganti lembing dengan benda lain. Mereka melemparkan kantung-kantung kulit yang berisi cairan mudah dibakar.
Dari tempatnya, Kinasih tidak dapat melihat keadaan yang berubah sangat cepat. Perhatiannya hanya tertuju pada Ki Sanden Merti. Tiba-tiba orang itu bergerak cepat, menuju ke tempat sekumpulan penyerbu yang berada di bawah perintah Ki Tumenggung Wilaguna. Kinasih hanya memandangnya saja. Ia tidak berpikir untuk membuntutinya lagi karena melaporkan keadaan terakhir pada Agung Sedayu adalah tujuan yang utama baginya saat itu.
Sekejap setelah Ki Sanden Merti melesat, Kinasih pun meluncur cepat menuju barisan pengiring Panembahan Hanykrawati. Murid Nyi Banyak Patra ini benar-benar gesit lagi lincah. Tubuhnya meliuk-liuk menghindari senjata tajam yang masih turun mengancam rombongan Panembahan Hanykrawati. Ia menerobos kekacauan dengan cara yang benar-benar menakjubkan. Dalam waktu itu, Kinasih tidak mengetahui keberadaan Agung Sedayu, dan buruknya adalah pandangannya terhalang oleh senjata serta orang-orang yang mencari perlindungan. Kinasih melompat lalu menyusup ke dalam kereta kuda yang terlihat terus menerus bergerak tanpa kendali. “Hebat!” puji Kirana dalam hati ketika mendapati bagian dalam kereta kuda yang kosong tanpa orang di dalamnya. Ini berarti Ki Rangga Agung Sedayu sudah berada di samping Panembahan, pikir Kinasih. Kinasih adalah perempuan muda yang mempunyai ketajaman nalar dan ketenangan yang cukup. Maka ia segera keluar dari kereta, lalu dengan gerakan yang sangat sulit ia pun menempel pada bagian bawah kereta. Lalu berguling, berpindah-pindah tempat hingga mencapai tempat yang aman untuk melakukan pengamatan. Cukup sulit baginya untuk menentukan kedudukan Agung Sedayu yang sudah pasti terus menerus bergerak demi keselamatan Panembahan Hanykrawati.
“Kinasih!” suara tertahan terdengar dari balik punggung Kinasih. Ia menoleh lalu terlihatlah Agung Sedayu melambai sambil menunjuk arah tertentu. Bayangan senpati pasukan Mataram itu pun segera menghilang dari pandangannya, lalu Kinasih melesat ke tempat yang ditunjuk Agung Sedayu.
Sebenarnya Panembahan Hanykrawati tidak berlindung pada tempat yang aman dari jangkauan anak panah dan lembing. Penguasa Mataram itu justru berada di sisi luar pertahanan yang berbentuk lingkaran yang disusun oleh para prajurit. Carut marutnya barisan ketika para pengawal berlarian tanpa arah justru adalah perisai yang mengamankan Panembahan Hanykrawati dari mata pemanah lawan. Keberadaan Agung Sedayu yang menempel ketat Panembahan Hanykrawati adalah benteng pelapis yang utama. Itu benar-benar di luar dugaan dan tidak berada dalam jangkauan penyusun rancangan serangan kubu Raden Atmandaru. Para pelontar senjata masih mengarahkan bidikan pada pusat lingkaran yang terus bergerak.
Pada waktu itu, saat Kinasih sudah berada di dekat Panembahan Hanykrawati dan mengambil sikap bertahan, Agung Sedayu mengetahu ada sesuatu yang buruk sedang menimpa Kinasih.
“Engkau baik-baik saja?” tanya Agung Sedayu.
“Saya, Ki Rangga.”
“Tapi engkau sedang menahan luka-luka.”
“Ini… luka-luka ini.. bukankah sudah biasa dalam keadaan seperti ini?”
Agung Sedayu mengerutkan kening. Sesuatu yang tidak beres telah terjadi sebelum mereka memasuki lorong sempit. Setelah meyakinkan diri dengan memperhatikan pernapasan Kinasih, Agung Sedayu menunjuk ke arah tebing yang berada di samping kanan mereka.
“Dari puncak tebing itu, aku lihat serangan mereka begitu lemah. Kau katakan pada Ki Baya Aji agar segera membawa beberapa orang ke sana. Bila kita berhasil menghancurkan mereka, maka kita akan menyelesaikan setengah usaha mereka. kamu jangan berada di dalam kelompok Ki Baya Aji, tapi sedikit menjauh. Itu untuk berjaga-jaga bila ada kekuatan susulan dari mereka yang datang dari arah tak terduga,” kata Agung Sedayu. Usai berucap demikian, senapati Mataram itu kemudian memberitahu Kinasih tentang kedudukan Ki Baya Aji.
“Aku cukup senang di samping Anda, Ki Rangga. Sangat senang dengan pertemuan ini, tapi begitu singkat…,” Kinasih tidak meneruskan perkataan hatinya. Ia segera memusatkan pikiran dan perasaan pada perintah Agung Sedayu.
Kinasih cepat berpikir bahwa kegentingan yang melanda rombongan Panembahan Hanykrawati harus segera diatasi. Bahkan muncul keinginan yang sangat kuat untuk dapat membalikkan keadaan. Maka dari itu, tanpa berlama-lama mengamati keadaan sekitar, murid tunggal dari putri Panembahan Senapati itu bergegas menjalankan siasat Agung Sedayu.