Jejak di Balik Kabut

Jejak-jejak di Balik Kabut 9 – Cincin Bermata Tiga Batu Akik

“Ya. Sibuk mengadu ayam” jawab Ki Jagabaya.

Adeg Panatas menarik napas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Apa yang terjadi jika Kebo Lorog itu kemudian memusuhi Kademangan ini? bukan hanya padukuhan kita?”

“Ki Demang tidak memberikan tanggapan dan kesan apa pun tentang Kebo Lorog.” sahut Ki Jagabaya.

“Apakah ia belum mengenalnya?” tanya Adeg Panatas.

“Tentu sudah” jawab Ki Bekel, “tetapi ia tidak tertarik untuk berbicara tentang Kebo Lorog. Mungkin Ki Demang juga mempunyai keyakinan diri.”

“Ada beberapa orang yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi yang tinggal di padukuhan induk. Lebih dari itu, ada dua orang pengawal Ki Demang yang tangguh.” berkata Ki Jagabaya.

Adeg Panatas mengangguk-angguk. Tetapi ia mendapat kesan yang kurang mapan bagi seorang Demang. Tampaknya ia melakukan apa saja yang disenanginya, tetapi ia tidak menaruh perhatian terhadap sesuatu yang tidak langsung menyangkut dirinya. Tetapi mereka bertiga tidak berbicara lebih panjang tentang Ki Demang. Mereka mulai membicarakan rencana kepergian mereka ke Kwarasan untuk menghadap Ki Tumenggung Wirayuda. Ki Bekel tidak ingin persoalan benda-benda berharga itu berkepanjangan. Karena itu, maka mereka bertiga pun sepakat untuk segera pergi ke Kwarasan.

“Besok pagi-pagi Kita berangkat” berkata Ki Bekel, “dengan demikian kita akan dapat kembali di sore hari.”

Sementara itu, dua orang bebahu dan beberapa orang lain telah pergi ke kuburan, menggantikan Sura dan kawankawannya. Paksi pun telah ikut pulang pula bersama Sura ke rumahnya. Bahkan Sura telah meminjaminya lagi pakaian, karena Paksi harus mencuci pakaiannya yang kotor. Semalaman ia berada di kuburan, bertempur dan kemudian duduk-duduk di rerumputan berdebu. Hari itu, Paksi sempat bermain-main dengan Salam. Anak itu memang anak yang cerdas. Di siang hari, ketika Paksi diminta untuk makan siang bersama Sura, ia menyatakan keinginannya untuk meneruskan perjalanan.

“Aku sudah cukup lama terhenti di sini, Paman.”

“Aku masih minta kau menunggu, Ngger. Setelah persoalan benda-benda berharga yang disembunyikan para perampok itu selesai, maka terserahlah kepadamu, meskipun aku ingin mencoba untuk menahanmu di sini.”

“Bukankah aku sudah lidak mempunyai kepentingan lagi?”

“Tentu masih ada, Ngger, bukankah Ki Bekel, Ki Jagabaya dan adi Adeg Panatas akan pergi ke Kwarasan untuk melaporkan penemuan ini kepada Ki Tumengung Wirayuda?”

“Bukankah aku tidak diperlukan lagi? Segalanya sudah jelas. Persoalan kemudian adalah persoalan Ki Bekel, Ki Demang dan Tumenggung Wirayuda.”

“Tidak, Nngger” sahut Sura, “kau adalah orang yang pertama kali melihat dan kemudian berhasil membuktikan bahwa keranda itu adalah sekedar tipuan yang sengaja dibuat untuk menimbulkan keresahan. Kau pula yang melihat di mana orang-orang Itu menyembunyikan barang-barang hasil rampokan itu. Kau harus Ikut menyaksikan Ki Tumenggung Wirayuda membongkar benda-benda berharga itu. Kau harus melihat apa saja yang telah disembunyikan oleh para peiampok itu.”

“Bukankah itu tidak perlu, Paman.” jawab Paksi.

Sura tersenyum. Katanya, “Aku tahu. Kau tidak ingin menonjolkan dirimu sendiri untuk mendapat pujian. Tetapi mungkin kau diperlukan untuk menjawab beberapa pertanyaan.”

Paksi terpaksa tinggal untuk beberapa hari lagi, Meskipun demikian, ia menjadi berdebar-debar, jika Ki Tumenggung Wirayuda itu mengenal ayahnya dan bahkan pernah datang ke rumahnya, mungkin ia dapat mengenalinya. Tetapi menurut ingatannya, ia tidak pernah mendengar nama itu.

Sementara itu, ternyata Salam pun ikut menahannya pula. Kehadiran Paksi di rumahnya, membuat rumah itu tidak terlalu sepi baginya. Ia mempunyai kawan bermain tanpa harus keluar dari regol halaman rumahnya.

Dalam pada itu, di hari berikutnya, Ki Bekel, Ki Jagabaya dan Adeg Panatas telah memacu kudanya menuju ke Kwarasan untuk menghadap Ki Tumenggung Wirayuda. Satu perjalanan yang agak panjang tapi dengan berkuda, jarak itu terasa jauh lebih pendek.

Laporan itu sangat menarik perhatian Ki Tumenggung. Tidak sebagaimana Ki Demang yang sekedar mengangguk-angguk. Tetapi Ki tumenggung telah menanyakan beberapa hal tentang para perampok itu Apalagi ketika disebut nama Kebo Lorog.

“Kami gagal menangkapnya, Ki Tumenggung” berkata Adeg Panatas.

Ternyata Ki Tumenggung pun bergerak cepat.

Ketika Ki Bekel melaporkan bahwa orang-orang padukuhan terpaksa menunggui kuburan itu siang dan malam, maka Ki Tumenggung berkata, “Aku akan pergi bersama kalian. Aku akan membawa sekelompok prajurit untuk mengurus para tawanan.”

“Terima kasih Ki Tumenggung.” jawab Ki Bekel.

Ki Tumenggung pun kemudian telah memerintahkan sekelompok prajurit untuk menyertainya. Kecuali kuda yang mereka tumpangi maka mereka pun telah membawa kuda-kuda tanpa penunggangnya. Kuda-kuda itu akan dipergunakan untuk membawa para tawanan. Namun atas permintaan Ki Bekel, maka Ki Tumenggung juga membawa kuda kuda yang akan menjadi kuda beban.

“Sebaiknya benda-benda berharga itu dibawa meninggalkan padukuhan kami, Ki Tumenggung. Kami tidak mempunyai kekuatan cukup untuk mempertahankannya, seandainya Kebo Lorog kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Tetapi jika ia tahu, bahwa benda-benda berharga itu serta orang-orangnya telah kami serahkan kepada Ki Tumenggung atas nama Pajang, maka mereka tentu tidak akan kembali lagi, karena tidak ada gunanya.”

Ternyata Ki Tumenggung dapat mengerti permintaan Ki Bekel itu. Sehingga dengan demikian, ia telah membawa kuda lebih banyak lagi. Hari itu juga Ki Tumenggung Wirayuda telah berada di padukuhan bersama Ki Bekel. Mereka memang tidak membuang waktu. Ki Tumenggung itu pun segera pergi ke kuburan dan memerintahkan menggali benda-benda hasil rampokan itu. Seperti yang diduga oleh Sura, maka Paksi telah menjadi tempat bertanya bagi Ki Tumenggung. Ia harus menceriterakan kembali apa yang pernah dilihat dan didengarnya tentang hantu keranda dan benda-benda berharga yang di sembunyikan di kuburan itu. Ki Tumenggung mengangguk-angguk ketika Paksi selesai berceritera. Anak muda itu sudah mengatakan apa yang diketahuinya sejak ia melihat keranda yang diusung oleh orang-orang berpakaian hitam itu sampai saat ia mendengar rencana kedatangan Kebo Lorog.

Kami akan mencoba mengetahui siapakah orang-orang yang pernah dirampok oleh gerombolan ini” berkata Ki Tumenggung. Dengan bantuan para bebahu padukuhan, maka benda-benda berharga yang disembunyikan di kuburan itu telah dibawa ke banjar. Di banjar, Ki Tumenggung Wirayuda, Ki Bekel, Ki Jagabaya, Adeg Panatas, Paksi dan beberapa bebahu dapat melihat dengan jelas, apa yang tersimpan di kuburan itu. Beberapa orang hampir tidak percaya kepada penglihatannya sendiri ketika mereka melihat perhiasan emas dan permata. Berlian, intan, mutiara dan batu batu mulia yang lain. Selain perhiasan juga terdapat berbagai macam wesi aji, keris, tombak tanpa tangkainya dan benda benda lain yang dianggap bernilai tinggi.

Namun Paksi menjadi berdebar debar ketika Ia mendengar Ki Tumenggung Wirayuda itu bertanya, “Apakah di antara perhiasan-perhiasan itu tidak terdapat sebuah cincin dengan mata tiga buah batu akik.”

Ki Bekel yang ikut mengeluarkan perhiasan-perhiasan dari petinya menggeleng sambil berkata, “Tidak, Ki Tumenggung. Tetapi apa yang Ki Tumenggung maksudkan, ada orang yang pernah melaporkan kehilangan cincin dengan mata tiga buah batu akik?”

Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak Namun kemudian katanya, “Tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya pernah mendengar bahwa cincin yang demikian Itu adalah cincin yang baik.”

“Bukankah biasanya cincin hanya mempunyai matu satu batu akik?” bertanya Adeg Panatas.

“Ya. Cincin yang satu itu memang cincin yang, khusus.” jawab Ki Tumenggung.

Paksi menarik napas dalam-dalam.

Sementara Ki Bekel bertanya “Cincin siapakah yang Ki Tumenggung maksudkan?”

“Seseorang mencari cincinnya yang hilang. Bukan dirampok. tetapi siapa tahu, cincin itu akhirnya jatuh ke tangan para perampok.”

Adeg Panatas masih akan bertanya tetapi Ki Tumenggung telah berkata, “Sudahlah. Cincin dengan mata tiga buah batu akik itu tidak penting.” Dengan demikian, maka Ki Tumenggung itu mulai membicarakan, bagaimana ia akan membawa barang-barang berharga itu serta para tawanan. Bagi Ki Tumenggung, Ki Pituhu itu merupakan tawanan yang penting. Karena dari mulutnya akan dapat didengar, siapa saja yang pernah dirampoknya. Dengan demikian, maka Ki Tumenggung itu akan dapat menelusuri, siapakah pemilik benda-benda berharga itu. Meskipun tidak seluruhnya, tetapi para pemiliknya akan berterima kasih jika barang-barang yang masih dapat diketemukan itu kembali kepada mereka. “Dalam hal ini, aku tidak dapat mengambil keputusan sendiri,” berkata Ki Tumenggung Wirayuda, “aku harus memberikan laporan ke Pajang. Pajang tentu akan menugaskan seeorang yang menguasai kepastian paugeran dalam persoalan seperti ini untuk bersama-sama menyelesaikannya.” Demikianlah, maka segala sesuatunya sudah disepakati oleh kedua belah pihak.

Ki Bekel dan para bebahu padukuhan itu, merasa bahwa kewajiban mereka telah mereka lakukan dengan baik, sehingga mereka tidak dibebani oleh kegelisahan.

Namun Ki Tumenggung Wirayuda itu berkata, “Tetapi setiap saat, kami mungkin masih akan menghubungi Ki Bekel untuk mendapat keterangan yung diperlukan.”

“Kami tidak berkeberatan, Ki Tumenggung” jawab Ki Bekel.

Meskipun demikian, ternyata Ki Tumenggung itu juga bertanya tentang sikap Ki Demang yang seolah olah tidak ikut campur dalam persoalan yang termasuk penting ini.

“Ki Demang sudah mengetahui persoalannya, Ki Tumenggung” jawab Ki Bekel, “Ki Demang memnugaskan kami untuk menyelesaikan persoalan ini. Karena itu, kami telah datang menghadap Ki Tumenggung.”

“Baiklah Ki Bekel. Dengan demikian untuk selanjutnya kami akan selalu berhubungan dengan Ki Bekel saja.” Demikianlah, malam itu, Ki Tumenggung dan pengiringnya telah bermalam di padukuhan itu. Ki Tumenggung sempat berbicara serba sedikit dengan Ki Pituhu. Namun tampaknya Ki Pituhu tidak mudah unluk memberikan jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang diberikan oleh Ki Tumenggung. Meskipun demikian, Ki Tumenggung masih belum menekan Ki Pituhu agar menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Ketika Ki Tumenggung bertanya tentang Kebo Lorog, maka jawaban Ki Pituhu pun masih juga melingkar-lingkar. Bahkan seperti orang mengigau Ki Pituhu berkata, “Ki Kebo Lorog bukan seorang perampok. Ia datang sama sekali tidak ada hubungannya dengan benda-benda hasil rampokan itu. Ia sama sekali tidak menginginkan apa pun juga.”

“Jika saja ia tidak harus melarikan diri, ia tentu akan membawa sebagian besar dari benda-benda ini” berkata Ki Tumenggung.

“Tidak,” jawab Ki Pituhu, “kami tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Kebo Lorog kecuali bahwa kami telah mengenalnya dengan baik. Ia datang untuk menanyakan pesanannya kepadaku, karena ia mengenal aku sebagai seorang saudagar perhiasan, wesi aji dan berbagai jenis pusaka.”

“Apa yang dipesankan kepadamu?” bertanya Ki Tumenggung.

Wajah Ki Tumenggung menegang ketika ia mendengar Ki Pituhu menjawab, “Sebuah cincin dengan mata tiga buah batu akik.”

Paksi yang juga mendengar pembicaraan itu menjadi tertarik pula untuk mendengarkan lebih jauh. Tetapi Ki Tumenggung justru menghentikan pertanyaan-pertanyaannya dan memerintahkan untuk membawa Ki Pituhu kembali ke bilik tahanannya. Meskipun Ki Bekel dan Adeg Panatas juga tertarik mendengar jawaban Ki Pituhu lenlang cincin bermata tiga buah batu akik Itu, tetapi mereka tidak terlalu lama memikirkannya. Mereka menganggap bahwa beberapa orang mempunyai kepercayaan bahwa cincin yang demikian itu adalah cincin yang dianggap bernilai tinggi. Tetapi mereka belum pernah mendengar bahwa cincin itu adalah cincin istana yang hilang.

Malam itu Paksi yang untuk beberapa lama tinggal di rumah Sura kembali merenungi dirinya. Demikian ia kembali dari banjar, telinganya masih saja mendengar pertanyaan Ki Tumenggung Wirayuda tentang cincin bermata tiga serta keterangan Ki Pituhu bahwa Kebo Lorog sekedar memesan cincin serupa itu pula. Meskipun Ki Pituhu itu berbohong dan mengingkari hubungannya dengan Kebo Lorog, namun bahwa ia juga menyebut cincin bermata tiga buah batu akik itu telah mengganggu pikirannya.

“Ternyata ayah tidak sendiri,” berkata Paksi di dalam hatinya, “Ki Tumenggung Wirayuda juga berusaha mencari cincin itu. Bahkan Kebo Lorog juga berbicara tentang cincin bermata tiga itu.” Namun dengan demikian. Paksi makin menyadari bahwa tugas yang dihadapinya adalah juga yang semakin berat, terngiang kembali suara ibunya, “Kakang Tumenggung. Paksi masih terlalu muda untuk melakukan tugas yang begitu berat.” Tetapi ayahnya membentak, “Kau selalu memanjakannya.”

Paksi menarik napas dalam-dalam. Ia tidak pernah merasa terlalu dimanjakan oleh ibunya. Perhatian ibunya kepadanya dan kepada adik-adiknya tidak berbeda. Tetapi justru karena sikap ayahnya yang berbeda terhadapnya dari sikapnya kepada adik-adiknya, maka ayahnya selalu menyangka bahwa ia terlalu dimanjakan oleh Ibunya Terasa sesuatu bergelar di hati Paksi, Justru setelah ia keluar dari rumahnya, maka ia sempat menilai apa yang pernah terjadi atas dirinya. Wajah ayahnya yang tidak pernah manis kepadanya sebagaimana kepada kedua orang adiknya. Tetapi Paksi berusaha untuk menyingkirkan perasaannya itu. Ia tidak mau menuduh ayahnya bersikap emban cinde emban siladan. Ia tidak mau menganggap ayahnya tidak adil terhadap ketiga orang anaknya. Paksi mencoba untuk dapat memejamkan matanya. Dengan susah payah ia menyingkirkan angan-angannya tentang keluarganya. Tetapi ia justru terjebak kedalam persoalan yang lain. Ia tidak melihat orang yang wajahnya cacat itu berada di antara orang-orang yang tertangkap bersama Ki Pituhu. Juga tidak ada di antara mereka yang terluka parah.

“Orang itu agaknya berhasil melarikan diri sebagaimana Kebo Lorog” berkala Paksi di dalam hatinya. Namun dengan demikian, orang yang sudah dapat mengenalinya itu akan selalu membayanginya. Setiap saat orang itu akan dapal muncul di hadapannya. Mungkin orang itu berusaha membayanginya. Tetapi mungkin orang itu menjumpainya dengan tidak sengaja di mana pun. Sebagai pengikut Ki Pituhu, maka orang itu tentu juga pernah mendengar tentang cincin bermata tiga buah batu akik itu. Jika orang itu juga memburu cincin itu, memang ada kemungkinan mereka akan dapat bertemu lagi. Paksi tidak pernah merasa takut kepada orang itu. Beberapa kali ia sudah berhadapan langsung dan bertempur melawannya. Paksi selalu dapat mengusir orang itu.

Tetapi ada sesuatu yang terasa aneh bagi Paksi. Menurut pendapat Paksi, orang itu memiliki sumber ilmu yang sama dengan ilmunya. Bahkan unsur-unsur dari ilmu itu telah berkembang dan terasa lebih matang. Tetapi orang itu tidak mampu mengalahkannya dan bahkan orang itu setiap kali harus menyingkir dari medan. Paksi pun merasa aneh, bahwa justru dalam setiap pertempuran, rasa-rasanya ia telah menemukan sesuatu yang baru, yang dapat membuat ilmunya semakin berkembang pula. Tetapi persoalan itu tetap menjadi persoalan pribadinya. Ia tidak akan dapat minta pendapat apalagi pertimbangan kepada orang lain. Namun angan-angan Paksi itu semakin lama memang menjadi semakin kabur, sehingga akhirnya Paksi itu pun telah tertidur di sisa malam itu.

Seperti hari-hari sebelumnya selama ia berada di rumah Sura, maka pagi-pagi Paksi sudah bangun. Salampun ternyata telah bangun pagi pagi pula dan bersama Paksi membersihkan halaman samping rumah. Ketika Paksi menimba air di sumur, maka Salampun ikut-ikutan pula ke sumur. Tetapi Paksi mencegahnya.

“Kau akan justru terangkat oleh senggot timba itu,” berkata Paksi.

“Aku sudah dapat menimba sendiri” berkata Salam.

“Jangan. Jika ayahmu melihatnya, maka ayahmu tentu akan marah. Kau masih terlalu kecil untuk menahan berat senggot itu.”

Salam memang tampak menjadi kecewa.

Tetapi Paksi pun berkata, “Ambil bumbung itu. Kau isi gentong di dapur.” Salam pun segera berlari mengambil sebuah bumbung pring petung. Sepotong bumbung bumbu petung yang besar. Tetapi Paksi memilih yang tidak terlalu panjang.

Sura memperhatikan anaknya yang berlari-lari itu sambil tersenyum. Agaknya Salam menjadi lebih gembira setelah Paksi ada di rumah itu. Tetapi Sura menyadari, bahwa Paksi tidak akan dapat terlalu lama di rumahnya. Jika nanti Ki Tumenggung Wirayuda meninggalkan padukuhan itu, maka Paksi pun tentu segera pergi untuk melanjutkan pengembaraan.

Sebelum matahari terbit, Paksi memang telah berbenah diri. Ia sudah mengenakan pakaiannya sendiri Sudah mencuci pakaian yang dipinjamnya dari Sura. Paksi memang sudah berniat untuk melanjutkan perjalanannya melakukan perintah ayahnya. Pergi ke tempat yang tidak diketahuinya. Tetapi dengan satu pengertian baru, bahwa banyak orang yang akan meramaikan perburuan itu. Bukan hanya para pemimpin prajurit dan lingkungan tertentu di istana. Tetapi orang-orang seperti Kebo Lorog pun telah ikut berburu pula.

Pagi itu Sura telah dipanggil ke banjar bersama Paksi. Juga Mertawira, selain Ki Bekel, Ki Jagabaya dan para bebahu. Ki Tumenggung Wirayuda hari itu akan kembali ke Kwarasan.

“Atas persetujuan kalian, maka benda-benda berharga ini akan aku bawa ke Kwarasan. Kalian telah menyaksikan isi dari peti-peti itu, sehingga pada suatu saat mungkin para petugas dari Pajang ingin mendengar keterangan kalian.”

“Baiklah,” jawab Ki Bekel, “setiap saat kami bersedia melakukan perintah apa pun juga. Kami akan menjadi saksi semua peristiwa yang telah terjadi.”

Namun Ki Wirayuda sempat juga bertanya, “Apakah kalian tidak akan mengulangi menyelenggarakan keramaian merti desa itu?”

“Keramaian itu sudah kami lakukan, Ki Tumenggung. Kami telah menyatakan sukur atas keberhasilan kami pada musim tanam padi yang lalu, meskipun keramaian itu sempat bubar di dini hari. Tetapi kami rasa kami tidak perlu mengulanginya, Ki Tumenggung.”

“Jika Ki Bekel ingin mengulanginya, serta Ki Bekel ingin mendapat perlindungan dari para prajurit, maka kami dapat melakukannya.”

“Terima kasih, Ki Tumenggung. Kami merasa bahwa yang kami lakukan sudah cukup. Selain itu kami memang harus berhemat sampai musim panen mendatang.”

“Bagus,” berkata Ki Tumenggung, “sebaiknya kalian memang mempergunakan nalar untuk mencapai keseimbangan dalam tatanan kehidupan kalian.“

“Ya, Ki Tumenggung. Kami sadari hal itu, justru karena pada umumnya orang-orang padukuhan kami bukan orang-orang yang kaya.”

Ki Tumenggung tersenyum. Kemudian katanya,“Baiklah. Kami akan minta diri. Kami hargai kejujuran kalian meskipun padukuhan ini bukan sebuah padukuhan yang kaya. Mungkin pada suatu saat aku masih akan datang lagi kemari.” lalu katanya kepada Paksi, “kau akan menjadi kebanggaan padukuhan ini, anak muda. Aku ingin kau sekali-sekali datang ke Kwarasan sementara aku masih bertugas di sana.”

“Terima kasih, Ki Tumenggung,” jawab Paksi. Tetapi Paksi tidak menjawab lebih panjang lagi    Ia ingin Ki Tumenggung Wirayuda itu tidak terlalu banyak memperhatikannya, karena Paksi memang sudah merencanakan untuk segera meninggalkan padukuhan itu Demikianlah, maka sejenak kemudian iring-iringan sekelompok prajurit yang dipimpin langsung oleh Ki Tumenggung Wirayuda itu telah meninggalkan padukuhan. Beberapa ekor kuda yang memang sudah dipersiapkan untuk para tawanan telah dipergunakan oleh para tawanan itu pula, termasuk Ki Pituhu. Selebihnya beberapa ekor kuda menjadi kuda beban untuk membawa barang-barang berharga yang dapat dirampas dari tangan sekelompok perampok yang dipimpin oleh Ki Pituhu di bawah bayangan kuasa Kebo Lorog.

“Kekuatan yang cukup untuk menguasai para tawanan dan melindungi benda-benda berharga itu,” desis Adeg Panatas.

Kisah Terkait

Jejak di Balik Kabut 4 (Jilid 1)

kibanjarasman

Jejak-jejak di Balik Kabut 8 – Penyelesaian Masalah Perampokan Keranda Terbang

kibanjarasman

Jejak di Balik Kabut 7 – Perkelahian Paksi

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.