Kiai Bagaswara menyambut uluran tangan Agung Sedayu, kemudian berkata, “Saya tidak mengira kedatangan kami bertiga pada malam ini tidak terjadi pada waktu yang tepat.”
Agung Sedayu mengerti arah pembicaraan orang yang pernah mejadi tamu Ki Gede Menoreh. Ia menggeleng lantas katanya, “Kami? Bertiga? Saya tidak melihat ada orang lain selain Kiai.”
“Saya datang bersama dua anak muda yang dapat diandalkan untuk membantu Ki Rangga. Mereka sedikit sibuk di pedukuhan sebelah.”
“Oh, tentu Kiai melewati Pedukuhan Jagaprayan. Dan dua anak muda, bila saya boleh menduga, apakah salah satu dari mereka adalah Sukro?”
“Benar, Ki Rangga. Seorang lagi adalah Sayoga.”
“Ah, tentu saja, tentu saja. Ini benar-benar berita gembira bagi orang-orang Sangkal Putung.” Paras wajah Agung Sedayu menyiratkan kelegaan yang luar biasa. Seolah-olah beban berat yang membuat dadanya pepat telah terangkat dengan datangnya tiga orang dari Tanah Perdikan.
Suara peronda dan pengawal kademangan terdengar menguasai udara Sangkal Putung. Mereka meminta orang-orang untuk bersikap tenang dan kembali memasuki rumah masing-masing. Permintaan itu mereka gaungkan berulang-ulang. Suasana yang demikian menyebabkan Kiai Bagaswara berpikir ulang untuk mengatakan sesuatu pada Agung Sedayu. Dalam waktu itu mereka bertiga beriringan mengayun kaki menuju rumah Ki Demang.
Namun karena Kiai Bagaswara telah melihat keadaan Sekar Mirah pada saat terjadi kebakaran di Tanah Perdikan, maka pengampu padepokan yang disegani oleh Ki Gede itu pun menetapkan niatnya.
“Ki Rangga,” kata Kiai Bagaswara setengah berbisik, “bagaimana dengan keadaan angger Sekar Mirah?”
“Oh,” Agung Sedayu terdengar seolah mengeluh. Paras wajahnya sedikit pucat dengan pertanyaan yang telah diduga olehnya. “Mungkin saya bukan seorang suami yang baik. Saya belum melihat keadaan Mirah semenjak keadaan di kademangan mendadak berubah genting.”
“Tidak, tidak. Bukan seperti itu Ki Rangga seharusnya menilai keadaan sendiri. Ki Rangga pun sedang terikat oleh kewajiban lain. Walau pun keinginan hati ingin menemani angger Sekar Mirah, tetapi kadang kala kita dipaksa keadaan untuk mengorbankan sesuatu yang kita anggap lebih besar. Kesulitan yang dialami Ki Rangga saat ini dapat dianggap sebagai senyuman takdir pada angger Sekar Mirah.”
“Benar, Kiai, Benar seperti itulah keadaan yang sering kita hadapi.”
Mereka telah mendekati regol pekarangan rumah Ki Demang. Sesaat lagi Agung Sedayu akan memasuki halaman rumah. Tiba-tiba perasaannya terguncang. Darahnya mengalir lebih cepat tanpa suatu sebab yang dipahami olehnya.
“Apakah aku terlambat?” bertanya Agung Sedayu pada hatinya ketika rumah Sekar Mirah terlihat begitu sepi. Tidak ada orang yang duduk di pendapa maupun beranda. Hanya sejumlah anak muda yang bertugas menjaga gardu jaga di dekat regol.
“Kalian masih di sini?” tanya Agung Sedayu pada anak-anak muda yang berjaga.
“Seperti itulah perintah dari pemimpin kami, Ki Rangga.”
Agung Sedayu mengangguk. Diam-diam ia merasa bangga dengan sikap gagah pengawal kademangan. Mereka, para penjaga gardu, tidak sedikit pun bergeser tempat meski suasana sempat menjadi kacau dan sedikit menambah kerumitan.
Namun Agung Sedayu tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari bayangan-bayangan yang mungkin menimpa Sekar Mirah. Dalam keadaan sekarang, kekalutan yang terjadi pada jalan-jalan pikirannya benar-benar menyulitkan senapati Mataram itu memusatkan perhatian. Keadaan genting dan bahaya yang mengintai Sangkal Putung bukan sesuatu yang dapat disampingkan. Bahkan, apabila Raden Atmandaru dapat menguasai pedukuhan induk, maka nasib buruk yang menghampiri Sangkal Putung hampir tidak dapat dibayangkan. Mungkin mereka akan dijual sebagai budak, mungkin setiap perempuan akan kehilangan kehormatan, mungkin pula semua orang akan berakhir dengan hukuman mati. Tidak ada seorang pun yang dapat menebak jalan pikiran Raden Atmandaru dan pengikutnya.
Membayangkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi, Agung Sedayu semakin didera gelisah. Sepertinya kehadiran Kiai Bagaswara, Sukro dan Sayoga tidak meninggalkan bekas dalam hatinya. “Nasib buruk, apakah itu adalah senyuman takdir? Ah, kapankah aku dapat membicarakan itu dengan Kiai Bagaswara?” kembali hati Agung Sedayu melontarkan tanya.
Detak jantung Agung Sedayu kian kuat menghantam dinding di sekitarnya sewaktu kakinya menapak tangga pertama menuju beranda.
“Belum terlambat!” sambut dukun bayi yang melihat tiga orang melintas longkangan. Dukun bayi itu bergegas menyambut mereka. Wajahnya berubah cerah saat menatap wajah Agung Sedayu. “Sebaiknya Ki Rangga tetap berada di rumah. Saya hanya bisa menyarankan itu demi Nyi Sekar Mirah.” Tanpa tedeng aling-aling, dukun bayi tersebut segera bicara ke pokok permintaan.
Sejenak Agung Sedayu mematung dengan mata menyelidiki bola pandang dukun bayi. Ia berkata benar. Aku masih dapat mengatur siasat dan pengawal tanpa meninggalkan kewajiban yang lain, demikian isi pikiran Agung Sedayu. Kemudian senapati pasukan khusus itu berkata, “Baiklah. Setiap persoalan memang selalu memberikan jalan keluar.” Sekilas ia memandang Kiai Bagaswara, lalu berkata pada Dharmana, “Kembalilah ke banjar. Katakan pada orang-orang bahwa aku akan menunggu kelahiran anakku. Semoga mereka dapat mengerti. Dan, satu lagi, aku minta Kakang Dharmana untuk menjadi penghubungku.”
“Saya minta diri, Ki Rangga,” ucap Dharmana setelah mengangguk setuju.
Pada saat itulah dua anak muda berderap memecah keheningan di halaman rumah Ki Demang. Sejumlah penjaga gardu mencoba menghentikan mereka berdua. Sepertinya anak-anak muda Sangkal Putung belum mengenal keduanya dan dianggap sebagai pengacau yang dikirim oleh Raden Atmandaru.