KI Panuju membagi kelompok. Bunija, Sutiyasa dan Marsudi beroleh tugas menemui Ki Rangga Agung Sedayu, sedangkan Ki Panuju dan Santosa akan bergerak memberi dukungan pada pengawal pedukuhan yang tengah bertempur di Gondang Wates.
Bunija mengulang tanda tertentu yang dapat mempersingkat perjalanan Ki Panuju berdua. “Ki Lurah, harap lebih cepat, untuk itu, Ki Lurah dapat menggunakan kuda ini,” kata Bunija sambil menjulurkan tali kekang.
Sejenak Ki Panuju bertukar pandang, Santosa mengangguk. Kemudian kata Ki Panuju, “Aku terima. Semoga kita tidak terlambat.” Segera talli kuda diserahkannya pada Santosa, tiba-tiba ia berkelebat, menuruni jalanan menuju tempat pertempuran. Atas petunjuk Bunija yang mengenal betul pedukuhannya, Ki Panuju berbelok selatan, melompati parit, menyusur pematang. Nyaris bersamaan dengan itu, Santosa pun membedal kuda lalu menapak tilas jalan yang tadi ditempuh oleh Bunija.
Maka, demikianlah kemudian Bunija dan dua orang Jati Anom bergegas meninggalkan tempat pertemuan itu. Mereka berlari-lari kecil untuk memendekkan waktu.
“Sekali yang aku dengar dari Nyi Pandan Wangi adalah mereka muncul mendadak, menyerang lalu menghilang. Tetapi itu tidak mereka lakukan di Pedukuhan Janti. Mereka tidak menghilang, tetapi tiba-tiba menyerbu ke bagian dalam Gondang Wates. Apakah mungkin pengawal pedukuhan lengah? Aku kira mustahil jika mereka berpikir untuk berbalik arah. Bisa saja, sesuatu yang buruk sedang membelit mereka,” kata Ki Panuju dalam hatinya.
Ki Panuju tidak melihat sesuatu dari pedukuhan yang dapat dijadikannya sebagai tanda ada perlawanan di sepanjang jalur yang ditempuhnya. Tidak ada rintangan berupa pohon tumbang maupun pagar-pagar dari kayu dan duri. “Bagaimana aku membunyikan tanda bahaya? Apakah cukup hanya sebatang panah sendaren?” Namun sepertinya ia tidak terlalu membutuhkan itu. Berdasar tanda dan arah yang telah disampaikan oleh Bunija, maka kurang dari waktu yang dibutuhkan ayam menghabiskan segenggam jagung,Ki Panuju akan melihat daerah sekitar pertempuran.
Batang pohon kedondong yang cukup besar telah terlihat dalam batas pandang Ki Panuju. Sebentar lagi. Sejalur parit selebar tiga lompatan telah dilewatinya.
Semakin dekat.
Jarak tidak lagi terentang begitu jauh, Ki Panuju dapat melihat bayangan dari banyak orang tengah bergulat dan berjibaku sangat keras. Dua lingkar pertarungan memenuhi rongga bola matanya, dan semua masih sama, berwarna gelap.
Sedikit lagi.
Dua orang sepertinya terlibat dalam perang tanding. Mereka berkelebat cukup dahsyat dan hebat. Senjata yang berayun pun tak lagi dapat dilihat jelas. Hanya gulungan bayangan yang berbeda warna. Sebungkus bulat berwarna hijau gelap tampak menutup rapat seseorang yang berambut panjang dan terikat. Sedangkan lawannya memutar senjata sangat kuat dan cepat hingga mengeluarkan suara berdesing. Di samping mereka, puluhan orang sama-sama berkelahi dengan semangat membara. Meski ada perbedaan tujuan dan awal penggerak, namun, kegigihan dan keuletan menjadi satu-satunya jembatan yang dapat menghubungkan suasana hati mereka.
Belasan langkah dari gardu jaga, Ki Panuju menepi. Ia tidak segera memasuki daerah perkelahian. Didekap udara dingin yang dapat mengeringkan kulit, keraguan muncul dalam hati Ki Panuju. Bagaimana ia dapat membedakan kawan atau lawan? Bila Santosa tiba di tempat perkelahian, apa yang harus dilakukannya? Setidaknya, Ki Panuju harus menghanyutkan dirinya dalam pertempuran agar Santosa dapat segera menambah kekuatan pedukuhan. Tetapi, ke mana kakinya harus berpijak?
Ki Panuju dapat menilai kedudukan masing-masing kubu, hatinya menjadi tegang. Keduanya cukup berimbang meski sesekali satu atau dua orang tiba-tiba membuat gerakan yang aneh lalu menggoyahkan keseimbangan. Namun selalu saja ada orang yang dapat mengeluarkan kelompoknya dari tekanan, lalu keadaan kembali seimbang.
Waktu dan jarak seolah mengapung lebih lambat dari sewajarnya. Ki Panuju mencoba meraba sosok yang bernama Sayoga. Buruknya adalah ia tidak mengenal kepala pengawal pedukuhan, Marmaya. Namun, lambat laun perhatiannya terpusat pada seseorang yang mempunyai luka pada bagian atas tubuhnya. Ki Panuju tengah meyakinkan diri bahwa ia pernah melihat orang itu. DI suatu tempat. Yang lebih menarik lagi adalah orang itu memegang cambuk. “Cambuk? Tetapi itu bukan berarti ia adalah cantrik Ki Widura. Belum tentu, cambuk adalah senjata yang dapat dipaka banyak orang. Dan agaknya aku pernah melihat wajahnya. Di mana?” hati Ki Panuju bertanya.
Dua kali suara tokek memasuki pendengaran Ki Panuju tetapi ia masih belum membuat keputusan. “Bila aku asal menghantam, dan tepat, itu memang mengejutkan. Tetapi bila aku salah sasaran, berbalik arah…ah…bukankah itu memalukan jika seorang prajurit Mataram tidak dapat mengenali musuhnya?” gumam Ki Panuju dengan suara yang sangat jelas memantul di dalam dadanya
Jengkel karena belum juga dapat menentukan arah lecutan cambuk, Ki Panuju meluncur deras sambil berteriak, “Siapakah di antara kalian yang bernama Sayoga?”
Seketika dua pergulatan sengit itu mengendur karena teriakan Ki Panuju yang menggelegar. Seolah ia tengah mengerapkan Gelap Ngampar.
Sayoga tidak menyahut. Ia harus cukup hati-hati bertindak. Seorang lawannya, Ki Dirgasana, adalah lawan yang berat. Bila ditambah satu lagi dengan kemampuan seperti itu, bukankah Gondang Wates makin dekat dengan ambang kejatuhan, menyusul Pedukuhan Janti?
Ki Panuju berhenti cukup dekat. Sekilas ia menamatkan wajah orang yang memegang cambuk, dan ia telah memutuskan. Kemudian Ki Panuju bertanya lagi, “Adakah Sayoga di sini?”
“Wong gendeng!” teriak Ki Dirgasana dari balik kesengitan perkelahiannya. “Bukankah cukup bodoh bila engkau mencari seseorang di sini? Ataukah memang pedukuhan ini hanya mampu melahirkan orang-orang bodoh?”
Dapat!
Ki Panuju membuat cara yang sangat jitu. Dengan menyebutkan nama Sayoga disertai sikap tubuh menantang, Ki Dirgasana terpancing meladeninya.