“Ki Sanak, pergilah. Aku sedang tak ingin bicara dengan satu orang pun.”
“Sukra, aku akan pergi bila telah mendapatkan janji darimu.”
“Siapakah engkau, Ki Sanak? Mengapa aku berjanji untuk sesuatu yang tidak atau belum aku tahu?”
“Hanya janji untuk bertemu denganku. Di Randulanang.”
“Kapankah itu?”
“Esok ketika matahari sedikit menengah.”
“Siapa yang aku temui? Aku tidak punya siapa-siapa di sana.”
“Aku. Aku akan menunggumu di sana.”
“Lalu gadis ini?” Satu jari menunjuk tidak langsung pada gadis di samping lelaki itu.
“Gadis yang kau maksudkan adalah alasan satu-satunya aku menemuimu malam ini. Di sini, di pekarangan Ki Demang.”
Sukra mengerutkan alis. Berpikir keras tentang nama orang itu atau sesuatu yang dapat menghubungkannya dengan Agung Sedayu. Sukra tidak gegabah meski ia mengenali lelaki itu sebagai orang yang membuat onar di Tanah Perdikan. Bertanyalah ia kemudian, “Ki Sanak. Engkau belum menyebut namamu dan nama gadis itu.”
Lelaki itu menyungging senyum. Apakah ia tertarik? Ia bertanya dalam hati dengan diiringi kehati-hatian. Lalu jawabnya, “Aku adalah Ki Tunggul Pitu. Dan dia ini, Gendhis.”
Sukra bangkit berdiri lalu menghadap searah penuh pada Ki Tunggul Pitu. “Kiai, aku tidak memiliki banyak waktu untuk membuat janji ataupun berpikir untuk itu. Maka, aku minta Kiai segera meninggalkan tempat ini, lalu menungguku di Randulanang. Namun, semua terserah padaku, datang atau tidak.”
Harga diri Ki Tunggul Pitu terusik dengan sikap Sukra yang tidak memberinya tempat sebagai orang yang lebih tua. Namun ia dapat mengerti, bahkan kagum pada anak muda itu. Menurutnya, Sukra tidak mengatakan sebab atau meladeninya berbincang sedikit panjang. Bisa jadi, masih menurut jalan pikiran Ki Tunggul Pitu, Sukra berusaha menutup keadaan yang sebenarnya di Sangkal Putung. Itu dapat dilihatnya dari gerak-gerik Sukra yang seolah tidak peduli padanya maupun Gendhis. Sejenak Ki Tunggul Pitu mengendapkan rasa, lalu berkata, “Pasak selalu mempunyai lubang agar dapat mengikat sangat erat dua benda yang ingin menyatu. Apabila pasak terlepas dari lubang, sesungguhnya ia memang tidak berguna. Pikirkan itu, Sukra. Selamat malam.”
Ki Tunggul membalikkan tubuh sambil menarik lengan Gendhis lalu berjalan menuju dinding pembatas pekarangan. Keduanya tidak memberi kesempatan Sukra untuk lebih lama memandang wajah mereka, karena pertanyaan Sukra bukanlah harapan yang dapat dinantikan. Mereka berdua melesat seolah terbang, lalu melayang, melompati dinding seperti kelebat burung sikatan.
Sukra menghela napas lalu ruang pikirannya pun bekerja dengan dua tangan yang kembali bekerja merawat ari-ari bayi Sekar Mirah. “Bukankah ini kejadian yang aneh? Tiba-tiba ada orang muncul di rumah Ki Lurah lalu berkata tentang kejayaan dan masa depan. Bisa jadi mereka adalah telik sandi Raden Atmandaru. Bisa juga, mereka adalah orang-orang yang putus asa dengan perjodohan. Hahaha.. Bukankah ini adalah peristiwa lucu dalam kekalutan perang? Dua kata itu ditujukan padaku, aneh. Hmm, Ki Tunggul Pitu. Aku tidak mungkin bertanya pada Ki Lurah seputar nama itu. Beliau akan curiga lalu membuat terkaan-terkaan yang mungkin membawa pikiran beliau justru menjauh dari persoalan Sangkal Putung.” Sukra mengembara liar dalam benaknya. Barangkali memang sepatutnya ia berpikir tentang pertemuan itu. Barangkali pula ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perkenalan jejaka dengan gadis. Atau masih tersimpan puluhan kemungkinan yang belum dapat dikuaknya pada malam itu.
Sukra bukan seorang lelaki muda yang matang atau berpengalaman menjumpai perempuan. Ia bergaul dengan wajar di lingkungan Tanah Perdikan. Namun, ketika pekerjaannya tuntas, wajah Gendhis mulai membayang dan secepat kilat memenuhi segenap ruang hatinya. “Apakah ini? Mengapa wajah gadis itu tiba-tiba terbayang olehku? Gendhis, oh, Gendhis.Sederhana dan indah. Tapi, apa maksud ini semua?” Sukra bertanya-tanya dalam hati dan masih terus bertanya hingga menemui Agung Sedayu di pringgitan.
Pada saat Sukra memperhatikan sikap dan bahasa tubuh Agung Sedayu, ia sama sekali tidak terkejut. Meski tekanan dan kegentingan sangat berat dihadapi Agung Sedayu, senapati Mataram itu tetap bersikap biasa. Duduk bersilang kaki di atas tikar pandan yang tergelar dengan sinar mata yang sulit dilawan.
Sukra sedang membayangkan tanggapan Agung Sedayu jika diceritakannya pertemuan dengan Ki Tunggul Pitu di halaman belakang. “Apakah Ki Lurah mengenal atau setidaknya pernah mendengar nama Ki Tunggul Pitu? Apakah orang itu adalah kawan atau lawan dari Ki Lurah? Ah, sungguh, pertemuan tadi membuatku menjadi ruwet. Biarpun bukan lawan, tetapi Ki Tunggul Pitu adalah orang yang mengacaukan Tanah Menoreh. Bila Ki Tunggul Pitu adalah lawan Ki Lurah di masa lalu, itu adalah bahaya. Ia sungguh-sungguh telah mengetahui keadaan Nyi Mirah dan bayinya. Menculiknya? Ah, betul. Bagaimana bila Ki Tunggul Pitu hanya membuat tipuan dengan seolah meninggalkan pekarangan lalu datang kembali untuk mencuri bayi Nyi Mirah?” Namun sengatan buruk dugaannya segera ditepis oleh Kiai Bagaswara yang mendadak hadir dalam ruang pikirannya.
Maka Sukra sedikit tenang selagi menunggu Ki Rangga Agung Sedayu berpaling padanya lalu berucap kata.