Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 66 – Gondang Wates

“Itu sangat bagus, Bunija. Bila keadaan dapat dijaga seperti ini dalam waktu lama, sampai pagi misalnya, semangat lawan bisa saja terputus.” Ucapan Sukra penuh sindiran tidak begitu ditanggapi oleh Bunija.

Anak muda Gondang Wates itu memilih diam.

Bunija lalu menanggapi, mulanya hanya bergumam, ucapnya kemudian agar perhatian teralihkan, “Apakah mereka juga tahan dengan udara dingin seperti ini? Bila ya, sungguh, sulit bagiku dapat menerima dengan nalar sehat bahwa mereka adalah orang-orang yang juga hidup di sekitar lereng Merapi.”

“Sebaiknya engkau tidak berpikir sempit macam itu. Bunija, apapun itu, bila seseorang telah berhasrat sangat kuat, maka tidak ada yang dapat menghalanginya lagi.” Sukra seperti kehilangan kendali dalam dirinya. Bahkan ia tidak mengerti ucapan itu tiba-tiba terlontar begitu saja darinya.

loading...

Bunija mengangguk meski dalam hatinya tertawa geli, bagaimana Sukra tiba-tiba berkata-kata seperti Agung Sedayu? Agar tak pecah tawa, Bunija berhenti sebentar untuk memeriksa segala perlengkapan dan mengingat kembali pesan-pesan Agung Sedayu sebelum pertemuan di Watu Sumping.

Sukra mengamatinya dengan tarikan napas yang mengalir lancar walau dadanya bergemuruh disertai meningkatnya kesibukan pada jalan-jalan pikirannya. Pesan dari Agung Sedayu untuknya adalah mengamati keadaan di belakang garis serang musuh. Itu berarti Sukra harus mengambil jalan memutar atau melibatkan diri dalam perkelahian. Namun pada pilihan yang kedua, Sukra tidak dapat melihat  jalan selamat. Ia dapat terbunuh sebelum tugasnya tergenapi. Bila memutar, maka ia harus dapat mengatakan itu pada Ki Panuju atau Sayoga. “Orang selalu menerima keterangan dengan cara yang berbeda tetapi aku bukan penakut,” Sukra berbulat dalam hatinya.

“Apakah mereka yang berada di sana?” tanya Sukra sambil menunjuk bayangan-bayangan yang sedikit bergerak-gerak.

“Barangkali. Mungkin. Aku tidak berani memastikan,” jawab Bunija.

“Hey, bagaimana ini?” seru Sukra tertahan dengan nada jengkel.

“Kita meninggalkan mereka meski tidak lama. Tetapi siapa yang tahu perkembangan selanjutnya?”

Bunija membawa Sukra lebih dekat. Sesaat kemudian mereka berjarak puluhan langkah dari kerumunan yang mengitari batu bersegi tak beraturan itu. Berdua masih belum dapat mengenali satu dari mereka yang berada di dekat batu. Seluruh orang di dekat batu berkeadaan duduk. Begitu rendah, maka sulit bagi Sukra dan Bunia mengenali bentuk tubuh dari orang yang mungkin dapat memberi keduanya kejelasan.

Mendadak Bunija menirukan bunyi binatang malam dengan nada tertentu. Seseorang dari kerumunan menanggapinya dengan cara yang tidak biasa. Bukan seperti suara burung hantu, ia lebih terdengar seperti bekung katak.

Tenanglah Bunija kemudian. Ia mengajak Sukra keluar dari persembunyian lalu bergabung dengan pengawal yang lain.

“Saya tidak melihat pergerakan atau bayangan yang datang dari arah pedukuhan induk,” Sukra memberi laporan ketika Dharmana bertanya padanya.

Ki Panuju dan Dharmana mengangguk. Dharmana menoleh penuh pada Ki Panuju, tanyanya kemudian, “Apakah mereka benar-benar berada dalam persiapan sesungguhnya?“

“Aku tidak mengerti yang engkau maksudkan, Ngger.”

“Seharusnya, menurut perhitungan saya, mereka sudah berada di sekitar Watu Sumping saat ini. Atau setidaknya mereka terlihat telah berada di sekitar banjar. Bukankah ini sebuah kejanggalan?”

“Namun mundur bukan pilihan bagi mereka.”

Sejenak perbincangan pelan tersergap hening. Untuk sekian waktu namun tidak lama, orang-orang di Watu Sumping larut dalam pikiran masing-masing. Kesibukan mereka digantikan oleh suara garengpung, jangkrik dan binatang malam yang lain. Suara alam yang berpadu dalam keserasian dan keseimbangan yang  terpimpin oleh kekuatan maha dahsyat.

Tak lama kemudian, Sukra menatap wajah Sayoga penuh kelegaan lalu mengajaknya sedikit bergeser jauh. “Senang melihatmu dalam keadaan baik.”

“Terima kasih. Apakah ada berita bahagia dari rumah Ki Rangga?”

Sukra tersenyum. “Perempuan.” Lalu ia meringkas peristiwa besar yang terjadi di kediaman Ki Demang Sangkal Putung.

“Pamuji rahayu,” desis Sayoga lalu menyambungnya dengan serangkum doa yang terucap dari dalam hatinya.

Sukra bertanya kemudian, “Apakah jumlah mereka lebih banyak dari kita yang berada di sini?”

“Sejak aku mendengar perintah Ki Rangga agar kita bertahan di banjar, aku tidak berpikir lagi tentang jumlah. Namun kemampuan kita semua dan kerja sama. Itu saja.”

Sukra bergumam, kemudian lanjutnya, “Apakah belum ada tanda-tanda pergerakan mereka?”

“Seseorang telah diperintahkan untuk mengamati arah selatan. Namun sejauh ini hingga kedatanganmu, belum, belum ada sama sekali walau sedikit dari yang ingin engkau tahu.”

“Bunija yang mendapatkan tugas dari Ki Lurah,” kata Sukra sambil menunjuk lingkaran orang di dekat mereka. Bunija, Marmaya, Dharmana dan Ki Panuju terlihat tengah membicarakan sesuatu secara pelan. Suara mereka lebih mirip dengan bisikan.

Mereka berdua bertukar pandang untuk mencari kesepakatan untuk bergabung dalam pembicaraan itu atau tidak. Namun karena jarak hanya berkisar tiga atau empat langkah, maka keduanya tidak beranjak mendekat.

“Bersama kami. Yang datang terpisah ada tiga kelompok. Mereka menuju Watu Sumping melalui tiga jurusan,” ucap Bunija yang menyusulkan bagian-bagian rencana Agung Sedayu pada tiga orang lainnya.

“Bila demikian, kita mungkin terus berhimpun di sini,” kata Marmaya seusai Bunija merinci pesan-pesan Agung Sedayu.

Ki Panuju menggeleng kemudian memandang Marmaya, ucapnya, “Tidak seperti itu. Kita akan membagi tugas namun itu tergantung pada keterangan yang akan disampaikan Sukra padamu.”

“Saya pun mengira seperti itu, seperti pemahaman Ki Lurah. Marmaya, bagaimana menurutmu? Kami bergerak menurut penyesuaianmu,” tanya Dharmana.

“Ada Ki Lurah Panuju dan Kakang Dharmana, lalu bagaimana berakhir di tangan saya?” tanggap Marmaya dengan sedikit gugup. Pikirnya adalah dua nama yang disebutnya justru lebih  patut memimpin perlawanan di Watu Sumping.

“Bila Ki Rangga telah memberimu wewenang yang luas, maka aku akan menyesuaikan diri pada pengembangan yang kau lakukan. Kami berada di belakangmu,” tegas Ki Panuju.

“Baiklah,” kata Marmaya sedikit lama. “Apakah api dapat berdaya guna tinggi?”

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.