Padepokan Witasem
kepak sayap angsa, padepokan witasem, prosa liris
Prosa Liris

Liris : Ketika Black Pearl Bersandar di Tanah Jawa

Langit terbelah kala guntur menggelegar menyambar buritan kapal. Awan menghitam memaksa hari yang masih sore menjadi serupa malam. Hujan mengguyur sangat deras hingga gelombang samudera bergulung liar. Angin yang menyapu kencang membuat kapal keras berguncang.

Kapten Jack Sparrow bergegas menghampiri kemudi. Dia harus mengendalikan kapal miliknya bila tidak ingin tergulung badai. Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin yang menyelinap dari celah jendela. Matanya yang setajam rajawali menatap awas ke depan. Sekuat tenaga dia mengatur kemudi agar kapal tidak menghempas karang. Di antara kilat cahaya halilintar sosoknya yang rupawan justru semakin menawan.

Dia telah berkawan dengan badai dan halilintar!

Buktinya, kapal Black Pearl tetap bertahan dari amuk gelombang.

loading...

Ketika badai agak mereda, Jack mengitari anjungan. Dia memastikan tidak ada kerusakan akibat hantaman badai. Saat itulah matanya menangkap bayangan sebuah kapal kecil yang nyaris tenggelam berada di samping kapalnya.

“Hai, anybody there? Can you hear me? I am Jack Sparrow!” teriaknya lantang.
Seseorang berbaju kuyup muncul sesaat setelah mendengar suaranya. Dua orang lelaki mengikuti di belakangnya.

“Sugeng sonten Kangmas Jack, tepangaken nami kula Aji Saka!” jawabnya sambil ngapurancang. “Punika abdi kula, Dora lan Sembada,” lanjutnya sambil menunjuk dua orang pengikutnya. Lelaki-lelaki itu mengenakan blangkon, kain batik, dan surjan.

Tatapan Jack Sparrow beralih pada tubuhnya sendiri, lalu dengan heran menatap kembali pada Aji Saka,

“Bahasa apa yang kamu pakai? Sikap apa itu menunduk sambil melipat tangan di depan? Pakaian apa pula yang kamu kenakan?”

Selama hidup Jack si bajak laut tidak mengenal sopan santun baik dalam sikap maupun cara berpakaian.

Tergoda rasa ingin tahu, Jack Sparrow mengikuti kapal Aji Saka yang berlabuh di pulau Jawa. Dia yang berperilaku berangasan, semakin heran ketika setiap orang yang dijumpai berlaku penuh unggah ungguh kepadanya. Pakaian mereka persis milik Aji Saka, kecuali para wanita yang memakai kain setinggi dada. Kemben, mereka menyebutnya.

Setiap pagi pasar desa diramaikan oleh berbagai dagangan. Ada sayur, buah, dan hewan. Ada pula jajanan gethuk, thiwul, cenil, dan berbagai jenis bubur yang dibungkus daun jati. Mereka juga menjajakan minuman legen dalam mangkok bathok kelapa. Meski makanan tersebut terasa asing di lidah, Jack dengan suka hati melahapnya. Tetapi, kepalanya menjadi sedikit pening setelah mencicipi sebathok legen.

Setelah bubaran pasar, menjelang siang desa menjadi sunyi mencekam. Mereka ketakutan!

Aji Saka sedih dan prihatin melihat kenyataan itu. Tanpa takut dia kemudian mendatangi Prabu Dewata Cengkar, raja di kerajaan Medang Kamulan. Raja itu adalah seorang denawa yang lalim, biadab, penindas, dan gemar menyantap daging manusia. Hal inilah yang menghantui penduduk desa.

“Sangat menjijikkan! Raja itu manusia atau binatang? Rakyat yang ramah dan penuh unggah ungguh mempunyai pemimpin seperti setan!” Jack menggerutu menahan marah.

Selama Aji Saka pergi memerangi Dewata Cengkar dengan ditemani Dora, Jack tinggal bersama Sembada yang ditugasi menjaga sebuah keris pusaka.

”Jangan kau berikan pusaka ini kepada siapa saja, kalau bukan aku sendiri yang mengambil!” pesannya pada Sembada.

Mata tajam Jack terpana kala melihat wujud pusaka itu. Dia belum pernah melihat bentuk senjata seunik itu walau telah menjelajah belasan belahan dunia. Pusaka itu adalah keris, berupa besi runcing tajam meliuk dengan gagang kayu berukir.

“Dunia yang aku lihat ternyata masih sempit. Aku hanya akrab dengan pedang dan pistol milikku saja,” dia mendesis pelan.

Pada suatu malam saat bulan sepenggalah, angin selatan menyampaikan kabar bahwa Aji Saka telah berhasil melenyapkan sang denawa. Lalu, dia mengutus Dora mengambil pusaka yang dijaga oleh Sembada.Tetapi, akibat ada dua perintah mereka berdua akhirnya bersitegang.

Karena tidak ada titik temu, tiada jalan lain kecuali pertarungan. Mereka saling memukul, menerjang, menendang, hingga berujung mengeluarkan senjata andalan. Burung branjangan yang sedang memadu cinta segera terbang menghilang. Hutan yang semula sunyi menjadi riuh oleh suara teriakan dan senjata yang beradu. Tubuh mereka terbanting, terpental, dan melayang di antara pepohonan.

Jack merasa takjub menyaksikan kedua abdi itu teguh dalam memegang pesan. Dia merasa malu sendiri kala teringat pengkhianatannya kepada Cutler Beckett, atasannya. Saat itu dia mendapat tugas mengantar para budak. Namun dia malah membebaskan budak-budak itu di Afrika, hingga Beckett menjadi marah besar. Beckett lalu menenggelamkan kapal Wicked Wench miliknya.

“Kamu bajak laut pengkhianat!” teriak Beckett kalap.

Kedua abdi setia itu telah mati ketika Aji Saka datang keesokan harinya. Matanya terpaku memandangi kedua tubuh yang terbujur kaku. Dia menangis dalam hati karena merasa bersalah telah memberi perintah yang salah.

Aji Saka lalu mengukir aksara Jawa pada sebuah batu sebagai penghormatan untuk kedua abdinya.

ha na ca ra ka : Ada dua utusan
da ta sa wa la : Yang saling berselisih
pa dha ja ya nya : Sama kuatnya
ma ga ba tha nga : Inilah mayatnya

Rakyat Medang Kamulan bersuka cita setelah Prabu Dewata Cengkar binasa. Mereka merayakan dengan makanan dan minuman yang melimpah. Jack turut larut dalam suka cita, menari dan berdendang bersama. Sebagai tanda penerimaan Aji Saka mengganti namanya berdasar aksara Jawa,

“Mas Jack, sekarang namamu menjadi Jaka Separo!”

Pesta usai saat rembulan datang menggantikan mentari. Kini tiba waktunya bagi Jack untuk meninggalkan pulau Jawa. Pelajaran berharga dari orang-orang sederhana yang memegang teguh kesetiaan dan kebenaran telah dipetiknya.

“Sugeng tindak mas Jaka. Ampun kapok rawuh mriki malih!” para wanita menangis sesenggukan.

Keharuan segera berganti sorak sorai membahana saat layar Black Pearl telah berkembang.

Mas Jaka Separo melangkah mantap menuju kapal untuk kembali menantang samudera yang membentang.

Dia menoleh sekali lagi sambil melambaikan tangan, sebelum sosoknya hilang ditelan kabut hitam.

Oleh : Rini S

Wedaran Terkait

Songsong Bukan Puisi

admin

Sikil nJeber..

admin

Puisi :Peluk Senja di Lereng Lawu

admin

Puisi :  Aku Dalam Birumu

amazingdhee

Puisi : Tertikam Rasa/Lina Boegi

admin

Puisi : Temaram/Winy

admin

2 comments

Richard sanyata 20/09/2021 at 00:38

Ada analogi khdpn, ada pesan , Ada kejenakaan. Suka bacanya

Reply
kibanjarasman 26/09/2021 at 14:27

Terima kasih atas perhatian Anda, Ki Sanak.
Rahayu 🙂

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.