“Ki Jalak Pameling!” tersentak Pangeran Parikesit setelah mengenali unsur ilmu yang pernah dilihatnya di masa muda. Sekejap kemudian ia tiba-tiba seperti menghilang saat mengayun kaki menuju kobaran api. Ia harus tiba dan menghentikan orang yang sedang mengerahkan ilmu yang berasal dari Ki Jalak Pameling.
“Siapapun orang itu, aku harus menghentikannya! Angger Adipati harus selamat!”
Daya musnah ilmu dari Ki Jalak Pameling telah dikenalinya sangat baik, oleh karena itu ia sangat mencemaskan keselamatan pemimpin Pajang. Lalu Pangeran Parikesit pun mengerahkan puncak ilmu meringankan tubuhnya. Tapak kaki Pangeran Parikesit seperti hanya menyentuh ujung rerumputan. Tubuhnya seolah-olah terbang dan begitu ringannya hingga rumput pun tak bergoyang walau terjejak derap kakinya. Sesekali ia memukul dari jarak jauh untuk melapangkan jalur yang akan dilewatinya. Belukar dan pohon tersibak! Seperti memberi jalan bagi Pangeran Parikesit.
“Pangeran!” teriak Rambesaji setelah Pangeran Parikesit lenyap dari hadapannya.
“Kau benar-benar gila! Pantaslah kau terbuang!” geram Batara Keling. Ia mengumpat-umpat dengan serapah yang menjijikkan!
Pangeran Parikesit meninggalkan mereka berdua dalam keadaan sangat lemah dengan kaki dan tangan terikat kuat. Kengerian membayang di dalam diri mereka. Dua wajah yang dahulu sering menjadi malaikat kematian pun tiba-tiba berubah sayu dan tatap mata mereka memelas.
Kobar api memang masih jauh dari tempat mereka, tetapi belasan langkah dari situ terdapat enam ekor serigala yang tak mendekat ketika Pangeran Parikesit masih berada di sana. Dan keduanya mengerti bahwa lambat laun api akan merayap mendekati mereka. Sadar akan bahaya ganda mengancam jiwa mereka, keduanya pun mulai meronta melepaskan diri. Namun pengunci yang dilepaskan Pangeran Parikesit untuk mengikat simpul saraf mereka agaknya terlalu kuat untuk dilawan. Tak ayal lagi keduanya kembali mengeluarkan kata-kata kasar untuk melampiaskan segenap isi hati mereka. Sehari semalam mereka akan mati mengenaskan bila tidak ada pertolongan dari orang yang setingkat dengan Pangeran Parikesit. Lebih buruk dari itu? Rambesaji dan Batara Keling akan menjadi makanan pagi binatang buas.
Tubuh Pangeran Parikesit melesat sangat cepat dan tidak ada lagi pohon atau bebatuan yang dapat menghalanginya. Ia telah berada dalam kecepatan puncak sambil mengerahkan sebagian tenaga untuk melapangkan jalur menuju kobaran api. Dalam waktu itu, getar ilmu Suwung Bawana semakin memancar kuat bahkan mampu menahan kecepatan Pangeran Parikesit.
“Luar biasa!” bisik hati Pangeran Parikesit, ”sepanjang pengetahuanku Mas Karebet tidak mempunyai ilmu ini. Apakah Angger Getas Pendawa yang melepasnya? Aku harap dugaanku salah karena ia tidak mempunyai cukup waktu untuk menguasai warisan Ki Jalak Pameling ini dengan sempurna.” Kecepatan lari Pangeran Parikesit semakin berkurang ketika semakin dekat dengan pusat kekuatan Suwung Bawana.
*****
Sekali-kali Ki Buyut Mimbasara menoleh ke belakang. Tampak olehnya serombongan orang yang mengejar Adipati Pajang telah melewati pohon yang menjadi tempat persembunyiannya dengan Ki Getas Pendawa. Keyakinan kuat Ki Buyut – nama panggilan kesayangan dari Pangeran Benawa atau lebih umum dikenal Ki Kebo Kenanga – bahwa Ki Getas Pendawa dapat mengatasi persoalan yang akan timbul membuatnya semakin cepat melesat mendekati kota Pajang. Tiba-tiba ia mengalihkan tujuan, Ki Buyut lantas mengambil jalan menuju pedukuhan kecil yang berada di batas luar kota sebelah barat.
Sejenak kemudian ia telah berada di dalam halaman sebuah rumah kecil yang asri. Untuk sesaat Ki Kebo Kenanga melihat sekeliling, terlihat olehnya beberapa pohon tumbuh dan terawat dengan baik. Ketika seorang lelaki berjalan melalui lorong kecil di samping rumah, ia terkejut melihat sosok yang tidak asing baginya.
“Ki Buyut!” sapa lelaki itu memberi hormat.
Langkah lebar Ki Buyut Mimbasara mendekati lelaki yang tampak lebih muda darinya, katanya, ”Ki Jenar.” Ki Buyut mengangguk sambil memegang kedua bahu Ki Jenar. ”Aku akan membawa kudamu yang paling tegar. Itupun bila kau tidak keberatan, Ki.”
“Saya akan berikan yang Ki Buyut kehendaki. Marilah!” ajak Ki Jenar menuju kandang kuda yang berada di halaman belakang. Ki Buyut memperhatikan beberapa ekor kuda yang mempunyai otot kokoh, maka muncullah rasa kagum. Dan itu makin bertambah ketika didapatinya kandang yang bersih dan terawat bahkan tidak ada bau yang semestinya melekat pada kandang kuda.