“Aku pikir tidak baik dengan membiarkan Agung Sedayu mati dengan jiwa melayang- layang mengitari kademangan. Baiklah, aku penuhi kehendakmu,” kata kawan Ki Tunggul Pitu dengan kaki beringsut ke samping, setapak demi setapak. “Aku adalah Ki Sekar Tawang. Aku adalah seseorang yang menjadi saksi ketika kalian, orang-orang Mataram, menyerang Madiun. Engkau tentu masih ingat masa-mas perburuan seorang pemimpin padepokan yang dianggap telah menjerumuskan Madiun?” Orang itu kemudian memalingkan muka pada Ki Patih Mandaraka, “Bagaimana denganmu, Ki Juru?”
Ki Patih menajamkan penglihatan sambil menguak rontal-rontal yang tersusun rapi dalam ingatannya. Benarkah ia adalah orang yang dicari Agung Sedayu waktu itu?
Demikian pula Agung Sedayu yang mengais coretan-coretan berisi nama dan wajah pada dinding jantungnya. Kemudian katanya, “Apakah engkau dalam keadaan cukup baik, Ki Gede Kebo Lungit? Aku pikir tentu engkau didera kesepian dan hidup dalam penderitaan semenjak menghilangkan jejak dari kejaran kami di Madiun. Sekarang, katakan, apakah engkau masih setia pada pendirianmu? Tidak mengakui Mataram lalu berusaha mengambil alih tanah ini untuk seseorang yang engkau yakini sebagai putra Panembahan?”
Ki Kebo Lungit tidak terkejut dengan pertanyaan Agung Sedayu, justru begitu tenang ketika balik bertanya, “Nama Kebo Lungit telah binasa semenjak engkau menghancurkan padepokannya. Yang erdiri di depanmu adalah Ki Sekar Tawang. Agung Sedayu, apakah kau bertahan dengan pendirianmu? Sekarang ini keadaanmu masih memungkinkan untuk mencapai kedudukan tumenggung. Namun, itu belum dapat dijadikan jaminan. Kehancuranmu pasti telah menunggu , jasa-jasamu segera dilupakan oleh Mas Jolang ketika Ki Juru Martani tidak dapat kembali ke Mataram dengan selamat. Bagaimana? Sebaiknya engkau tidak perlu berpikir lebih lama untuk tawaran kami.”
Agung Sedayu tidak lagi berkeinginan untuk bertukar kata dengan Ki Sekar Tawang. Ia bergeser mundur setapak dengan kedudukan yang siap menerima serangan.
Ki Sekar Tawang menudingkan ujung Kiai Plered pada KI Patih Mandaraka, katanya, “Engkau belum benar-benar kehilangan ketenangan. Aku harus mengakui ketahanan batinmu, Ki Juru.” Terdengar ia menghela napas panjang. Lanjutnya, “Sayang, aku menyayangkan bila senjata ini harus merobek perutmu, lalu isi perutmu terburai seperti masa lalu. Seperti Arya Penangsang. Apakah ini yang disebut hukuman dari alam?”
Waktu tidak melesat atau seolah ia tidak lagi sanggup bergerak. Segalanya berjalan lebih lambat atau benar-benar berhenti. Hanya ujung Kiai Plered yang tetap memendarkan kilau cahaya redup. Barangkali cahaya itu adalah satu-satunya pertanda bahwa ada kehidupan di atas jalanan di sisi tanah lapang Slumpring. Ketegangan meningkat tajam dengan cengkeraman yang mampu meremukkan tulang dada. Ketegangan yang sanggup menekan batin seseorang menjadi gila!
Agung Sedayu tercengang dengan perubahan yang sulit dimengerti, walaupun masih menduga bahwa kekuatan itu berasal dari Ki Sekar Tawang dan Kiai Plered. Agung Sedayu memusatkan budi dan rasa untuk melawan getaran ajaib yang merangsek liar, menyerang langsung ke ulu hatinya!
Tiba-tiba seseorang membentak dengan suara sangat dahsyat. Sebelum gaung suaranya mereda, sekelebat tubuh bergerak sangat cepat. Sepasang lengannya berputar-putar dengan kibasan yang sanggup mengangkat debu-debu serta bebatuan kecil di permukaan jalan.
“Aku datang!” seru Ki Patih Mandaraka sambil memapas serangan dari salah seorang pengikut Raden Atmandaru.
Ki Sekar Tawang tiba-tiba muncul, memotong jalur Ki Patih yang hendak menghadang serangan Ki Tunggul Pitu. Seseorang memekik marah. Atau pekik kesakitan? Belum begitu jelas karena ia merendah, memutar tubuh lalu menyerang Agung Sedayu dengan tendangan dari bawah. Kurang dari sekejap tubuh Agung Sedayu akan mengalami kehancuran di bagian dalam!
Namun Agung Sedayu adalah senapati terbaik yang dimiliki Mataram. Agung Sedayu adalah lelaki muda yang pernah menyesap ilmu Pangeran Benawa. Maka bahaya itu dapat dilewatinya dengan melentingkan tubuh untuk mundur secara mantap. Ketika sepasang kakinya telah sempurna mendarat, Agung Sedayu menggeser langkah demi langkah seperti membuat garis pertahanan yang rumit untuk dimengerti. Dan dari balik dinding tak tampak mata, Agung Sedayu telah berubah menjadi induk singa dengan tatap mata menyiratkan bahaya. Sepasang matanya seolah berubah menjadi ujung tombak yang mampu menusuk dada!
Kurang dari sekejap, perkelahian benar-benar memecahkan ketegangan batiniah. Lingkaran mereka telah beralih suasana. Ki Gede Kebo Lungit atau Ki Sekar Tawang sepertinya tengah menuntut dendam pada Mataram, dendam yang ditujukan khusus pada Agung Sedayu. Itu terlihat sangat jelas ketika ia berulang mencoba menghindari usaha Ki Patih Mandaraka yang berusaha mengikatnya dalam perkelahian. Ki Sekar Tawang keras berupaya mendekati Agung Sedayu. Kiai Plered begitu ganas berputar dalam dua susunan gerak, bertahan dan menyerang!
Ini ancaman yang sungguh-sungguh luar biasa, pikir Ki Patih Mandaraka yang teguh mengamati tombak keramat yang tanpa diduga — di tangan Ki Sekar Tawang — tengah mengincar nyawanya.