Kedudukan Kiai Bagaswara sangat dekat dengan Sukra, maka untuk menyelamatkan Sukra dari kematian, paman guru Ki Tumenggung Purbarana menjentikkan jemari, menyasar batang keris yang deras menuju dada Sukra.
Tidak terlihat oleh mata biasa, tetapi ungkapan tenaga yang terlontar dari jari Kiai Bagaswara mampu membelokkan arah senjata Ki Ramapati. Bersamaan dengan benturan yang sangat keras itu, mendadak arus panas menjalari batang keris.
“Ilmu apakah ini?” desis Ki Ramapati bernada tanya. Ia tidak melihat bola api meluncur mengenai batang kerisnya. Namun ia dapat menduga, barangkali ada gumpalan udara padat yang keluar dari jentikan jari Kiai Bagaswara. Yang terjadi kemudian adalah pergumulan yang dahsyat. Kiai Bagaswara terpaksa bertukar kedudukan dengan Ki Demang Brumbung dalam menghadapi dua lawan yang berbahaya. Mereka bekerja sama melindungi Sukra dari lontaran serangan yang mempunyai watak yang berlainan.
Ki Ramapati tanpa henti membuat garis serang yang mengincar Sukra dari jarak dekat, sementara Ki Patak Ireng menghujani anak muda Menoreh itu dengan semburan tenaga yang dapat melumpuhkannya. Gerakan dari dua pengikut Raden Atmandaru tiba-tiba terlihat seperti angin topan yang berputar liar. Namun yang mereka hadapi adalah sepasang rajawali yang mengepak sayap untuk melindungi anaknya dari pemangsa. Maka dalam waktu muncul kekaguman Kiai Bagaswara pada kecerdikan Sukra yang mampu membaca keadaan. Pengawal Menoreh yang berusia muda itu seolah tidak terpengaruh oleh ganasnya serangan dua orang yang mengincarnya. Gelombang tajam yang keluar dari ujung sepasang senjata Ki Ramapati selalu dapat dihindarinya.
Sukra menjadi pusat perhatian dari seluruh lingkaran perkelahian.
Berbeda dengan pasangan lawan yang menyerang tanpa jeda, Kiai Bagaswara dan Ki Demang Brumbung begitu baik memahami kedudukan satu sama lain. Mereka tidak meninggalkan celah yang dapat diterobos oleh dua orang yang menghentak ilmu secara hebat.
Lambat laun Sukra semakin menjauh dan semakin sulit didekati oleh orang-orang Raden Atmandaru. Namun begitu, Kiai Bagaswara tidak dapat melepaskannya seorang diri. Salah seorang dari mereka harus menjadi pelindung Sukra dalam perjalanan ke Slumpring. Sekejap kemudian, Kiai Bagaswara melontarkan diri menuju puncak ilmunya. Sepasang tangannya berayun sedemikian hebat, melontarkan gumpalan-gumpalan udara padat yang sangat panas.
“Ki Lurah!” seru Kiai Bagaswara pada Ki Plaosan.
Petugas sandi Mataram memandang sekilas dan mengerti arti seruan yang disertai ungkapan tenaga cadangan. Tiba-tiba ia menyerang Ki Krembung Wantah dengan cara berbeda. Ki Plaosan berusaha melebarkan jarak dari musuhnya. Prajurit sandi ini berkelahi begitu sengit, segenap serangannya seolah-olah berubah menjadi badai yang mengerikan.
Ki Krembung Wantah beringsut dua langkah lebih jauh dari pusat perkelahiannya. Mendadak, dalam waktu bersamaan, Ki Plaosan meraih lengan Sukra lalu melemparkannya cukup jauh. Lemparan yang disertai dorongan tenaga cadangan membuat tubuh Sukra melayang, tetapi anak muda Menoreh ini cukup tenang. Tubuhnya berjungkir balik, ketika sepasang kakinya mendarat di permukaan tanah, Sukra mengayun sepasang kakinya secepat anak panah meninggalkan Gedangasin. Menyusul di belakangnya adalah Ki Plaosan. Tidak jauh dari medan pertarungan Gedangasin, Ki Krembung Wantah dapat menyusul Ki Plaosan, lalu mereka terlibat kembali dalam perkelahian yang terus menerus berpindah tempat mengikuti jalur yang ditempuh Sukra. Sesekali pertarungan itu berhenti bila salah seorang berada di atas angin guna menyusul pengawal Menoreh yang berada di depan.
Ki Ramapati dan Ki Patak Ireng mendapatkan kesulitan ketika sepasang lawan mereka semakin meningkatkan kemampuan. Jalan untuk memburu Sukra telah tertutup. Satu-satunya harapan adalah yang adanya mendesak habis-habisan lawan yang ada : Kiai Bagaswara dan Ki Demang Brumbung. Gelombang serangan mereka semakin dahsyat. Ki Demang Brumbung yang telah mendapatkan luka-luka, mengubah keadaan menjadi berat sebelah. Keunggulan daya tahan tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pengawal makar.
Pada saat itu, sepenuhnya Kiai Bagaswara sadar bahwa mereka tidak akan dapat mempertahankan diri. Namun, bila harus bertarung sampai mati, Kiai Bagaswara mempunyai pendapat yang berbeda. Baginya, kematian mereka berdua tidak akan dapat mengubah keadaan yang sedang dialami Ki Patih Mandaraka. “Bila kami berdua dapat selamat dari perkelahian ini, Mataram tidak akan kekurangan tenaga. Meninggalkan gelanggang bukanlah sesuatu yang memalukan. Kami mempunyai tujuan lain,” tekad Kiai Bagaswara menggaung dan memenuhi setiap relung jiwanya.
Sepertinya gelagat itu dapat ditangkap oleh Ki Demang Brumbung. Ia menerjang Ki Patak Ireng yang berdekatan dengan Ki Ramapati. Ki Demang Brumbung ingin mengikat dua orang itu dalam pertarungan yang menentukan. “Bukan persoalan bila aku akhirnya mati selama Kiai Bagaswara dan Sukra dapat menjumpai Ki Patih Mandaraka atau Panembahan Hanykrawati,” tegas Ki Demang Brumbung dalam hatinya.
Namun keingingannya didahului oleh Kiai Bagaswara yang telah meloloskan senjata mustikanya, Kiai Santak. Sepasang lengan Kiai Bagaswara menderu sangat hebat. Jari-jari tangan kirinya tiada henti melontarkan gumpalan udara padat yang sangat panas menghujani dua lawan mereka, sedangkan kerisnya berayun-ayun mengerikan dan mengancam Ki Krembung Wantah.
“Ki Lurah, pergilah ke Mataram. Bangunkan mereka dan buatlah persiapan yang sangat baik. Aku akan mengambil jalan lain,” kata Kiai Bagaswara.
Meski dalam hatinya belum dapat menerima pendapat yang berlainan, Ki Demang Brumbung memahami siasat Kiai Bagaswara. Ia menilai cukup baik walau nantinya nama baik mereka akan tersemat sebagai orang yang meninggalkan pertarungan. Ki Demang Brumbung adalah prajurit sehingga ia mengerti bahwa suara pribadi harus dikalahkan.
Dan segeralah mereka memisahkan diri, menempuh jalur yang berlainan. Ki Ramapati memutuskan untuk memburu lalu membunuh Ki Demang Brumbung sebelum mencapai batas kotaraja. Sedangkan Ki Patak Ireng melesat deras di belakang Kiai Bagaswara.
Hingga kemudian, mereka tiba di lingkungan perkelahian Agung Sedayu dan Ki Patih Mandaraka.