Betapa sinar mata dan paras wajah Agung Sedayu benar-benar berubah. Pada malam itu, Agung Sedayu bukan seseorang yang dikenal oleh Sukra maupun Ki Patih Mandaraka. Ki Patih Mandaraka adalah orang yang mempunyai ingatan tajam dan selalu rapi menyusun kenangan dalam benaknya, namun laga Agung Sedayu, sungguh-sungguh, menjadi perkelahian terdahsyat yang pernah dilihatnya. Ia menjadi saksi ketika Agung Sedayu menyelesaikan perang tanding melawan Ki Tumengung Prabandaru. Namun kemajuan yang dicapai Agung Sedayu berada di luar jangkauannya. Tata gerak dan sepak terjang senapati pilih tanding itu mengingatkan Ki Patih Mandaraka pada Kiai Gringsing.
“Bila Kiai Gringsing tidak mencegahku turun tangan menghadapi Kakang Panji, aku tidak pernah sampai pada malam ini. Mungkinkah Agung Sedayu, sekarang ini, juga mempunyai perasaan yang sama dengan gurunya kala itu?,” desah Ki Patih dalam hati. Meski demikian, ia tidak menganggap Agung Sedayu menilainya lebih rendah dari Ki Sekar Tawang. Ia bertarung karena itulah kewajibannya, pikir Ki Patih Mandaraka dengan tetap menggerakkan jari jemari secara halus untuk menyelamatkan Sukra dari himpitan Ki Krembung Wantah.
Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Agung Sedayu yang terus menentang rasa lelah dan kesakitan luar biasa akibat tuah Kiai Plered. Senjata yang hebat! pikirnya. Bagaimana mungkin tombak itu dapat mendatangkan sakit yang luar biasa tanpa sebuah sentuhan langsung pada kulitnya? Agung Sedayu benar-benar tidak mempunyai jawaban atas kehebatan senjata yang berada dalam pengawasan Ki Patih Mandaraka itu.
Dua lawan Agung Sedayu — Ki Sekar Tawang dan Ki Patak Ireng – benar-benar meluapkan segala isi hati mereka melalui gebrakan yang tidak terbayangkan oleh nalar sehat. Serangan mereka datang menerjang, bergantian dengan kecepatan yang seimbang dengan Agung Sedayu. Belum ada seorang pun dari mereka yang berada di bawah tekanan. Ketiganya berkelebat, saling membelit dan melibat, menghindar dan juga melepaskan serangan balasan.
Getaran yang bukan berasal tenaga cadangan yang terungkap, tetapi terpancar dari dalam diri Resi Gajahyana. Sosok sepuh yang telah berhasil merubah dirinya menjadi sebuah samudera. Bara di Borobudur
Gelanggang perkelahian mereka bertiga seolah lenyap dari pandangan walau angkasa bagian timur mulai memerah. Tidak ada lagi suara berdesing dan bercuitan dari ayunan tiga pasang tangan dan kaki. Pertarungan mereka lebih mirip perkelahian antar dedemit yang kesetanan!
Dalam sikapnya yang tegak lurus, Ki Patih dapat mengamati perkembangan pada lingkaran Agung Sedayu. Benar-benar sangat hebat, batinnya. Namun Agung Sedayu akan sulit bertahan lebih lama dengan kepayahan seperti itu, tapi ia pun tidak mempunyai kesempatan untuk membantunya. Tentu harga diri Agung Sedayu akan ternoda jika Ki Patih memerintahkan Ki Plaosan memasuki kancah pertarungan. Bagi seorang yang berilmu tinggi seperti Agung Sedayu, uluran tangan walau berniat baik untuk menyelamatkannya, dapat dianggap sebagai sikap yang sangat buruk. Maka Ki Patih Mandaraka sangat menjaga diri agar tidak menyentuh perkelahian sangar yang terjadi di dekatnya. Ia memilih untuk membantu Sukra dengan cara yang sangat halus. Akan sulit diketahui oleh orang kecuali yang mempunyai pengetahuan cukup tentang ragam ilmu di masa lalu. Dan, sepertinya, Ki Krembung Wantah tidak mempunyai wawasan seperti Kiai Bagaswara.
“Sudah pasti yang menjadi pemberat dalam pikirannya adalah Mataram. Baiklah, Ngger. Aku segera meninggalkanmu dan Kiai Bagaswara. Sampai jumpa!” Dengan hati berat, Ki Patih memutuskan untuk bergegas ke Mataram. Bagaimanapun, pikirnya, itu adalah permintaan Agung Sedayu sebagai seorang senapati.
Sekejap, hanya sekejap waktu yang diperlukan Ki Patih Mandaraka untuk memindahkan Sukra!
Setapak kaki Ki Patih bergeser, disertai hentakan yang sangat kuat, tiba-tiba tubuh Sukra seperti terbanjiri oleh kemampuan meringankan tubuh yang sangat hebat! Secara ajaib pula, udara yang terdorong keluar melalui rongga pernapasanya tampak mengepul. Dan mendadak hilanglah selubung panas yang mengepungnya. Walau diserang oleh rasa heran, tetapi Sukra tidak memperdulikan perubahan itu. Ia bertekad untuk mengikuti kekuatan ajaib yang tanpa henti menuntunnya agar lepas dari himpitan Ki Krembung Wantah. Dengan benak yang kosong dari segala macam pikiran, tanpa menjejakkan kaki, Sukra melenting begitu tinggi sehingga serangan Ki Krembung Wantah hanya mengenai tempat kosong. Dan begitu indah, sangat indah, Sukra memutar tubuh, mengelak sambaran tenaga yang terlontar dari jauh, lalu mendarat dengan elok belasan langkah dari lingkar perkelahiannya semula.
“Bagaimana aku dapat bergerak seperti itu? Sementara belum sekalipun aku melatih diri untuk meringankan tubuh seperti Ki Lurah,” Sukra berkata itu di dalam jalan pikirannya ketika telah berada agak jauh dari jangkauan musuh.
Ketika Sukra telah berada pada jarak aman, demi menghindarkan Sukra dan Ki Patih dari gebrakan-gebrakan yang bakal datang, Kiai Bagaswara memintas jalur serangan Ki Krembung Wantah.
“Selamat jalan, Ki Patih!” seru Kiai Bagaswara.
“Anjing bangsat!” maki Ki Krembung Wantah. Ia belum sanggup menjamah Sukra, dan kini, ia terperdaya oleh Ki Patih yang sangat cerdik dan halus menyalurkan sebagian kekuatannya agar Sukra lolos dengan mulus dari terkamannya. Kekesalannya makin bertambah ketika Kiai Bagaswara tiba-tiba menghadangnya dengan badai yang sangat ganas.
“Licik!” teriakan yang ditujukan pada Ki Patih Mandaraka terlontar dari mulut Ki Patak Ireng. Ia tidak tahu pasti tetapi melihat Ki Patih beranjak meninggalkan Slumpring beserta dua pengiring, maka segala kata-kata kotor pun berhamburan keluar dari tenggorokannya.
“Pengecut! Sebaiknya memang dunia tahu peristiwa malam ini. Bahwa Ki Juru Martani melarikan diri dari pertempuran!” Ki Sekar Tawang mengatakan dengan tujuan agar satu dari tiga orang itu kembali ke pertarungan. Dan harapannya adalah Ki Patih Mandaraka.
Namun, suara Ki Patih begitu halus terdengar menembus sisa-sisa malam. “Aku tidak sedang bertarung. Aku adalah mahkota yang diamankan dari gerayang tangan para pencuri. Bila kau bernapas panjang, datangilah Mataram dengan segenap kekuatan. Sampai jumpa, Ki Sanak.”