SAMPARAN memperdengarkan suara tertawa yang hambar dan dingin. Sebentar ia memandang wajah Mahesa Jenar yang dikagumi. Sorot matanya memancar aneh, sebagai sorot mata anak-anak yang dilepas dari pelukan bapaknya yang akan pergi berperang. Tetapi sekejap kemudian Samparan segera meloncat dengan lincahnya, sambil memutar tombaknya menyerang Wirasaba.
Mahesa Jenar melihat segala gerak Samparan dengan terharu. Ia memandang Samparan sebagai seorang anak yang telah hilang, dan kini sedang berusaha untuk kembali ke pangkuan kebenaran. Samparan sedang berjuang untuk menebus segala dosa yang pernah dilakukan. Samparan mulai dengan sebuah tusukan ke arah dada Wirasaba. Sebenarnya gerak Samparan cukup lincah dan mantap. Hanya sayang bahwa ia tidak dapat menyelaraskan gerakan-gerakan kaki dengan tangannya. Sedangkan Wirasaba ternyata memang seorang yang berilmu cukup tinggi. Meskipun ia tidak dapat mempergunakan kakinya, tetapi dengan gerak tangannya yang tampaknya tidak banyak membuang tenaga, ia dapat menangkis serangan-serangan Samparan, sehingga tusukannya meleset ke samping. Bahkan sekaligus ia siap menghantam lengan Samparan dengan tangkai kapaknya. Cepat Samparan menarik serangannya, dan selangkah meloncat ke kiri. Kembali mata tombak Samparan akan mematuk lambung lawannya. Namun Wirasaba cukup cekatan. Dengan tenaganya, ia memutar kapaknya untuk menangkis serangan tombak Samparan.
Pertarungan itu semakin lama semakin bertambah sengit. Samparan telah mengeluarkan hampir segenap ilmunya untuk menundukkan lawannya. Sedangkan Wirasaba, bagaimanapun hebatnya, namun karena ia hanya mampu menangkis serangan lawannya dan hanya mampu menyerang dalam jarak yang sangat terbatas, maka tampaklah ia mulai terdesak. Untunglah bahwa ia memiliki sepasang tangan yang kuat dan cekatan, sehingga pada saat-saat yang sangat berbahaya ia masih berhasil membebaskan dirinya dari ujung tombak Samparan.
Mahesa Jenar, Mantingan dan Ki Asem Gede, yang menyaksikan pertarungan itu, mengikuti dengan perasaan yang tegang. Berbagai macam gambaran membayang di kepala masing-masing. Kali ini pun mereka diliputi oleh kecemasan-kecemasan yang sangat tak menyenangkan. Apalagi Nyai Wirasaba yang tak dapat mengerti persoalan yang dihadapi saat itu. Hatinya menjadi bergolak sedemikian hebatnya, sehingga ia tidak berani lagi menyaksikan pertempuran itu.
Maka, semakin lama semakin jelaslah bahwa Samparan akan berhasil menguasai keadaan. Ia mempergunakan suatu cara yang sangat menguntungkan. Sesaat ia meloncat maju sambil menyerang, tetapi sesaat apabila serangannya gagal, ia segera meloncat surut menjauhi Wirasaba untuk menghindari serangan-serangannya yang sangat berbahaya. Melihat cara Samparan bertempur, Wirasaba menjadi semakin kalap, di samping rasa penyesalan yang meluap-luap atas cacat kaki yang dideritanya. Karena itulah maka cara bertempurnya pun semakin lama menjadi semakin kabur. Sehingga pada suatu saat, dengan gerak tipu yang cepat sekali, tombak Samparan mengarah ke leher Wirasaba. Wirasaba segera mengangkat tombaknya untuk menangkis serangan itu. Tetapi selagi kapak Wirasaba bergerak, Samparan mengubah serangannya. Dengan satu putaran yang cepat tombaknya mengarah ke perut Wirasaba. Melihat perubahan yang cepat sekali itu Wirasaba terkejut, secepat kilat ia mengayunkan kapaknya memukul tombak Samparan. Pada saat yang demikian, kedudukan Wirasaba menjadi lemah sekali. Kalau Samparan menghindari bentrokan itu, kemudian dengan perubahan sedikit ia memukul kapak Wirasaba dengan arah yang sama, maka mungkin sekali kapak itu akan terlempar jatuh.
Tetapi pada saat ia akan melakukannya, tiba-tiba terlintaslah di dalam benaknya, suatu ingatan, bahwa ia tidak benar-benar berhasrat untuk mengalahkan Wirasaba. Samparan datang sekadar untuk membebaskan Mahesa Jenar dari syak wasangka. Kalau ia betul-betul memenangkan pertarungan itu, maka maksudnya untuk menebus kesalahannya, tidak akan berhasil. Ia tidak akan dapat mengembalikan suasana ketenteraman rumah tangga Wirasaba yang telah dirusaknya. Malahan mungkin ia akan menyaksikan Wirasaba yang akan merasa sangat tersinggung kehormatannya itu, bunuh diri, bahkan akan disusul pula oleh istrinya. Karena pikiran yang demikian, maka sesaat Samparan kehilangan pemusatan pikiran.
Sementara itu, waktu yang sesaat itu dapat dipergunakan oleh Wirasaba sebaik-baiknya. Segera ia dapat memperbaiki keadaan. Dengan suatu gerakan yang dahsyat, kapaknya mengayun ke arah kepala Samparan. Samparan tersadar tepat pada saatnya. Tetapi ia tidak lagi dapat menghindar. Segera disilangkannya tombak pendeknya untuk menangkis kapak Wirasaba. Maka terjadilah suatu benturan yang hebat. Ternyata tenaga Wirasaba luar biasa kuatnya. Juga tombak Wirasaba yang dipergunakan Samparan adalah tombak pilihan yang tak terpatahkan oleh kekuatan Wirasaba sendiri. Tetapi tenaga Samparanlah yang tak dapat menandingi kekuatan-kekuatan itu, sehingga tangan yang memegang tombak itu tergetar hebat, dan tombak itu meleset lepas dari pegangannya.
Mereka yang menyaksikan kejadian itu darahnya serasa terhenti. Sebab kelanjutannya tentu akan mengerikan sekali. Mahesa Jenar yang sudah dapat meramalkan apa yang akan terjadi, hampir saja meloncat maju untuk mencegahnya. Untunglah segera ia sadar, bahwa kalau ia berbuat demikian, akibatnya akan sangat tidak menyenangkan bagi dirinya maupun bagi ketenteraman hati Wirasaba. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah mengharap suatu keajaiban sehingga apa yang ditakutkan itu tidak terjadi.
Tetapi rupanya tidak demikianlah yang terjadi. Tombak Samparan yang disilangkan itu berhasil menyelamatkan kepalanya, tetapi kapak Wirasaba yang terayun demikian derasnya dan digerakkan oleh kekuatan yang luar biasa itu, tidak seberapa mengalami perubahan arah. Maka terjadilah suatu goresan panjang merobek dada Samparan. Terdengarlah suatu keluhan yang tertahan. Samparan terhuyung-huyung surut beberapa langkah. Dari lukanya menyembur darah yang merah segar.
Mahesa Jenar, Mantingan dan Ki Asem Gede tergoncang hatinya melihat peristiwa itu. Telah berapa puluh kali mereka melihat darah yang mengucur dari luka, tetapi jarang mereka mengalami kejadian seperti ini. Wirasaba yang tidak mengetahui latar belakang dari peristiwa itu, memandang Samparan dengan tak berkedip. Dari wajahnya memancar perasaan puas dan dendam sedalam lautan. Ia merasa bahwa dengan demikian telah terbalaslah sebagian rasa sakit hatinya, dan ia merasa bahwa tak ada hutang budi kepada siapapun.
Samparan, yang dadanya terbelah, masih berusaha sekuat sisa tenaganya untuk keluar dari ruangan itu. Kedua tangannya ditekankan pada dadanya yang terluka itu. Mahesa Jenar memandangnya dengan penuh haru. Cepat ia menyusul, diikuti oleh Mantingan dan Ki Asem Gede. Tepat sampai di luar pintu, rupanya Samparan sudah tidak dapat lagi menguasai keseimbangan badannya. Untunglah bahwa Mahesa Jenar cepat menangkapnya, ketika ia hampir saja terjatuh. Dan dengan perlahan-lahan Samparan diletakkan di atas tanah. Meskipun lukanya sangat membahayakan, tetapi wajah Samparan sama sekali tak menunjukkan rasa sakit. Bahkan dengan tenangnya ia memandang Mahesa Jenar, Matingan dan Ki Asem Gede berganti-ganti. Kemudian dengan tersenyum ia berkata, “Ki Asem Gede. Ki Dalang Mantingan dan Ki Sanak Mahesa Jenar, aku sudah berusaha untuk mengurangi kesalahanku.”
“Puaskanlah hatimu. Nah sekarang biarlah aku mencoba menyembuhkan luka-lukamu,” jawab Ki Asem Gede sambil mengangguk-angguk.
“Tak ada gunanya, Ki Asem Gede,” jawab Samparan sambil menggelengkan kepalanya, dengan suara sangat pelan.
“Biarlah aku coba,” desak Ki Asem Gede, meskipun ia sendiri sudah melihat, bahwa hampir tak ada kemungkinan untuk mengobati luka Samparan itu.
Kembali Samparan memaksa dirinya tersenyum dan menggeleng perlahan-lahan. “Ki Sanak Mahesa Jenar …, sebelum aku mati, baiklah aku katakan kepadamu suatu rahasia yang ingin kau ketahui. Bukankah sekarang aku tidak perlu takut kepada Lawa Ijo dan kepada siapapun? Kau mau mendengar?” desah Samparan kemudian.
Mahesa Jenar segera merapatkan dirinya. Lalu jawabnya, “Aku ingin mendengar, Samparan. Tetapi sekarang bukan waktunya. Kau terlalu banyak mengeluarkan darah, karena itu kau harus beristirahat.”
Samparan menarik nafas dalam-dalam. “Waktuku tinggal sedikit. Dengarlah. Menurut Watu Gunung, Lawa Ijo sekarang berada di Pasiraman. Sebuah telaga kecil di seberang hutan Mentaok. Desa tempat tinggalnya itu pun bernama Desa Pasiraman pula. Desa itu terletak tepat di tepi hutan. Agak ke barat sedikit terdapatlah hutan yang hampir dipenuhi oleh pohon pucang, sehingga hutan itu disebut Alas Pucang Kerep,” kata Samparan. Samparan berhenti sebentar. Terdengar arus napasnya semakih cepat.
“Beristirahatlah Samparan. Keterangan itu sudah cukup bagiku,” jawab Mahesa Jenar
SAMPARAN berusaha untuk menggeleng. “Belum cukup. Di sana Lawa Ijo sedang menggembleng diri. Ia sedang berusaha untuk memulihkan luka-lukanya yang dideritanya ketika ia sedang berusaha mencuri pusaka-pusaka di Kraton Demak,” lanjut Samparan sangat lemah.
Mahesa Jenar agak terkejut mendengar keterangan itu. “Kalau demikian, Lawa Ijo inilah yang pernah dilukainya dahulu,” pikir Mahesa Jenar.
“Usaha Lawa Ijo untuk memulihkan diri, ternyata sekarang sudah berhasil. Ia selalu berada dalam pengawasan gurunya. Aku belum pernah bertemu dengan gurunya itu, tetapi seperti apa yang digambarkan oleh Watu Gunung, aku dapat membayangkan bahwa gurunya itu adalah seorang iblis yang jarang ada duanya,” sambung Samparan hampir berbisik-bisik.
Mahesa Jenar menjadi tertarik pada cerita Samparan, sehingga ia lupa bahwa ia berhadapan dengan seorang yang luka berat. Maka desaknya tidak sabar, “Siapakah nama gurunya itu?”
“Ia adalah seorang yang mempunyai kesaktian luar biasa. Namanya Pasingsingan.”
“Pasingsingan?” ulang Mahesa Jenar. Terkejutnya bukan alang kepalang. Mahesa Jenar pernah mendengar nama itu dari gurunya, baik Syeh Siti Djenar maupun Ki Ageng Pengging Sepuh. Tetapi tokoh ini sama sekali tak digambarkan sebagai seorang tokoh yang aneh dan sakti. Tetapi yang didengarnya, Pasingsingan adalah seorang yang luhur budi. Seorang penolong yang tak pernah memperkenalkan wajah aslinya, karena ia selalu memakai topeng. Hanya karena topeng itu dibuat sedemikian kasar dan jelek, maka Pasingsingan digambarkan sebagai seorang yang berwajah menakutkan. Adakah sesuatu peristiwa yang terjadi sehingga tokoh itu berbalik diri dari lingkungan putih ke lingkungan hitam?
Tetapi sementara itu Samparan telah mulai berbisik lagi. “Beberapa waktu yang lalu …, Lawa Ijo pernah dilukai oleh seorang senapati Demak, waktu ia sedang berusaha untuk mendapatkan pusaka.”
Mendengar cerita ini Mahesa Jenar semakin tertarik.
“Ki Sanak, dalam lingkungan golongan hitam terdapat suatu kepercayaan, bahwa barang siapa memiliki sepasang pusaka yang mereka perebutkan, adalah suatu pertanda bahwa orang itu akan dapat merajai seluruh golongan hitam. Dengan demikian akan cukup kekuatan dan dukungan bila pada suatu saat mendirikan suatu pemerintahan tandingan yang kekuasaannya akan dapat menyaingi kekuasaan Demak.” Suara Samparan menjadi semakin perlahan-lahan, tetapi masih cukup jelas. “Sedangkan Lawa Ijo, atas petunjuk Pasingsingan, akan mencuri langsung pusaka asli, yang menurunkan sepasang pusaka yang diperebutkan itu,” lanjut Samparan.
“Apakah ujud dan nama pusaka-pusaka itu?” Tiba-tiba Ki Asem Gede menyela.
Samparan menarik nafas untuk mengatasi denyut jantungnya yang semakin memburu. “Pusaka-pusaka itu berupa keris. Seekor naga bersisik seribu dan sebuah keris lain berlekuk sebelas dengan pamor yang memancarkan cahaya kebiru biruan.”
“Nagasasra dan Sabuk Inten,” potong Dalang Mantingan mengejutkan.
“Ya, demikian mereka menyebut namanya. Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi yang sepasang, yang mereka perebutkan itu masih meragukan. Pasingsingan mengira bahwa keris itu hanyalah keturunannya saja, sedang yang asli masih berada di keraton. Untunglah bahwa pada saat Lawa Ijo akan mencuri pusaka-pusaka itu, ada dua orang prajurit terlepas dari pengaruh sirepnya yang terkenal. Empat orang anak buah Lawa Ijo terbunuh, sedangkan Lawa Ijo sendiri terluka di bagian dalam dadanya,” jelas Samparan.
Sekarang Mahesa Jenar semakin bertambah jelas bahwa Lawa Ijo yang berusaha memasuki gedung perbendaharaan itulah yang dimaksud oleh Samparan.
“Untunglah bahwa ada orang-orang seperti kedua prajurit itu. Alangkah gagahnya. Kemudian Lawa Ijo dapat mendengar bahwa kedua prajurit itu bernama Rangga Tohjaya dan Gajah Alit,” tambah Samparan.
Sekarang Ki Asem Gede dan Mantingan yang terperanjat. Rangga Tohjaja adalah Mahesa Jenar. Jadi kalau demikian Mahesa Jenar pernah bertempur, bahkan melukai Lawa Ijo. Dengan tak mereka sadari terloncatlah sebuah pertanyaan dari mulut Ki Asem Gede, “Jadi Anakmas pernah melukai Lawa Ijo?”
Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar menjadi bimbang sebentar. Samparan, yang meskipun dalam keadaan parah, tampak wajahnya berubah hebat mendengar pertanyaan Ki Asem Gede itu. Ia menyebutkan bahwa yang melukai Lawa Ijo adalah Rangga Tohjaja dan Gajah Alit, tetapi kenapa Ki Asem Gede bertanya kepada Mahesa Jenar?
Mahesa Jenar menangkap perubahan wajah Samparan. Pikirannya mengatakan, tak baik orang yang pada saat-saat terakhir masih menyimpan teka-teki. Karena itu ia menjawab pertanyaan Ki Asem Gede. Tetapi jawaban ini ditujukan kepada Samparan. “Samparan, barangkali kau heran, bahkan mungkin tak percaya. Tetapi biarlah aku beritahukan kepadamu supaya kau percaya. Supaya kau menjadi jelas. Akulah Rangga Tohjaja yang kau maksudkan tadi. Memang aku pernah bertempur dan melukai Lawa Ijo di halaman dalam Istana Demak. Karena itulah aku akan selalu mencarinya.”
Belum lagi Mahesa Jenar selesai berkata, tiba-tiba dilihatnya mata Samparan yang tenang itu, membasah. Lalu kata-katanya terputus-putus. “Jadi … inikah pahlawan itu? Berbahagialah aku dapat bertemu dengan Tuan. Nah, Tuan Rangga Tohdjaja, mudah-mudahan usahaku yang kecil ini dapat mengurangi dosaku. Akhirnya hendaklah tuanku ketahui, bahwa Pasingsingan berpendirian, apabila keturunan dari kedua pusaka itu saja mempunyai khasiat yang demikian, apalagi pusaka-pusaka aslinya.” Sejenak kemudian wajah Samparan menjadi semakin tegang. Beberapa kali ia berusaha menguasai jalan pernapasannya. Tetapi bagaimanapun, keadaannya bertambah parah. Darah masih mengalir dari lukanya.
Tiba-tiba sebagai seorang tabib, tersadarlah Ki Asem Gede bahwa ia harus bertindak secepatnya untuk menyelamatkan jiwa Samparan, sampai kemungkinan yang terakhir. “Adi Mantingan, marilah kita angkat Samparan ini ke Gandok Wetan. Barangkali ada suatu cara untuk mengobatinya,” kata Ki Asem Gede kepada Mantingan.
Mendengar kata-kata itu, segera Mantingan bangkit dan siap bersama-sama Ki Asem Gede mengangkat Samparan.
DENGAN senyuman yang sayu, Samparan berbisik perlahan. “Terimakasih Ki Asem Gede. Tetapi masih ada suatu rahasia lagi yang perlu Tuan ketahui, Rangga Tohjaja. Besok pada bulan terakhir tahun ini, akan ada suatu pertemuan para sakti dari aliran hitam untuk menilai ilmu masing-masing, dan sekaligus mencari seorang tokoh sebagai pemimpin mereka. Kecuali kalau sebelum itu seseorang di antara mereka dapat membuktikan bahwa ia telah memiliki pusaka-pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten. Dalam hal ini maka mereka hanya akan menentukan urutan hak saudara tua dari setiap gerombolan.” Kemudian denyut jantung Samparan turun dengan cepatnya. Wajahnyapun menjadi semakin pucat. Meskipun demikian ia masih berusaha untuk melanjutkan ceritanya.
“Bulan terakhir tahun ini, tepat pada saat purnama naik, di lembah Tanah Rawa-rawa, akan hadir dalam pertemuan itu antara lain Lawa Ijo dari Mentaok. Sepasang Uling dari Rawa Pening sebagai tuan rumah, yaitu Uling Kuning dan Uling Putih. Suami-istri Sima Rodra dari Gunung Tidar, Djaka Soka, Bajak Laut yang berwajah tampan dari Nusakambangan, yang mendapat julukan Ular Laut.” Sebenarnya Samparan masih akan berkata menyebut beberapa nama lagi, tetapi ia sudah terlalu lemah.
“Sudahlah Samparan. Jangan pikirkan semua itu. Tenangkanlah dan beristirahatlah,” potong Ki Asem Gede.
Samparan tersenyum buat terakhir kalinya. Ia menarik napas panjang, dan sesudah itu terhentilah denyut jantungnya. Mereka yang menyaksikannya, untuk sesaat menundukkan kepala masing-masing dengan rasa haru.
Perlahan-lahan tubuh itu kemudian diangkat dan diletakkan di atas bale-bale di Gandok Wetan. Tetapi wajahnya sekarang tidak lagi membayangkan kejahatan seperti yang pernah dilakukan semasa hidupnya. Wajah itu kini bagaikan kotak kaca yang sudah dibersihkan isinya dari kotoran-kotoran yang semula memenuhinya. Kemudian Ki Asem Gede segera memanggil beberapa orang pelayan dan murid-murid Wirasaba. Mereka diminta merawat mayat Samparan. Mayat seorang yang pernah menggemparkan Pucangan dengan kejahatan-kejahatan. Selain itu, kepada murid-murid Wirasaba bahkan kepada Nyi Wirasaba, Ki Asem Gede minta supaya tidak mengatakan suatu apapun tentang peristiwa Samparan dan kawan-kawannya kepada Ki Wirasaba. Maka, Samparan adalah satu-satunya di antara kelima orang gerombolannya yang mendapat penghormatan terakhir pada saat penguburannya. Pengorbanan Samparan sebagai penebus dosa tidaklah sia-sia. Untuk beberapa lama Ki Wirasaba dapat menikmati ketenteraman hidupnya kembali di samping istrinya yang setia.
Pada malam setelah semua peristiwa itu terjadi, Mantingan dan Mahesa Jenar diminta untuk tinggal di rumah Ki Wirasaba bersama-sama Ki Asem Gede. Tetapi untuk menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan salah faham, maka sengaja Mantingan dan Mahesa Jenar tidak banyak bercakap-cakap dengan Ki Wirasaba. Hanya dalam kesempatan itu, ketika mereka duduk-duduk bertiga, Mahesa Jenar, Ki Dalang Mantingan dan Ki Asem Gede, berceriteralah orang itu, tentang sebab-sebabnya Ki Wirasaba menjadi lumpuh.
“Wirasaba adalah seorang pilihan dalam kalangannya. Yaitu para penggembala. Ia mendapat gelar Seruling Gading karena kepandaiannya meniup seruling. Pada usia yang masih sangat muda, ia mulai dengan perantauannya dari satu daerah ke daerah yang lain untuk menuruti keinginannya yang melonjak-lonjak di dalam dadanya. Ia sebenarnya berasal dari Karang Pandan, di kaki Gunung Lawu. Sehingga pada suatu saat sampailah ia ke Prambanan. Kedatangannya bagiku sangat menguntungkan. Sebab pada saat itu aku sedang dibingungkan oleh sebuah lamaran yang mengerikan. Anakku, istri Wirasaba itu, pada saat itu sedang menerima lamaran dari seorang yang sangat ditakuti di daerah kami. Tetapi orang itu bukanlah orang baik-baik. Adatnya sangat kasar dan angkuh. Sehingga anakku bersumpah di hadapanku, kalau terpaksa ia harus menjalani perkawinan itu, berarti bahwa hidupnya harus diakhiri,” cerita Ki Asem Gede.
“Kehadiran Wirasaba merupakan angin baru bagi anakku. Perkenalan mereka semakin lama menjadi semakin erat. Sebagai orang tua aku segera mengetahui bahwa hati mereka terjalin. Pradangsa, orang yang ingin mengawini anakku itu, melihat hubungan yang semakin erat itu. Ia menjadi marah bukan kepalang. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak terkalahkan, ia berusaha menyelesaikan persoalan itu dengan caranya. Ditantangnya Wirasaba untuk berkelahi. Aku yang belum mengetahui tingkat ilmu yang dimiliki oleh Wirasaba, menjadi cemas. Tetapi Wirasaba sendiri menerima tantangan itu dengan senang hati,” lanjut Ki Asem Gede.
“Pada suatu hari yang telah ditentukan, dilangsungkanlah pertemuan itu di atas sebuah gundukan pasir di pinggir sungai Opak. Aku yang selalu kecemasan, memerlukan dengan diam-diam berusaha untuk dapat mengikuti pertemuan yang tidak menyenangkan itu. Yang mula-mula datang ke tempat itu adalah Wirasaba, tepat pada saat warna merah di langit yang terakhir terbenam ke dalam warna kelam. Rupanya sengaja ia datang lebih awal untuk mengetahui keadaan tempat itu. Setelah beberapa saat ia mengamati tempat itu sejengkal demi sejengkal, maka duduklah Wirasaba di atas sebuah batu di tepi sungai yang mengalirkan airnya yang jernih. Dari dalam bajunya dikeluarkannya sebuah seruling yang terbuat dari pring gadhing. Sambil menunggu kedatangan lawannya, ia mulai berlagu dengan serulingnya itu. Baru sekali itu aku mendengar Wirasaba meniup serulingnya. Dan memang sudah sewajarnyalah kalau ia mendapat sebutan Seruling Gading,” kata Ki Asem Gede.
“Mula-mula serulingnya itu membawakan lagu yang sejuk menyongsong datangnya bulan. Nadanya seperti silirnya angin senja. Kemudian lagu itu menurun makin dalam, tetapi sesaat kemudian melonjak riang, seriang wajah gadis yang menyongsong datangnya kekasih. Sesaat kemudian berubahlah lagu Wirasaba mendendangkan kisah cinta. Sambil menatap wajah bulan, ia berlagu dengan lembutnya. Tetapi sebentar kemudian ia meloncat berdiri. Sedang serulingnya masih saja berlagu. Dipandangnya tenang-tenang Candi Jonggrang sebagai lambang keagungan cinta yang tiada taranya. Kesanggupan Yang Maha Besar, yang dilahirkan karena cinta. Candi Jonggrang yang mengagumkan itu dapat diciptakan hanya dalam waktu satu malam, sebagai suatu usaha raksasa untuk memenuhi tuntutan cinta. Maka beralunlah seruling Wirasaba dengan lembut dan mesra. Seakan-akan ia mengungkapkan suatu ceritera rakyat tentang cinta abadi antara Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi. Dan karena itulah maka lahir segala isi bumi ini. Wirasaba sebagai lazimnya penggembala, tiada dapat terpisah dari serulingnya. Sahabat pada saat-saat sepi, pada saat-saat binatang gembalanya asyik bermain di padang rumput. Karena itulah maka setiap lagu yang dipancarkan dari serulingnya, selalu melukiskan kisah yang terjalin di hatinya.
“Sebagai seorang yang hidup bebas di padang-padang terbuka, dalam berlagu pun Wirasaba ternyata tidak mau terikat pada gending-gending yang sudah ada. Lagunya menjangkau jauh melampaui batas gending-gending yang dirasanya terlalu miskin untuk mengungkapkan seluruh perasaannya. Karena itu lagunya bebas terlontar tanpa ikatan. Namun demikian dapat melukiskan segenap warna dalam jiwanya. Tetapi, ketika ia sedang asyik tenggelam dalam lagunya, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang merobek-robek kekhusukan lagu yang hampir sampai ke puncak keindahannya.
“Aku segera mengenal suara itu. Suara Pradangsa. Kali ini rupanya ia ingin memperlihatkan kesaktiannya dengan menyalurkannya lewat suara tertawanya yang mengerikan. Cepat-cepat aku berusaha untuk tidak hanyut ke dalam pengaruhnya. Tetapi di samping itu aku pun menjadi cemas kembali. Wirasaba memang seorang ahli meniup seruling. Tetapi Pradangsa bukanlah seorang penggemar lagu. Ia adalah seorang yang kasar dan hanya dapat menghargai kekuatan tenaga. Bukan kemesraan dan kelembutan.”