“Masuklah, pintu tidak terkunci!” perintah Raden Trenggana dari dalam.
Gagak Panji mendorong pelan dan sedikit bunyi berdecit ketika pintu bergeser. Tak lama, ia telah berada di dalam ruangan yang tidak begitu besar. Sekilas ia melihat sebuah pembaringan kecil, tiga kursi dan sebuah meja. Bilik yang cukup sederhana bagi seorang pemimpin kerajaan. Ruang yang hangat, pikir Gagak Panji. Ia dapat merasakan itu ketika tidak ada angin malam yang sanggup menerobos masuk. Bertolak belakang dengan keadaan di atas geladak. Bentang layar yang besar riuh mengepakkan sayap, mengeluarkan bunyi yang bersahutan dengan deru ombak.
“Gagak Panji!” sapa Raden Trenggana yang duduk pada kursi yang menghadap pintu.
Senapati Demak itu segera menghaturkan sembah hormat.
Aku bergeming. Mereka menyebut nama ayahku, Rakai Panangkaran, dengan cara tak pantas. Aku tidak pernah meminta orang agar menghormati ayahku. Aku tidak ingin memaksa orang lain menghargai ayahku. Rakai Panangkaran terlampau tinggi untuk itu. Bulan Telanjang 19
“Paman,” kata Gagak Panji. Lantas Raden Trenggana menunjuk lalu meminta Gagak Panji segera duduk. Dalam waktu itu, murid Mpu Badandan dapat memperkirakan ketebalan dinding lambung kapal. Ia tidak mendengar debur ombak atau hembus kencang angin laut. “Lontaran besi bulat tidak akan mampu merusak dinding. Untuk membobol lambung, itu butuh banyak besi yang menghunjam pada titik-titik yang berdekatan,” kata Gagak Panji dalam hatinya.
“Kedatanganmu ke tempat ini dengan menaiki sisi kapal adalah tindakan berani, meski aku ingin mengtakan nekad. Namun dari sudut yang lain, aku juga ingin mengatakan bahwa itu adalah keberanian yang sepantasnya dimiliki oleh perwira Demak,” kata Raden Trenggana. ”Perbedaan yang sangat tipis karena kau melakukannya pada tempat dan waktu yang salah.”
“Hamba, Raden.”
“Gagak Panji,” Raden Trenggana berkata lagi, ”aku tidak tahu yang kau pikirkan dengan memilih untuk berpihak pada Blambangan. Kedudukan tinggi di Demak telah kau dapatkan. Bahkan mendapatkan banyak kelonggaran dalam melakukan pekerjaanmu. Tapi lihatlah dirimu sekarang! Kau justru mengambil sikap untuk menentangku.”
“Tidak ada pemikiran yang berasal dariku untuk menentang Demak atau membangkang seorang pemimpin seperti Paman,” kata Gagak Panji.
“Lalu?”
“Usai pertemuan yang tergelar di Demak, lalu Paman menyatakan rencana untuk menaklukan Panarukan, sebenarnya saya ingin menemui Panjenengan untuk bicara mengenai rencana itu,” jawab Gagak Panji.
“Dan kau tak pernah melakukannya, bukan?”
“Saya tidak melihat adanya kemungkinan pembatalan rencana itu. Sikap Paman sebagai pemimpin sangat jauh dari langkah mundur,” jawab lelaki yang seusia dengan Adipati Pajang itu.
“Aku memang tidak membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin mengubah rencanaku,” kata Raden Trenggana. Ia menatap lekat wajah Gagak Panji. Kemudian katanya lagi, ”Termasuk Kakang Kebo Kenanga dan Paman Parikesit yang berusaha mengubah rencana ini melalui Angger Mas Karebet.”
Gagak Panji menarik napas dalam-dalam. Muncul pertanyaan dari benaknya, kapan Adipati Pajang menemui Raden Trenggana? Kekerasan tekad pamannya membuat Gagak Pani menekuk wajah. Ia menyayangkan karena dengan penolakan itu berarti benturan yang besar dan sangat keras sangat mungkin akan terjadi. “Paman, biarpun keadaan kita tidak begitu baik pada hari-hari belakangan ini, tetapi sebagian kerabat tidak menyetujui pertumpahan dara. Apakah kita tak kunjung jemu dengan hari-hari yang diisi dengan kekerasan?”
“Kita beruntung. Tepatnya, kalian masih beruntung. Aku telah menempuh jalan damai agar mereka mengakui Demak sebagai penerus. Namun kebanyakan mereka terlalu banyak menikmati makanan tanpa usaha-usaha yang sangat keras. Mereka terlampau jauh dari kesulitan. Bahkan, kadang aku berpikir apakah mereka pernah melihat keadaan sebenarnya di wilayah mereka? Atau mereka telah percaya dengan para punggawa? Gagak Panji, sebenarnya aku merasa kasihan pada mereka. Aku kira mereka telah melupakan kehormatan dan martabat sebagai pemimpin.”
“Apakah benar begitu? Apakah kerabat kita sungguh-sungguh tenggelam dalam kemewahan? Paman, saya tidak dapat menilai seorang pemimpin dari kehidupannya sehari-hari. Andaikan mereka benar-benar lupa, saya tidak ingin mengeluh dengan keadaan itu.”
“Baiklah, setidaknya engkau masih menjadi seorang Gagak Panji yang aku inginkan. Setidaknya engkau masih berpikir bahwa mereka masih membutuhkan kesenangan.”
“Seperti itulah pendapat saya.”
“Dan belakangan,” ucap Raden Trenggana seraya menarik napas panjang lalu, ”kau telah membuatku benar-benar marah. Kekacauan banyak terjadi dan setiap laporan selalu menyatakan bahwa kau adalah orang yang mengatur semuanya.”