Hawa yang semakin panas dari lontaran ilmu Panembahan Pulangsara itu rasanya semakin membara. Hingga dapat dirasakan oleh Pangeran Purbaya bahwa orang tua itu benar-benar seperti memuntahkan sepenuhnya kekuatan tertinggi yang bersemayam dalam tubuhnya. Isyarat itu tentu tidak dapat dipandang remeh oleh Pangeran Purbaya yang dengan pengamatan batinnya jelas akan muncul satu kekuatan ilmu luar biasa dari puncak Aji Braja Geni Panembahan Pulangsara tersebut. Oleh karena itu Pangeran Purbaya lebih menekankan keselamatan dirinya daripada kukuh berkehendak menangkap hidup-hidup orang yang telah membuat kekacauan di Mataram itu.
Maka tidak heran jika kini yang dilakukan Pangeran Purbaya pun itu tidak kalah mengerikan pula dari apa yang dilakukan Panembahan Pulangsara. Dan ketika Pangeran Purbaya menarik kedua tangannya yang terentang, tubuhnyapun tiba-tiba berputar cepat lalu seperti lenyap ditelan pusaran angin kabut pekat yang entah dari mana tiba-tiba muncul. Hanya gumpalan-gumpalan bagaikan asap putih yang memusar seiring gelombang angin yang menyelimuti tubuhnya. Hawa udara disekitarnyapun terasa menjadi begitu dingin membeku. Apa yang terlihat dari liukan-liukan pepohonan itu telah menunjukkan betapa dahsyat gelombang angin dingin yang ditimbulkan oleh lontaran ilmu Pangeran Purbaya tersebut.
Di sisi lain dari Panembahan Pulangsara itu, gulungan bara api yang juga berputar oleh gelombang pusaran angin juga terlihat berpijar demikian panas. Sampai pada suatu saat satu teriakan panjang keluar dari mulut Panembahan Pulangsara mengiring dorongan gerak tangannya kedepan. Demikian gulungan bara api dalam pusaran angin itupun memdera kencang kearah di mana Pangeran Purbaya berada. Tetapi apa yang terjadi tentu tidak seperti yang diharapkan orang tua itu, yang mana gulungan bara api yang berputar seperti puting beliung itu telah membentur gumpalan-gumpalan kabut putih yang sangat dingin yang juga melaju pada dirinya.
Satu letupan keras terdengar menggelegar di sertai bunyi mendesis-desis laksana bara tersiram air. Panembahan Pulangsara terkejut ketika melihat seakan-akan satu kekuatan luar biasa telah mendorong kekuatan ilmu Braja Geninya hingga membuat bara itu hanya tinggal menyisakan kepulan-kepulan asap yang membumbung. Tidak hanya sampai di situ, Panembahan Pulangsara merasakan pula sentuhan tenaga berhawa sangat dingin membalik ke arahnya. Waktu yang demikian sempit itu tidaklah bisa digunakan untuk berkelit, apa lagi orang tua itu masih berada pada pemusatan kekuatan ilmunya sehingga tak pelak lagi tubuh Panembahan Pulangsara terpental beberapa tombak ke belakang. Tubuh tua itu terlihat berguling-guling menyusur tanah, lalu terhenti setelah tubuh itu membentur sebuah pohon yang cukup besar di belakangnya. Keadaan tubuh Panembahan Pulangsara itu terlihat demikian kacau, jubah putihnya tidak lagi utuh seperti terkoyak-koyak. Tubuh tua itupun terlihat tersandar pada batang sebuah pohon dengan kepala menunduk, ramput panjangnya tampak terurai tidak beraturan dan menutupi wajahnya yang pucat membeku seperti tidak lagi terlihat tanda-tanda kehidupan pada dirinya.
Sementara apa yang terjadi pada Pangeran Purbaya sebenarnya juga cukup berbahaya. Meskipun putra mendiang Panembahan Senapati itu masih terlihat mampu berdiri. Beberapa saat sebelumnya Pangeran Purbaya juga terlihat terlempar dan terkapar oleh benturan ilmu dengan lawannya. Tetapi ternyata kekuatan tenaga cadangan yang dimilikinya demikian tinggi sehingga meskipun sudut bibirnya terlihat melelehkan darah, apa yang dialaminya tidak separah Panembahan Pulangsara. Pangeran Purbaya terlihat berjalan gontai dengan memegangi dadanya yang terasa hangus terbakar. Perlahan dia mendekati tubuh Panembahan Pulangsara yang kini hanya diam membeku, bahkan tarikan napasnyapun terputus. “Luar biasa orang ini, ilmunya benar-benar sangat tinggi. Jika aku salah hitung, tentu akulah yang binasa,” desis Pangeran Purbaya.
Dirinyapun kini terlihat meluruhkan tubuhnya dan bersila mencoba memperbaiki jalan darahnya yang terasa kacau. Namun beberapa saat kemudian Pangeran Purbaya menjadi terkejut, yang membuatnya mengendorkan pemusatan nalar budinya. Satu suara tba-tiba menyalaminya dengan lembut Pangeran Purbaya pun serta merta berpaling. Dan kini pandangannya telah melihat seseorang yang terlihat berusia demikian tua, bahkan lebih tua dari Panembahan Pulangsara. Di sampingnya terlihat seorang remaja yang masih begitu belia yang terlihat selalu menundukkan wajahnya.
“Pangeran?” sapa orang yang tidak lain adalah Syeh Winong bersama dengan Layungpati.
“Oh, Bapa Syeh,” desis Pangeran Purbaya yang ternyata telah mengenal siapa yang datang.
“Maaf anakmas Pangeran jika kami tanpa adab tiba-tiba hadir di sini,”- ujar Syeh Winong.
“Apakah sudah sejak lama bapa ada di sini?”
“ah, nakmas Pangeran janganlah bercanda,” sahut Syeh Winong seraya tersenyum lalu sambungnya, “tentu anakmas sudah tau sejak kedatangan kami di sini”
Pangeran Purbaya mengangguk-anggukkan kepala, lalu terlihat wajahnya mengerenyit menahan sakit seraya memegangi dadanya.
“Tampaknya Anakmas Pangeran terluka cukup serius,” Syeh Winong menarik napasnya. “Marilah, mohon Anakmas sudi singgah barang semalam di gubug hamba, setidaknya untuk memulihkan tenaga.”
Pangeran Purbaya tidak segera menjawab. Sesekali dipalingkannya pandangannya ke arah tubuh Panembahan Pulangsara yang kini sudah tidak bernyawa tersebut.
Demikian Syeh Winong pun mampu membaca gelagat itu. Orang tua itu mengerti meskipun seorang Pangeran, orang yang di hadapanya itu tentu tidak akan mungkin menyuruhnya mengurus mayat Panembahan Pulangsara.
“Anakmas Pangeran janganlah terlalu memcemaskan tubuh orang itu. Biarlah penduduk terdekat di sekitar tempat ini yang mengurusnya.”
“Tapi Bapa?”
“Tidak Anakmas, bukan aku yang akan memanggil para penduduk itu.” Orang tua itupun menarilk napasnya lalu berbicara pada Layunglati yang sedari tadi terdiam menundukkan wajahnya, “Layung, apakah kau mau membantuku?”
“Tentu Kyai, apa yang harus aku lakukan?” sahut Layungpati.
“Pergilah ke pedukuhan di seberang bulak yang tidak terlalu luas itu, katakanlah atas namaku, dan mintalah beberapa orang kemari. Aku menunggumu di sini.”
“Baiklah, Kyai,” jawab anak itu singkat lalu beringsut pergi. Tetapi sesaat langkahnya terhenti oleh suara Syeh Winong yang kembali terdengar,
“Tunggu, Ngger!”
“Ya Kyai.”
“Janganlah kau terlalu lama.””
“Baik, Kyai.”
Layungpati kemudian berkelebat lari, sehingga dalam sekejap telah hilang dari pandangan Syeh Winong dan Pangeran Purbaya.
“Luar biasa!” desis Pangeran Purbaya. “Semuda itu telah mempunyai ilmu meringankan tubuh yang demikian tinggi. Apakah anak itu murid Bapa?”
“Bukan, Anakmas. Anak itu cuma singgah sementara di gubug tempat hamba tinggal, sementara saudara seperguruannya mengikuti pendadaran di Mataram.”
“Bukan main, jika yang muda saja telah menguasai ilmu setinggi itu bagaimana dengan saudaranya yang lebih tua?” Pangeran Purbaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan dengan adanya mereka, Mataram akan semakin kuat.”
“Anakmas Pangeran. Nanti akan saya ceritakan tentang anak itu. Anak itu anak yang aneh.”
Pangeran Purbaya menjadi termangu-mangu, namun sebelum dirinya berucap Syeh Winong telah menyahutinya, “Anakmas Pangeran, bolehkah saya bertanya?”
“Silahkan Bapa.”
“Seharusnya Anakmas tidak mengalami cidera yang cukup berat itu jika Anakmas melakukan pemusatan ilmu dengan lepas.”
“Maksud Bapa?”
“Ya, hamba melihat Anakmas tidak melakukan ungkapan ilmu sepenuh tenaga, sehingga mengakibatkan luka dalam yang cukup berat pada diri Anakmas.”
“Bukan begitu, Bapa. Menurutku, orang yang menyebut dirinya Panembahan Pulangsara itu memang berilmu sangat tinggi, sehingga satu keberuntungan bagiku tidak menjadi binasa karenanya.”
Syeh Winong tersenyum. “Anakmas Pangeran memang seorang rendah hati. Meski sedikit Bapa mengetahui ilmu apa yang Anakmas gunakan untuk menghadapi orang itu.”
Layung senja hampir terlihat jelas, sementara Jaka Tole yang nama sebenarnya Layungpati belum tampak kembali. Sementara Syeh Winong bersama Pangeran Purbaya masih terlihat berdirj di tempatnya. Sesekali bibir kedua orang itu tampak bergerak-gerak sehingga tampak jelas keduanya masih terlibat beberapa pembicaraan diantara mereka. Namun pada suatu saat terlihat keduanya mengerutkan wajahnya. Telinga mereka yang tajam telah menangkap desir langkah beberapa orang meskipun sebenarnya secara kasat mata belum tampak sesosok bayangan pun terlihat di tempat mereka berada.
“Apakah itu mereka?” desis Pangeran Purbaya.
Syeh Winong menarik napasnya lalu berucap, “Mudah-mudahan itu mereka. Apakah Anakmas Pangeran ingin melakukan pemusatan nalar budi untuk meringankan beban luka dalam tubuh? Jika demikian, Bapa persilahkan, biarlah Bapa yang akan menjumpai para penduduk itu.”
“Tidak, Bapa, biarlah sementara aku tetap di sini.”
“Tetapi jika mereka melihat Anakmas di sini, apakah tidak membuat mereka gempar? Apa lagi mendengar pertarungan itu?”
“Aku rasa dengan pakaianku yang lusuh ini mereka tidak akan mengenaliku, dan mereka tidak akan mendengar pertarungan itu jika kita tidak bercerita.”
“Bapa mengerti,” desis Syeh Winong seraya mengangguk-anggukkan kepadanya. Dan apa yang menjadi panggraita keduanya tidaklah meleset. Karena beberapa saat kemudian Layungpati telah terlihat berjalan bersama lebih dari sepuluh orang warga pedukuhan lor bulak tersebut.
Mereka bergegas menghampiri Syeh Winong yang kini berdiri termangu-mangu,
“O, ternyata Ki Jagabaya sendiri yang menyertai kalian,” desis Syeh Winong.
“Demikianlah, Kanjeng Syeh” sahut Ki Jagabaya. “Apakah ada hal penting yang harus kami lakukan?”
Syeh Winong mengangguk-anggukkan kepalanya lalu katanya, “Aku ingin meminta bantuan kalian.”
“Dengan senang hati. Apa yang bisa kami lakukan?” sahut Ki Jagabaya.
“Kau lihat yang di bawah pohon itu?” desis Syeh Winong sambil mengarahkan telunjuk jarinya kearah mayat Panembahan Pulangsara.
“Mayat?” ucap Ki Jagabaya diikuti gumam-gumam belasan orang pengikutnya. Ki Jagabaya pun kembali berkata dengan penuh tanya, “Mayat siapa itu, Kanjeng? Lalu bagaimana dia bisa mati di situ?”
“Itulah yang aku mintakan bantuan kalian, mengurus dan menguburkan jasad orang itu selayaknya.”
“Tapi mayat siapakah itu, Kanjeng Syeh?” sergah Ki Jagabaya.
Syeh Winong pun terlihat menarik napasya beberapa kali sebelum kembali berucap, “Ki Jagabaya dan kalian semua, sebaiknya jalani saja apa yang sudah menjadi kewajiban di antara titah dengan penuh keikhlasan, tidak perlu kita tahu mayat siapa itu agar keikhlasan kalian tidak terganggu. Karena aku khawatir jika mungkin kalian tahu andaikan itu jasad seorang penjahat kalian tidak mau menguburkannya, atau mungkin mau karena terpaksa oleh permintaanku. Oleh karena itu aku minta bantuan kalian, uruslah mayat orang itu dengan semestinya, tanpa harus tau siapa dia.”
Ki Jagabaya menundukkan wajahnya lalu katanya, “Baiklah. Kanjeng, aku akan lakukan apa yang semestinya wajib kami lakukan.”
“Terima kasih. Semoga amal perbuatan baik kalian, Yang Maha Agung akan membalasnya dengan baik pula.”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berdesis, “Amin…baiklah Kanjeng biarkan kami membawa mayat itu ke pasareyan sebrang gumuk itu.”
“Ki Jagabaya, silahkan dan sekali lagi aku sangat berterima kasih.”
Demikianlah orang-orang itu kemudian membawa jasad Panembahan Pulangsara untuk diurus. Dan seperti yang diperkiraan ternyata orang-orang itupun tidak begitu memperhatikan orang yang diam berdiri di samping Syeh Winong yang tidak lain adalah Pangeran Purbaya.
“Marilah, Anakmas Pangeran, bapa persilakan singgah di gubug bapa. Meskipun kecil di sana ada sanggar untuk Anakmas melakukan pemulihan tubuh,” desis Syeh Winong seraya mendekati Pangeran Purbaya. Lalu meraih tangannya untuk membantunya berjalan.
“Jangan Bapa, jangan, aku masih bisa berjalan,” tukas Pangeran Purbaya.
“Bukankah luka dalam Anakmas cukup parah?”
“Aku masih mampu berjalan, Bapa,” sergah Pangeran Purbaya, “jika bapa berkenan aku hanya ingin meminjam tongkat itu untuk membantuku melangkah.”
Syeh Winong pun menyerahkan tongkatnya. Lalu ketiganya berjalan menuju gubug di mana Syeh Winong tunggal.