Padepokan Witasem
senja langit mataram, cerita silat jawa
Bab 1 Senja Langit Mataram

Senja Langit Mataram 16

“Kasihan anak itu,”  desis Syech Winong, “sepertinya adi Kunto Pambudi harus lebih serius memperhatikan perkembangan anak itu, Resa Demung. Apa yang kau ceritakan itu telah menyiratkan sebuah penderitaan batin yang sangat luar biasa bagi dirinya pada saat perkembangan jiwa yang tidak saja belum matang akan tetapi perkembangan jiwa yang baru tumbuh. Karena itu tidaklah mengherankan guncangan itu acap kali selalu dirasakannya”

“Lalu apa yang sebaiknya kami lakukan, Kanjeng?”

Syeh Winong menarik napasnya panjang-panjang.  “Ada hal yang menjadi sisi gelap untuk menemukan cara itu, Demung. Karena kalian pun tampaknya tidak tahu awal mula sebuah kejadian hingga kalian menemukan dia. Oleh karena itu mungkin lebih baik untuk sementara waktu membiarkan anak itu mengikuti hati nuraninya sendiri, meskipun pengawasan harus tetap ketat. Jangan sampai  anak itu melakukan hal yang mungkin mengarah pada hal-hal yang menjurus pada penyimpangan dan cenderung bertentangan dengan wewaler kehidupan. Dan ketahuilah, di balik penderitaan yang  dialaminya selama bertahun-tahun itu, baik secara kewadagan maupun batinnya, bisa jadi tanpa disadari telah membentuk jiwa dan raga lain daripada yang lain seperti anak-anak pada umumnya. Sangat mungkin itu bisa menjelma menjadi satu kekuatan tersembunyi yang luar biasa. Akan tetapi yang mencemaskan justru bayang-bayang yang mungkin dianggapnya keji itulah yang perlu diwaspadai. Apa lagi kita tidak tahu jika nanti ada sesuatu yang mungkin bisa memantik kemarahan dari bayangan kelam yang telah dialaminya. Terbunuhnya orang tuanya barangkali? Sehingga seiring bertumbuhnya umur akan meledak menjadi dendam kesumat yang membara. Jika itu berlarut bisa menjadi malapetaka dalam tatanan hidup bebrayan antar manusia.”

“Benar Syeh. Kadang aku juga melihat beberapa keanehan yang terjadi pada anak itu.”

loading...

“Keanehan apakah yang kau lihat darinya?”

Ki Resa Demung beringsut dari tempatnya duduk. Kemudian berucap,  “Meskipun selama menjadi penghuni padepokan kami, anak itu tidak pernah sekalipun mau mengikuti kegiatan pengembangan ilmu kanuragan, namun apa yang kami lihat dari gerak-geriknya bagaikan orang yang menyimpan ilmu di dalam tubuhnya.”

“Kau benar, Demung, aku pun melihat gerak-gerik anak itu seperti  memiliki tenaga cadangan yang tinggi, karena itulah aku tadi bertanya tentang anak itu. Bahkan menurut rabaanku tanaga cadangan yang tersimpan dalam dirinya itu lebih tinggi dari yang dimiliki anak-anak yang akan mengikuti pendadaran itu,”  sahut Syeh Winong.

“Ada hal lain yang membuat aku tercengang,  anak itu seperti mampu memahami perangai berbagai binatang,”  sambung Ki Resa Demung.

“Jadi anak itu tentu sangat menyayangi berbagai binatang?”

“Demikianlah Syeh, bahkan kadang kala Jaka Tole menggiring domba-domba selama berhari-hari merumput dan tidak pulang padahal tentu dirinya sendiri menahan lapar.”

“Angon?”  bertanya Syeh Winong lebih lanjut.

“Benar, Syeh. Memang pekerjaan utama anak itu angon,” lanjut Ki Demung.

Syeh Winong terlihat  tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala lalu katanya,  “Kini aku paham Demung, kenapa kekuatan tak kasat mata di luar tenaga kewadagan itu tanpa disadari terbentuk dalam tubuh  anak itu.”

“Apakah itu, Kanjeng?”

“Demung. Jika anak itu pergi angon selama berharihari tentu anak itu tidak membawa bekal makan bukan?”

“Sama sekali tidak. Hanya seruling dari lompong bambu dan tongkat kecil yang tak pernah lepas dari tangannya.”

“lalu apakah kau dapat membayangkan bagaimana jika anak itu lapar di perjalanan? Bagaimana saat berteduh dari hujan dan panas? Lalu bagaimana dia tidur ketika malam di tempat di mana domba-dombanya merumput?”

“Entahlah, Kanjeng,”  jawab Ki Resa Demung seraya menarik napasnya panjang.

“Bukankah itu sama artinya tanpa sadar anak itu seperti menjalani laku selama bertahun-tahun. Laku sebagaimana dijalani orang-orang dalam mematangkan ilmunya.”

“Jadi, anak itu memiki ilmu yang sangat tinggi maksud Kanjeng?”

“Bukan begitu. Dalam pandanganku anak itu kini ibarat wadah kosong yang berisikan air matang dan menyimpan tenaga luar biasa meski belum terbentuk, sehingga belum dapat diungkapkan menjadi satu kekuatan yang luar biasa pula, meskipun pada titik tertentu, katakanlah mungkin dirinya sedang dalam keadaan terancam, di luar kesadarannya tenaga itu bisa muncul tiba-tiba. Demung, pesanku jangan sampai air itu menjadi keruh oleh karena kekuatan hitam yang mewarnainya. Itu bisa menimbulkan malapetaka bagi kehidupan. Sebailknya jika air itu tetap jernih, tentu hal itu akan menjadi lebih berguna.”

“jadi anak itu tidak menyadari jika dalam dirinya menyimpan sesuatu?”  sela Ki Demung.

“Ya, dan menurutku tanpa disadarnya anak itu telah menjalani pembentukan ilmu secara terbalik dari apa yang biasa di lakukan murid-murid perguruan pada umumnya.”

“Maksud Kanjeng Syeh?”

“Jika pada umumnya orang menimba ilmu pada sebuah perguruan akan mendasari pematangan ilmu kewadagan, olah gerak kanuragan, dan sampai pada titik tertentu baru melangkah pada taraf pendalaman ilmu yang bertumpu pada kekuatan dalam, tapi anak itu justru melakukan yang sebaliknya. Karena itu nanti ketika anak itu mulai mempelajari ilmu kewadagan kau pasti akan tercengang, Demung. Dan jangan heran jika dalam waktu singkat ilmu kanuragan itu mampu disadapnya dengan sempurna,”  demikian Syeh Winong mengakhiri ucapannya.

Suara kicauan-kicauan burung liar terasa menambah kedamaian suasana pagi yang selalu mewarnai ketenangan tempat yang dihuni Syeh Winong. Bahkan kadang tampak semakin asri dalam balutan pedut yang tidak begitu tebal di antara sela pepohonan.

Demikianlah di pagi itu, rombongan dari dua perguruan yang berbeda itu sudah terlihat bersiap di atas punggung kuda masing-masing.  Setelah memohon diri pada tuan rumah yang tidak lain Syeh Winong mereka pun menggerakkan kuda meninggalkan pondok itu menuju Mataram. Namun belum lagi beberapa jarak meninggalkan regol halaman pondok itu, sesuatu telah mengganggu benak Ki Demung ketika beberapa kali melihat raut muka Layungpati seperti selalu murung, hingga membuat orang tua itu bertanya.  “Kau kenapa, Le?”

“Tidak kenapa-kenapa, Paman. Cuma…”

“Cuma kenapa, Ngger?”

“Maaf, Paman, janganlah Paman menjadi marah, sebenarnya aku tidak ingin melihat pendadaran itu.”

Ki Demung lalu tersenyum. “Kenapa harus marah? Apalagi jika kau tidak suka melihat bukankah kau bisa menjauh dari arena pendadaran itu.”

“Baik, Paman.” Layungpati tidak membantahnya. Namun sebagai orang yang kenyang akan pengalaman hidup tentu Ki Resa Demung tahu ada ketidak puasan dalam hati Layungpati meskipun sungkan untuk mengatakannya. Apalagi dalam pandangannya selama ini Layungpati adalah seorang anak yang patuh.

“Apakah kau ingin tinggal?” tanya Ki Demung kemudian.

Layungpati memandang paman gurunya itu. Dia belum begitu mengerti apa yang dimaksudkan orang tua itu. “Maksud Paman?”

“Bukankah kau tidak ingin melihat suasana pendadaran itu. Karena itu apakah kau tidak ingin ikut ke Mataram?”

“Tidak, Paman, biarlah aku ikut ke Mataram saja. Aku tidak tahu jalan jika harus kembali ke padepokan.”

“Aku tidak menyuruh kau pulang ke padepokan, Ngger.”  Ki Demung tertawa kecil.  “Jika kau tidak ingin melanjutkan perjalanan kau bisa tinggal di pondok Kanjeng Syeh Winong sementara waktu, nanti setelah urusan di Mataram selesai aku akan menjemputmu.”

“Apakah boleh?”  Wajah Layungpati menjadi bersinar.

“Tantu saja, Ngger. Dan aku rasa Kanjeng Syeh juga tidak akan keberatan. Tapi ingat, Layung, kau harus bisa membawa diri. Jangan kau berkeliaran seperti saat di rumah kita sendiri. Karena aku tidak ingin kau justru akan menyusahkan Kanjeng Syeh.”

“Baik, Paman, aku hanya akan diam di pondok saja, tidak akan ke mana-mana.”

“Jika demikian, kau kembalilah sebelum terlalu jauh.”

“Akan ke manakah Tole, Paman?”  Tanjung pun bertanya.

“Biarlah dia menunggu di pondok Kanjeng Syeh.”

“Anak itu benar-benar pengecut,”  tukas Tanjung

“Jangan berkata begitu,” sergah Ki Demung, “jangan gampang menilai buruk, apalagi terhadap saudaramu sendiri.”

“Maaf, Paman,”  sahut Tanjung kemudian.

Wedaran Terkait

Senja Langit Mataram 9

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 8

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 7

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 6

kibanjarasman

Senja Langit Mataram 5

kibanjarasman

Senja Langit Mataram 4

Ki Ras Haris Ph

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.