Mereka berada sedikit lebih tinggi dari jalan yang dilalui Ki Tumenggung Prabasena bersama dua kerabatnya. Kedudukan dua pengintai ini benar-benar sangat baik. Tempat itu membelakangi arah matahari terbit sehingga cahaya pasti menyilaukan orang yang melempar pandang pada mereka. Meski gundukan tanah itu hanya dapat memuat tiga orang, tetapi itu adalah tempat yang tepat untuk mengamati setiap pergerakan yang keluar dan masuk ke dalam dusun.
“Karena tidak ada orang yang menduga bahwa akhirnya dia mencapai tempat ini. Maksudku, Blambangan,” jawab lelaki pertama yang bertubuh agak jangkung.
Orang kedua lantas memintanya agar diam dengan menempatkan telunjuk di depan mulutnya. Kepalanya bergerak seakan memberi tanda supaya temannya mengarahkan pandangan pada sebuah arah. Tampak oleh mereka tiga penunggang kuda sudah berada di bawah sebuah papan yang melintang di atas jalan.
“Apa yang kira-kira mereka tanyakan, Tuan?” Yang bertanya cepat menutup mulut karena segera sadar bahwa itu adalah pertanyaan yang bodoh.
Sepertinya orang kedua tidak mengindahkan ucapan anak buahnya. Bahasa tubuhnya mengisyaratkan itu. Dia berbisik, “Lembu Jati, berputarlah tetapi hindari pertemuan dengan mereka. Mungkin saja Arya Penangsang dapat mengenalimu dari wajah dan bentuk tubuh meski pertemuan kalian begitu singkat.” Usai berpesan demikian, dia bergeser tempat, merangkak turun, kemudian tiarap.
Lembu Jati, petarung yang menghadang Adipati Hadiwijaya di lembah Merbabu, mengangguk. Sejak perkelahian sengit melawan Pangeran Parikesit dan Ki Getas Pendawa di hutan yang terletak di lereng Merbabu, Lembu jati dan Kyai Rontek bersembunyi di Jipang. Kesehatan Lembu Jati berangsur membaik di bawah penanganan langsung oleh Kyai Rontek dan tabib yang dikirim oleh Ki Tumenggung Arya Gunawangsa.
Setelah mengamati selintas keadaan Arya Penangsang dan dua kerabatnya, Lembu Jati bergerak mundur. Dia akan memasuki dusun setelah melewati jalan setapak yang menurun yang memisahkan dua pategalan yang ditumbuhi pohon pisang dan kelapa. Bayangan Lembu Jati seolah menyatu dengan kerapatan dedaunan pohon pisang yang sedang berayun karena tiupan angin. Dia mengayun langkah lebih cepat ketika mendaki, lalu melompati parit kecil kemudian tiba di sudut tikungan.
Beralih pada iring-iringan kecil yang dipimpin Ki Tumenggung Prabasena. Mereka bertiga berpapasan dengan seorang petani yang menyandang cangkul di pundaknya. Suara Ki Tumenggung Prabasena terdengar cukup ramah ketika mengawali pembicaraan.
“Maaf, Ki Sanak. Apakah ada kedai di dalam pedusunan?”
Raut muka petani itu memperlihatkan kebingungan. Mungkin, pikirnya, dia sedang bertemu dengan serombongan orang yang tersasar. “Ada, Bapak. Di dalam dusun kami ada beberapa kedai tetapi tidak terlalu rami dan bagus untuk Bapak-bapak bertiga.”
Arya Penangsang dan Gagak Panji langsung berpaling karena jengah mendengar petani itu menyebut mereka dengan sapaan berwibawa. Ki Tumenggung Prabasena segera menggamit lengan Arya Penangsang yang hendak bergeser menjauh sambil berkata pada petani itu, “Ke arah mana kami harus menempuh?”
“Ke sana,” jawab petani yang tidak terlihat tua meski keriput mulai menghias wajahnya. “Bapak-bapak sekalian berjalan dulu ke timur. Selepas tikungan ke kiri, Bapak-bapak sekalian akan melewati sebuah jembatan bambu. Nah, di tepi kiri jalanan itu ada sebuah kedai.”
“Baiklah, terima kasih. Kami segera ke sana,” kata Ki Tumenggung Prabasena dengan tubuh sedikit membungkuk. Sikap itu kemudian diikuti oleh Arya Penangsang dan Gagak Panji. Selepas kepergian petani yang menjauh dari regol pedusunan, Ki Tumenggung Prabasena memandang dua wajah kerabatnya. Muncul rasa heran dalam hatinya. Kemudian dia berkata, “Aku tidak melihat ada kemewahan tersisa yang menempel pada pakaian kita.”
“Ada apakah, Kakang?” tanya Gagak Panji.
“Petani itu,” kata Ki Tumenggung Prabasena sambil memandang bayangan yang kian jauh dari mereka, “aku cukup terkejut ketika dia menyapa kita dengan sebutan bapak.“
“Apakah mungkin kuda-kuda kita yang membuatnya bersikap seperti itu?” Gagak Panji bertanya lagi.
Ki Tumenggung Prabasena bergumam. Sepintas dia melihat pada Arya Penangsang yang tegak mematung dengan tubuh menghadap dusun. Adipati Jipang itu telah berpindah tempat – sedikit masuk ke bagian dalam, di bawah pohon trembesi.
“Mari, Kakang,” ajak Gagak Panji pada Ki Tumenggung Prabasena agar mendekati tempat Arya Penangsang. Mereka berdiri berkeliling, berunding sebentar dan sepertinya mereka tidak cepat berlalu dari bawah naungan rindang pohon trembesi. Masing-masing mengutarakan pendapat bila mencurigai keganjilan yang tampak di permukaan.
“Dusun ini sangat wajar bila terlihat sepi dari lalu lalang orang,” ucap Arya Penangsang. “Kita berkuda cukup jauh jika diukur dari tepi jalan sebelum tikungan.”
Tanpa mengabaikan adanya bahaya yang mungkin sudah mengancam, mereka sedang mempertimbangkan untuk bermalam. Cuaca yang beranjak buruk menjadi pertimbangan Awan gelap bergerak perlahan menuju mereka. Angin membawa berita bahwa hujan sedang turun pada sebuah tempat yang tidak jauh dari Tumpangkerep.
Pada kesempatan itu, menurut Ki Tumenggung Prabasena, suasana sunyi dusun Tumpangkerep benar-benar dapat menipu pandangan mata. Walau hanya sekilas memandang, tetapi Ki Tumenggung Prabasena dapat menangkap gerakan kecil di balik gerumbul tanaman jagung yang berada di sisi kanan jalan utama. Tempat mereka berbincang yang sedikit menjorok ke bagian dalam memang sangat tepat untuk dijadikan sasaran lembing dan panah. Begitu terbuka dan agak lapang. Dalam pikirannya, sebenarnya cukup wajar bila seseorang menempatkan sekelompok orang berkeahlian khusus di tempat sesunyi Tumpangkerep. Dan, apabila dihubungkan dengan perbuatan jahat yang menimpa Raden Trenggana, dengan sedikit berlebihan, seorang perwira pasti menyatakan setuju bahwa Tumpangkerep dapat dijadikan tempat yang sangat baik untuk bersiasat, serang lalu sembunyi.
Arya Penangsang serta Gagak Panji seperti sepakat bahwa mereka akan menunggu perintah saudara tua mereka, Ki Tumenggung Prabasena. Mereka berdua mengerti dan tidak merasa harus diucapkan bahwa mereka menempati kedudukan yang sangat baik sebagai sasaran dan perhatian orang. Cukup berbahaya, tetapi sudah pasti ; tergantung perintah Ki Tumenggung Prabasena!
Pandang selidik Gagak Panji lantas terungkap. Katanya, “Langkah kaki petani tadi tidak menggambarkan sebagai petani tulen. Caranya menjejakkan kaki dan mengayun lengan tidak mengelabui mata bahwa itu adalah sepasang lengan yang terlatih.”
Arya Penangsang bergumam, lalu menyahut, “Saya kira itu penilaian yang terlalu jauh, Kakang. Bukankah setiap petani adalah orang yang merangkap pekerjaan sebagai pengawal atau penjaga desa?
Gagak Panji mengangguk sambil mendesis, “Benar, dan untuk sementara, yang membedakan hanyalah benda yang berada di tangan mereka.”
“Begini,” sela Ki Tumenggung Prabasena kemudian, “aku pikir ini adalah keadaan genting. Genting tidak dalam arti kita sedang terancam bahaya, tetapi keadaan di kotaraja. Kita berpacu waktu agar secepatnya tiba di sana. Bila kita bermalam, maka itu adalah pilihan yang sangat buruk. Kita cukup mengambil tempat untuk berteduh supaya kuda-kuda pun dapat memulihkan diri. Mungkin saja kita dapat mengabaikan hujan ataupun badai di tengah perjalanan. Tetapi, dengan duduk barang sejenak di sebuah kedai, aku pikir kita dapat berharap sesuatu yang lebih dari yang kita pikirkan.”
Gagak Panji dan Arya Penangsang mengangguk setuju.
Lanjut Ki Tumenggung Prabasena, mengamati Dusun Tumpangkerep bukan tanggung jawab utama mereka. Namun, bila bertemu dengan keberuntungan, berita sandi dapat dikirimkan melalui gardu-gardu prajurit yang berada di perbatasan.
Tetapi Gagak Panji, di dalam ruang pikirannya, keberatan dengan keterlibatan para prajurit. Dia lebih cenderung untuk menggunakan tenaga dari padepokan-padepokan yang pernah disinggahinya di masa lalu. Dia telah mengirim Semambung ke Demak tanpa sepengetahuan Ki Tumenggung Prabasena maupun Arya Penangsang. Di dalam pesannya secara khusus, Semambung diperintahkannya untuk membuka kembali hubungan yang lelap setelah bertahun-tahun. Hanya saja, dalam perundingan itu, Gagak Panji menghindari perbantahan langsung dengan Ki Prabasena. Lantas, Gagak Panji berkata, “Penikaman itu mungkin sudah menyebar dan diketahui orang-orang atau kelompok tertentu.” Dia berpaling pada Arya Penangsang, ajaknya, “Jadi, saya kira kita dapat memanfaatkan sedikit waktu untuk menggali kemungkinan – bila ada – yang dapat terbaca di sini.”
“Baiklah,” sahut Arya Penangsang. “Marilah. Kakang Tumenggung, silahkan di depan.”
Demikianlah, mereka bertiga mengikuti petunjuk yang diberikan oleh petani yang berjumpa dengan mereka di dekat gerbang masuk Tumpangkerep. Mereka melenggang santai tetapi penuh kewaspadaan. Panggraita mereka mengatakan bahwa belasan pasang mata sedang mengawasi dari balik dinding-dinding bambu. Namun, sekali lagi, mereka tidak akan membiarkan diri terpancing lalu berupaya menemui bekel atau jagabaya dusun.
Dalam waktu itu, Lembu Jati menunjukkan kemampuannya sebagai anggota sandi yang mumpuni. Dia cukup cerdas dalam menjaga jarak. Oleh karena itu, Lembu Jati sempat mengumpat dalam hati ketika melihat pergerakan pelan di bidang tanah yang ditumbuhi tanaman jagung. Namun demikian, dia berharap pada sekelompok petarung untuk tidak membuat keberisikan lebih lama. Dan tampaknya Lembu Jati sangat yakin harapannya segera terjawab. Setelah merasa cukup untuk mengintai, Lembu Jati bergerak lebih cepat menuju kedai terdekat. Dia mengambil lorong kecil sedikit melengkung dan terlindung oleh banyak tanaman yang tersebar di pekarangan belakang rumah penduduk dusun.