Swandaru mengingat baik-baik sebuah nama, Ki Ajar Mawanti. Orang inilah yang menjadi bahan perbincangan untuk sementara waktu ketika peperangan di Lemah Cengkar telah usai. Empu Wisanata mengatakan bahwa musuhnya telah melepaskan diri. Dengan jujur dan terbuka, Empu Wisanata mengakui kegagalannya menahan Ki Ajar Mawanti.
Di tengah-tengah perkelahian yang berlangsung sengit, rasa heran merayap cepat di dalam hati Swandaru. Menurut Empu WIsanata, sebenarnya Ki Ajar Mawanti sudah kedodoran dan kehilangan daya juang sewaktu bertempur dengannya. Tetapi yang dipikirkan Swandaru dalam perang tandingnya, mungkinkah Ki Ajar Mawanti mampu meningkatkan kemampuan sedemikian cepat? Hanya saja, Swandaru tidak mempunyai banyak waktu untuk memikirkan hal itu. Getaran tenaga Ki Ajar Mawanti terus menekan pertahanannya. Hempasan angin terasa begitu perih menyetuh kulitnya. Udara sakti yang memancar dari ilmu Ki Ajar Mawanti seakan-akan telah mengepung Swandaru dari segala penjuru.
Benar, Swandaru sungguh-sungguh kerepotan dengan daya gedor musuhnya yang semakin lama terasa semakin menyesakkan dada dan seperti benda hidup yang menyumbat pernapasannya. “Gila! Ilmu apakah ini?” Swandaru bertanya geram di dalam hatinya. Ia juga menduga, apakah ada perubahan pada daya tahannya? Ada kejanggalan mengenai hal itu, pikir Swandaru. Maka Swandaru benar-benar harus memperhitungkan takaran kemampuan sebelum membentur secara langsung sepasang tangan Ki Ajar Mawanti.
Sejumlah pengawal pedukuhan yang mengiringinya tidak ada yang berani mendekat. Desis tajam yang keluar sebagai akibat tenaga sakti Ki Ajar Mawanti yang terungkap terasa menyakitkan telinga. Lepasan ilmu musuh Swandaru seolah berubah menjadi penjaga jarak sehingga para pengawal pedukuhan sempat berpikir untuk memberitahukan perkelahian itu pada Pangeran Purbaya. Lagi-lagi, mereka mengurungkan niat karena pesan Swandaru yang melarang bertindak di luar perintahnya. Itu adalah keadaan yang menyulitkan pengawal pedukuhan.
Mereka bertukar pandang, kemudian salah seorang dari pengawal berkata, “Kita diperintahkan untuk membakar gardu kecil kemudian menjaga api agar tidak merembet ke tempat lain.”
“Lalu?” potong pengawal lain yang berusia lebih muda.
“Lalu kita menunggu,” kata pengawal yang mengingatkan mereka pada perintah Swandaru.
“Menunggu? Itu saja?” pengawal muda itu bertanya lagi.
“Benar,” jawab pengawal pertama, “bukankah kita telah berkumpul di sini? Sedangkan kita tahu, jika kalian belum sadar, bahwa berkerumun di sini sambil menyaksikan perang tanding sudah jelas tindakan yang salah. Bagaimana jika pedukuhan dibobol dari tempat lain?”
Mereka segera ingat bahwa meronda pedukuhan adalah tugas utama. Sekejap kemudian angan-angan mereka membayangkan serbuan orang-orang berwatak liar kemudian menyulut api di pedukuhan seperti mereka membakar Jati Anom. Jantung mereka berdegup kencang. Pertarungan hidup dan mati yang melibatkan Swandaru sudah tentu bukan peristiwa yang dapat ditinggalkan. Bagaimana jika Swandaru kalah atau terluka? Tetapi, mereka bulat bersepakat untuk kembali meronda kemudian melakukan pesan Swandaru. Itu adalah cara yang paling masuk akal dibandingkan memukul kentongan dengan nada titir. Suara yang bertalu-talu akan memancing penduduk pedukuhan keluar dari rumah. Jika itu terjadi, maka bencana akan datang dengan wajah yang mengerikan!
Para pengawal segera bergegas. Mereka kembali bertugas sesuai susunan kelompok yang ditentukan oleh Swandaru. Tak lama setelah mereka berpisah, asap dari gardu yang terbakar mulai membubung tinggi.
Dari balik batang pohon ketapang yang cukup besar, kawan Ki Ajar Mawanti dapat melihat keberadaan pengawal pedukuhan. Ia sudah menduga bahwa Swandaru tidak datang atau meronda sendirian, oleh karenanya, lelaki itu mencari cara dalam pikirannya untuk memisahkan Swandaru dari para pengawal. Itu dapat membantu Ki Ajar Mawanti lebih cepat menghabisi Swandaru. Dia bergerak cepat, menyusup di antara semak-semak, mengambil jalan memutar dan berencana untuk mengejutkan pengawal dengan serangan kilat. Namun, ia harus mengurungkan niat ketika melihat para pengawal berpisah dengan cara berkelompok. Meski demikian, ia tidak segera menghentikan langkah. Perlahan-lahan ia membuntuti dua pengawal yang bergerak ke bagian utara. Sejenak kemudian, ia bertanya di dalam pikirannya ; apakah ia tetap meneruskan serangan mengejutkan pada satu kelompok atau bagaimana? Itu keadaan yang sulit jika memaksakan diri untuk memburu mangsa yang berkelompok meski berjumlah sedikit. Sudah jelas bahwa kemampuannya dapat mengatasi dua orang pengawal, tetapi apakah ia juga harus memburu kawanan domba yang lain?
Dari tempat lain yang agak jauh yang tidak terlihat oleh pandangan matanya, kepul asap telah mencapai ketinggian yang cukup untuk dapat dilihat dari Karang Dawa.
Lelaki itu belum melihatnya hingga penciumannya tersapa angin yang mengayunkan aroma sangit kayu terbakar. Bola mata kawan Ki Ajar Mawanti bergerak-gerak, mencari sumber kebakaran. Kemudian ia menengadahkan wajah. Dilihatnya asap tebal mengepul dan melayang tinggi. Pikirannya meronta, mengingatkan bahwa Ki Ajar Mawanti sedang menyabung nyawa melawan Swandaru. “Jika asap dapat terlihat oleh pemimpin perang Sangkal Putung, itu adalah pertanda buruk.”
Pertarungan dahsyat yang mengikat Swandaru berlangsung semakin ganas. Kulit Swandaru terlihat lecet karena sayatan yang ditimbulkan angin tajam yang bersumber dari ilmu KI Ajar Mawanti. Swandaru terlihat masih berusaha mempertahankan keseimbangan melalui perkelahian tangan kosong.
Harga diri Swandaru begitu tinggi sehingga merasa malu pada dirinya jika harus menggunakan senjata. Ia sudah terlampau jauh untuk meloloskan cambuk lalu menggunakannya dalam perkelahian. Swandaru memutuskan akan menyelesaikan perkelahiannya tanpa senjata. Ia tidak dapat mundur dari tekadnya. Dalam waktu itu, Swandaru kembali menyadari kesalahan langkahnya. Ketika mereka meloncat surut dan berjarak agak jauh, Swandaru teringat bahwa daya tahannya mulai melemah akibat ramuan yang disodorkan oleh Nyi Gandung Jati setiap malam. Raden Atmandaru berhasil melumpuhkan sebagian besar kekuatan dan ilmu yang tersimpan dalam diri Swandaru melalui ramuan Ki Sekar Tawang dan belah dada Nyi Gandung Jati. Andaikan pada saat itu segala keterampilan cambuk yang pernah dipelajarinya terpaksa dikeluarkan, maka itu adalah jurus-jurus yang tiada guna. Permainan cambuk Swandaru akan terlihat seperti kebut cemeti bocah-bocah penggembala yang bermain-main di padang rumput Gondang Wates. Memalukan! Geram Swandaru pada dirinya. Berloncatan menghindar, menggulingkan tubuh sambil sekali-kali melakukan serangan balasan menjadi jalan yang dapat diperbuatnya untuk menghindarkan rasa malu di depan Ki Ajar Mawanti.
Walaupun dapat mengatasi rasa perih yang mengoyak daya tahan, tetapi ia memang harus mengakui bahwa Ki Ajar Mawanti benar-benar telah berkembang di luar dugaan. Swandaru mengerti bahwa ia hanya harus tetap bersikap tenang. Kehebatan lawan bukan kengerian yang tidak dapat dilawan. Maka, sambil tetap bertumpu pada kecepatan dan tata gerak yang rumit, Swandaru berusaha bangkit lalu melawan dengan sangat gigih.
Di bawah deraan rasa sakit yang cukup menganggu, Swandaru sedikit banyak mulai dapat membaca perkembangan dari unsur-unsur gerakan lawan. Swandaru sungguh-sungguh mengubah cara bertempurnya. Ia lebih berani memotong langkah lawan dengan tidak harus selalu membenturkan tenaga.
Ki Ajar Mawanti juga sadar bahwa Swandaru bukanlah lawan yang mudah menyerah. Melihat perubahan yang dilakukan Swandaru, Ki Ajar Mawanti membuat penyesuaian. Seiring dengan meningkatnya perlawanan Swandaru, Ki Ajar Mawanti pun kerap membuat gerakan yang tidak terduga. Serangannya menjadi lebih sulit diperkirakan. Kadang-kadang ia menyerang Swandaru dengan melontarkan pukulan jarak jauh, lalu tiba-tiba mendekat sambil membuka peluang untuk membenturkan ilmu. Ki Ajar Mawanti tahu bahwa Swandaru akan menghindari sentuhan langsung dengannya, maka ia memanfaatkan itu untuk menyudutkan Swandaru.
Dengan perubahan-perubahan yang semakin sering dilakukan Ki Ajar Mawanti, maka sabetan angin pukulannya semakin cepat membuat lubang pada pertahanan Swandaru. Murid kedua Kiai Gringsing ini kembali berada di bawah tekanan. Meski ia dapat menghindar dengan lompatan panjang, tetapi tak jarang juga terpelanting. Namun, begitu tangan atau kakinya menyentuh tanah, Swandaru segera melejit bangkit. Yang masih membuatnya sulit melepaskan diri adalah lawannya, Ki Ajar Mawanti, yang berhasil mencapai lapisan yang melampaui perkiraan orang-orang yang pernah menjadi lawannya. Dalam keadaan begitu, Swandaru menimbang ulang untuk menggunakan cambuknya. Sulit dan memang sangat sulit bagi Swandaru untuk bertahan tanpa senjata.
Sekali waktu terdengar udara mendesis tajam, Ki Ajar Mawanti meningkatkan ilmu selapis lebih tinggi demi mempersempit ruang gerak Swandaru. Dalam banyak keadaan sepanjang waktu perkelahian, kecepatan Swandaru menjadi kelebihan yang sulit diabaikan. Kemampuan itulah yang membuat Ki Ajar Mawanti segera mengalihkan sasaran serangan. Sebenarnya mereka berdua sama-sama sering melakukan gerakan yang tidak terduga. Mereka sama-sama mempunyai kemampuan untuk membuat perhitungan yang terukur berdasarkan pengalaman menjalani perang tanding dari gelanggang ke gelanggang perang. Seandainya mereka melangsungkan perang tanding dalam keadaan wajar, tentu perkelahian itu akan menjadi pertarungan yang pantas dikenang. Namun demikian, ramuan jahat yang dibuat oleh Ki Sekar Tawang telah membuat perbedaan. Kecerdikan Raden Atmandaru yang ditunjang wawasan luas Ki Sekar Tawang , secara pasti, dapat melemahkan kekuatan Swandaru dari bagian dalam. Ini dapat menjadi awal bencana bagi Swandaru.
Matahari tetap memancarkan panas yang seimbang ketika perang tanding itu mulai memperlihatkan ketimpangan. Para pengawal, andaikan saja, tetap bertahan di tempat itu maka mereka akan menyaksikan dengan jantung berdebar-debar! Mereka akan menjadi saksi tumbangnya Swandaru Geni yang berilmu tinggi dan pilih tanding. Keadaan Swandaru menjadi gawat bersamaan dengan kemauannya untuk membangkitkan pusat ilmu yang masih lelap. Semakin ia menancapkan tekad untuk mengerahkan kemampuan lebih tinggi, maka semakin kuat perlawanan yang ditimbulkan oleh ramuan jahat Penglihatan Swandaru kadang berkunang-kunang. Lututnya bergetar seakan-akan tidak sanggup lagi menopang berat tubuhnya. Bagian dalam dada dan pusarnya terasa seperti dipilin sangat kuat oleh tenaga sakti yang tidak terlihat.
Dalam kegelisahannya yang merambat ke puncak, Swandaru kian berkurang daya tahannya. Udara sekitarnya terasa lebih panas dan semakin panas seiring dengan meningkatnya tenaga cadangan Ki Ajar Mawanti. Swandaru tidak lagi berharap ada keajaiban yang datang menyelamatkannya. Ia semakin dalam membenamkan diri bersama rasa bersalah pada Pandan Wangi. Swandaru tidak lagi dapat merasakan udara panas yang menyelimuti gelangggang perkelahian. Yang dirasakannya adalah tikaman rasa bersalah yang menjadi-jadi karena tidak mempunyai lagi kesempatan untuk memperbaiki hubungan dengan Pandan Wangi.
Kegarangan Swandaru yang melekat bersamanya selama bertahun-tahun telah musnah seketika oleh kepasrahannya yang mendalam. “Aku tidak mempunyai waktu dan kesempatan lagi,” bisik Swandaru dalam hati.
Mendadak muncul seseorang dari selatan.
“Marilah, Kiai. Bersama-sama kita buang nyawa Swandaru!” seru teman Ki Ajar Mawanti dari arah samping Swandaru yang sedang terhuyung ketika menghindari serangan musuh.
“Oh!” sahut Ki Ajar Mawanti. Ia meloncat surut lalu mengedarkan pandangan sepintas sewaktu temannya menghujani Swandaru dengan serangan-serangan berbahaya. “Di mana kawanan wedhus itu sekarang?”
Dengan tujuan menghancurkan jiwani Swandaru, lelaki bertubuh gempal menjawab, “Terkapar.”
Swandaru bergumam sambil menekan perasaannya agar tidak semakin hancur dengan jawaban musuh yang baru datang. Untuk menghempaskannya, Swandaru berseru, “Ra duwe isin!”
Lelaki yang baru datang itu menyahut, “Tidak perlu ada rasa malu untuk orang bengis sepertimu. Bagaimana dengan keadaanmu ketika mencincang Gandu Demung yang sudah terbunuh di tanganmu? Di mana cambuk yang kau gunakan saat itu, Swandaru?”
Swandaru bergeming. Tiba-tiba terbit penyesalan yang segera menyapu seluruh ruang di dalam hatinya. Swandaru tidak menyahut. Ia membeku.
“Kematian Gandu Demung sudah lama berlalu. Ketika aku mendengar kejadian itu, aku mulai menghimpun tekad hingga mempunyai kemampuan untuk menutup usiamu. Sekarang, keluarkan, aku ingin menjajal kemampuanmu memainkan cambuk.”
“Siapa dirimu, Ki Sanak?” Swandaru bertanya dengan nada tajam.
“Kau tidak perlu tahu karena Gandu Demung pun tidak tahu bahwa tubuhnya tercincang habis olehmu.” Seketika lelaki itu menutup ucapannya, lalu menyerang Swandaru dengan kain panjang yang dibentuk sedemikian rupa hingga mirip dengan cambuk yang menjadi senjata kebanggaan Swandaru.
Ki Ajar tersenyum mendengarnya. Dari paras wajahnya, tampak Ki Ajar Mawanti benar-benar menikmati kegelisahan Swandaru yang semakin terhimpit oleh ucapan dan serangan kawannya. Ki Ajar Mawanti menarik napas panjang, membuat persiapan sebelum menggebrak Swandaru dengan serangan pamungkas. “Andai kau tidak keras kepala dengan tetap memilih Pandan Wangi, sebenarnya kami sudah menyiapkan tempat khusus untukmu di Alas Krapyak.” Ki Ajar Mawanti bergeser tempat lalu berkata lagi, “Seandainya kau memperlakukan Gandu Demung dengan rasa hormat.”
Swandaru menggeram tapi tiba-tiba sepasang kakinya bergetar. Bumi menderum seperti kawah gunung ketika mengeluarkan lumpur panas. Dalam waktu itu, lelaki gempal yang merahasiakan namanya menyerang dengan lecutan yang menghantam permukaan tanah. Bersamaan dengan itu, Ki Ajar Mawanti turun tangan, mengitari lingkaran dengan pusaran tenaga yang terlihat bagaikan badai yang mendekat, meluncur tanpa halangan, semakin dekat dan segera melilit wadag Swandaru Geni. Tidak diragukan lagi bahwa serangan Ki Ajar Mawanti berdua benar-benar sangat dahsyat. Seandainya ada sebaris pasukan berkuda, mereka pasti terpelanting dan berhamburan tanpa pernah dapat mengulang susunan barisan! Swandaru berusaha mengangkat lutut untuk menggeser tubuhnya sedikit lebih surut, dan itu adalah tata gerak yang menguntungkan untuk bertahan. Namun ujung selendang itu mendadak berubah arah! Mematuk mata kaki Swandaru yang terangkat lalu menebas datar betis yang sedang melayang. Perkelahian nyaris selesai apabila Swandaru terjengkang lalu roboh tanpa gerakan lagi.
Sekalipun terpental, Swandaru masih dapat bangkit. Berikutnya, ia merendahkan tubuh sambil menahan akibat pukulan yang seakan-akan telah meremukkan tulang kakinya. Daya tahan Swandaru, meski telah berkurang, memang luar biasa. Ia dapat mengatasi rasa sakit tetapi gerakannya semakin melemah. Dalam keadaan yang gawat, Swandaru membesarkan hati dengan kalimat yang ditujukan pada dirinya sendiri. “Apakah aku akan mati hari ini? Biarlah karena aku tidak mati sebagai pengecut dan pengkhianat. Dengan itu, aku masih dapat berbangga di depan wajah Guru.”
Dengan sisa tenaga yang ada, Swandaru mengumandangkan pekik perang. Murid Kiai Gringsing itu menerjang lelaki bertubuh gempal dan mengabaikan Ki Ajar Mawanti yang sudah bersiap melepaskan udara tajam yang sanggup menembus lambungnya.
Di luar dugaan, Pangeran Purbaya mendadak berkelebat seolah terbang, mendahului Swandaru, menghempas dua pengikut Raden Atmandaru dengan terjangan yang sangat hebat! Bahkan, udara yang terbelah oleh kecepatannya pun sanggup menahan Swandaru yang hendak melaju. Ini adalah unjuk ilmu yang sedemikian tinggi dan di luar jangkauan nalar!
Barangkali kedatangan Pangeran Purbaya adalah keajaiban yang tidak diharapkan oleh Swandaru. Perasaannya bercampur aduk, namun begitu, Swandaru berusaha untuk tenang. Meski tidak menyangsikan kehebatan Pangeran Purbaya, tetapi Swandaru belum mengetahui kedalaman ilmu yang tersimpan dalam diri kawan Ki Ajar Mawanti. Dalam waktu itu, Swandaru berada dalam ayunan kebimbangan baru. Apakah ia harus mundur dan membiarkan Pangeran Purbaya bertarung seorang diri atau mengambil seseorang untuk menjadi lawan?