“Nah, sekarang Pangeran Trenggana menggunakan kekerasan agar kita mengakuinya. Lalu? Kita bersikap seolah menyetujuinya dan takluk padanya. Sementara Kakang telah mengosongkan kekuatan di setiap kadipaten agar tidak ada darah dan nyawa yang sia-sia,” Ki Tumenggung Prabasena melanjutkan lagi, “dan itu berarti kita semua akan berkumpul di Panarukan untuk memintanya mengembalikan kekuasaan pada keturunan Raden Kikin.”
“Jika ia menolak?” tanya Ki Arya Senguruh.
“Kita jadikan ia sebagai tawanan. Dan memaksa seluruh wilayah Demak Bintara menobatkan Arya Penangsang sebagai raja,” jawab Pangeran Parikesit.
Waktu demi waktu merambat hingga tak terasa telah bergulir semusim panen sejak pembicaraan di Wirasaba. Dalam suatu pertemuan di kraton Demak, Pangeran Trenggana lantang berkata, “Demak telah kehilangan wibawa dan kedaulatannya saat banyak wilayah di daerah timur melepaskan diri.” Mata Pangeran Trenggana bersinar kilat melihat orang-orang yang duduk di hadapannya. Para senapati dari seluruh tingkatan prajurit berkumpul dalam satu ruangan saat itu.
Kemudian dengan penuh semangat ia melanjutkan, “Pasuruan, Surabaya, Wirasaba hingga lereng Penanggungan telah kembali mengakui kekuasaan Demak sebagai penerus Majapahit. Dan sekarang ini, aku katakan pada kalian bahwa Panarukan adalah pintu permulaan menuju Blambangan.” Pesan-pesan kemudian ia sampaikan secara menyeluruh. Tak lama kemudian ia membubarkan pertemuan agung yang dihadiri semua pemimpin prajurit dari berbagai tingkatan.
Selang beberapa hari kemudian.
Menjelang senja di sebuah rumah, seorang senapati bertanya pada kerabatnya yang datang dari lembah Sungai Brantas, “Bagaimana kita dapat mengakui kekuasaan mereka? Sementara raja mereka tidak mendapatkan pengesahan dari kita semua.”
“Kakang Arya Dipa, tentu saja ia akan melakukan usaha untuk menundukkan saudara-saudara kita di wilayah timur. Dalam dugaanku, raja ini membutuhkan pengakuan sebagai penerus kekuasaan leluhur kita,” kerabatnya berkata-kata dengan tegas dan penuh keyakinan.
“Lalu, apakah yang akan kau rencanakan?” tanya Senapati Arya Dipa.
“Seperti yang pernah dikatakan oleh Paman Parikesit ketika kita semua bertemu di Tuban. Tentu kau masih ingat pertemuan tiga atau empat purnama yang telah lewat,” kata Gagak Panji mengingatkan.
“Tentu saja,” berkata Arya Dipa.
“Aku akan mengadakan lawatan ke timur. Akan aku katakan apa-apa yang Kakang katakan padaku saat ini. Sementara itu, mungkin aku akan meminta para adipati untuk mengumpulkan kekuatan di Panarukan,” Gagak Panji menjawab lalu mengurai rencananya dengan singkat. Berulang kali dahi Arya Dipa berkerut karena berpikir keras untuk mengerti kerumitan rencana Gagak Panji. Meski begitu ia mengakui ketajaman nalar Gagak Panji.
Keesokan harinya rencana itu dijabarkan lebih dalam oleh Gagak Panji. Ia berkuda beriringan dengan Arya Dipa mengitari barak pasukan Demak yang dipimpin Arya Dipa. Tidak ada seorangpun yang menaruh kecurigaan atas kehadiran Gagak Panji, meskipun para petugas sandi memberikan keterangan yang berlainan.
Kemudian Arya Dipa menghentikan kudanya lalu bertanya, “Dan bilakah kau akan berangkat ke timur?”
“Saat matahari mulai tergelincir, aku akan keluar dari kotaraja,” jawab Gagak Panji kemudian, “dua orang prajuritmu akan turut serta sebagai pendamping dan tanda agar dapat keluar dari wilayah Demak dengan aman.”
“Baiklah, rencana itu harus mendapatkan kajian ulang bila kau telah tiba di Tuban,” Arya Dipa berkata pada kerabatnya itu.
Seperti yang telah direncanakan oleh Gagak Panji, mereka berkuda pelan meninggalkan Demak menuju ke arah timur. Angin laut kencang menerpa tubuh mereka. Setapak demi setapak mereka semakin menjauhi Demak. Matahari semakin tenggelam hingga tampak separuh dari wujudnya seperti hilang dalam lautan. Untuk beberapa saat mereka berdiam diri terpaku diatas punggung kuda masing-masing. Sesekali dua orang prajurit bawahan Ki Tumenggung Arya Dipa saling berpandangan tanpa berkata-kata, sementara Ki Rangga Gagak Panji seolah berada di sebuah dunia yang berbeda. Ia seperti tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Walau demikian, Gagak Panji sebenarnya sedang merenungkan tentang kemungkinan yang akan dia hadapi bila telah bertemu dengan Adipati Tuban.
Tiba-tiba ia menarik kekang kudanya, lalu katanya, ”Kita berhenti di tempat ini.” Gagak Panji melompat turun dan menuntun kudanya ke sebuah pohon siwalan. Ia mengikat kudanya di sana lalu berbaring di atas hamparan pasir.
Dua orang prajurit Demak kemudian mengikutinya, lalu kata salah seorang dari mereka, ”Senapati, aku akan berburu makanan.”