Dalam perjalanan pulang, Agung Sedayu nyaris melepaskan kemarahannya melalui sorot matanya yang terkenal dahsyat. Hampir setiap benda yang dilihatnya menjadi sasaran kemarahan Agung Sedayu. Ia menjadi merasa marah karena perbuatan kelompok Ki Garu Wesi benar-benar berada di luar nalar yang wajar. Ia memacu kuda sangat cepat. Jalanan yang sebenarnya ramai orang yang sedang berkerumun membenahi akibat dari kerusuhan pun seolah lengang dihadapannya. Namun orang-orang Menoreh telah menduga bahwa Agung Sedayu tentu mempunyai alasan sangat kuat.
Mereka yang berada di halaman hanya melihat Agung Sedayu yang melintas cepat. Agung Sedayu tidak mempunyai dugaan bahwa rumahnya akan menjadi sasaran. Agung Sedayu memang tidak pernah mempunyai pemikiran buruk tentang suatu hal. Ia akan memandang segala sesuatu dari sudut pandang yang baik dan masuk akal. Ia selalu mencoba menolak setiap dugaan buruk yang singgah dalam hatinya. Namun kenyataan telah terjadi, ia tidak dapat mencegah Ki Garu Wesi datang menghancurkan rumahnya. Kewajibannya sebagai orang Menoreh yang bertanggung jawab atas keselamatan banyak orang mendapat tempat lebih berat dalam hatinya.
Dalam perkiraannya, Agung Sedayu sudah menduga bahwa orang-orang akan dapat menjadi korban karena Ki Garu Wesi datang beserta banyak orang. Tetapi pasar yang terbakar, rumah-rumah serta banjar yang dilahap api memang berada di luar perkiraannya semula. Menurut Agung Sedayu, kejahatan yang dilakukan oleh Ki Garu Wesi dan pengikutnya telah melampaui batas kemanusiaan. Mereka bahkan lebih kejam dari sekumpulan prajurit yang kelaparan.
“Aku telah berusaha menyelamatkan banyak orang dari kemungkinan terburuk,“ berkata Agung Sedayu dalam hatinya.
Kemudian ia teringat tentang Sangkal Putung. Swandaru telah membawa kitab itu keluar dari Tanah Perdikan beberapa bulan yang lalu. Dan memang sebenarnya waktu itu menjadi giliran Agung Sedayu untuk mempelajari kitab peninggalan gurunya.
“Swandaru harus segera diberi peringatan,” desis Agung Sedayu. Ia merasa sedikit kesal pada dirinya yang lengah membaca perkembangan.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu merenung di atas punggung kuda yang melaju cepat. Ia benar-benar merasa dalam pilihan yang sulit dan sama-sama mengundang kesuraman. Terasa sulit baginya untuk menentukan pilihan. Ia sebenarnya tidak dapat membiarkan rumahnya hancur seperti yang dikatakan pengawal, namun ia sendiri juga bertanggung jawab atas keselamatan orang banyak. Baik sebagai seorang pemimpin pasukan khusus maupun sebagai bagian dari keluarga besar Menoreh. Tanah yang telah dihuninya bertahun-tahun tentu saja tidak akan dibiarkannya menjadi hancur lebur karena ulah Ki Garu Wesi.
Meskipun ia telah mengupayakan yang terbaik namun setiap rencana dan upaya dapat saja menjadi gagal. Agung Sedayu sepenuhnya sadar tentang hal itu. Namun ia sedang merasa gelisah terhadap Swandanu. Ketinggian ilmu Ki Tunggul Pitu yang ternyata tidak mudah dikalahkan, kemudian ditambah dengan keganasan siasat Ki Garu Wesi menjadikan Agung Sedayu berada dalam keadaan yang sulit.
“Tentu saja Swandaru akan sangat sulit mengalahkan Ki Tunggul Pitu,” desis Agung Sedayu dalam hatinya. Apalagi bila Ki Jayaraga benar-benar menghadapi lawan yang sangat kuat, tentu saja ketenangan Sangkal Putung akan terkoyak seperti yang baru saja terjadi di Tanah Perdikan. Setelah menyaksikan sendiri kerusuhan di Menoreh, Agung Sedayu sedikit menyangsikan kekuatan para pengawal Kademangan Sangkal Putung. Keganasan para pengikut Ki Garu Wesi mampu mengoyak rasa aman yang selama ini menetap dalam perasaan Agung Sedayu.
Sementara itu, jantung Agung Sedayu berdentang semakin cepat ketika ia semakin dekat dengan tempat tinggalnya. Derap kaki kuda yang ia tunggangi terdengar jelas oleh Ki Gede Menoreh yang menoleh ke arah kedatangan Agung Sedayu.
“Apakah kalian dapat melihat jelas penunggang kuda itu?” bertanya Ki Gede pada pengawal yang berada didekatnya. Pengawal yang ditanya lalu menjawabnya dengan gelengan kepala. Kemudian Ki Gede terdengar bergumam sendiri,”Agung Sedayu!”
Jantung Agung Sedayu seakan berhenti berdetak ketika ia melihat seluruh bangunan rumahnya telah rata dengan tanah. Tidak terlihat adanya tiang penyanggah yang masih berdiri tegak. Ketika itu perasaan Agung Sedayu berkecamuk amarah yang menggelora seperti badai yang ganas. Rahang Agung Sedayu nampak mengeras dan tanpa ia sadari pandang mata Agung Sedayu terpancang pada satu titik yang masih terus bergerak. Ia seperti tidak melihat kehadiran Ki Gede dan beberapa pengawal yang berdiri di luar halaman rumah.