Terdiam Nyi Humalang mendengar pertanyaan suaminya. Walau mempunyai perkiraan sendiri namun ia tidak ingin menjadi penyebab keguncangan dalam hati suaminya. Nyi Humalang mengerti bahwa keadaan Pajang akan dapat diamati dan dikembangkan jika suaminya dapat bekerja dengan tenang. Maka dengan begitu, Nyi Humalang tidak memberi tahu suaminya tentang berita yang didengarnya dari para pelayan dan prajurit yang biasa melayaninya. Termasuk ketika dua orang asing itu mendapat kesempatan untuk berbincang dengannya. Dalam kesempatan yang jarang terjadi, Nyi Humalang juga merasa perlu untuk mengumpulkan bahan-bahan yang sekiranya dapat digunakan suaminya untuk menjaga keamanan wilayah Pajang.
Nyi Humalang menggelengkan kepala. Dengan kening berkerut, ia bertanya, ”Kakang, apakah Kakang meminta saya untuk mengirim utusan ke Resi Gajahyana?”
“Benar. Aku tidak dapat memberi keterangan lebih banyak kepadamu. Sementara itu, kau perintahkan seseorang untuk menemui Resi Gajahyana. Suruhlah orang itu untuk bersiaga karena aku tidak ingin ada orang yang mengetahui ada utusan dariku pergi menemui Resi Gajahyana.”
Nyi Humalang menunduk dalam-dalam. Ia seperti merasakan bahwa akan datang arak-arakan mendung tebal menutupi Pajang.
Mereka berdua terdiam untuk beberapa lama.
Ketukan tanpa nada dari daun pintu menghentakkan mereka berdua kembali dari keheningan.
“Siapa?” bertanya Nyi Humalang seraya berjalan mendekati pintu.
“Saya, Nyi. Ki Banyak Abang,” suara tegas dan penuh wibawa menjawab dari sebelah luar.
Nyi Humalang menoleh ke suaminya, untuk sesaat, Bhre Pajang mengangguk lalu memberi tanda bahwa ia ingin berbicara dengan Ki Banyak Abang, hanya berdua.
“Silahkan masuk Ki Banyak Abang,” berkata Nyi Humalang ketika pintu telah lebar terbuka.
Seorang lelaki setengah baya yang bertubuh tegap dan gempal berdiri dengan gagah di hadapannya. Belasan atau puluhan belati kecil tergantung di sekeliling pinggang Ki Banyak Abang. Keriput di wajahnya tidak mengurangi kesan gagah dan menunjukkan sifat pemberaninya sejak masa muda.
Ki Banyak Abang adalah lurah prajurit yang telah bertugas lama di Pajang. Ia telah memasuki dunia keprajurtan sejak Majapahit dipimpin oleh Sri Kertarajasa Jayawardhana. Bhre Pajang mengagumi orang perkasa yang menolak tunduk pada perintah Jayakatwang. Bersama puluhan pajurit yang dipimpinnya, ia mengarungi lereng selatan Gunung Merapi demi menghindari kejaran pasukan Jayakatwang. Ki Banyak Abang merupakan satu dari senapati yang mempunyai peran penting ketika Sri Kertarajasa menjatuhkan perintah untuk merebut Pajang dari tangan Jayakatwang.
Ki Banyak Abang adalah orang tua yang gagah. Ia segera menundukkan kepala ketika dilihatnya Nyi Humalang berdiri di depannya. Ia bergeser setapak ke sebelah kiri, dengan kepala tertunduk dalam, memberi jalan Nyi Humalang untuk keluar dari bilik.
“Ki Banyak Abang tentu menyimpan banyak persoalan yang ingin ditanyakan kepada Bhre Pajang. Bicaralah, aku meminta diri,” berkata Nyi Humalang perlahan dan Ki Banyak Abang sedikit membungkukkan badan.
Beberapa langkah Nyi Humalang menjauhi pintu, Ki Banyak Abang telah melangkah masuk melewati tlundakan. Ia tersenyum dan memberi hormat kepada Bhre Pajang yang telah duduk di atas kursi berwarna sedikit gelap dengan sebatang tombak pendek dalam genggaman. Dengan kening berkerut, ia menatap heran wajah Bhre Pajang yang justru menebarkan senyum lebar. Berbagai macam angan segera memenuhi setiap jengkal dalam benaknya. Karena pada malam itu, ia melihat Bhre Pajang tidak seperti dalam keadaan yang biasa ia ketahui.
Ki Banyak Abang menatap lantai tempatnya berdiri. Berdebar hatinya menunggu yang akan dikatakan oleh Bhre Pajang. Jantungnya berderap cepat seolah ia sedang berhadapan dengan pembunuh terburuk di kolong langit. Ia merasakan jika saja ada orang melihat senyum Bhre Pajang, hampir dapat dipastikan jika orang itu akan bunuh diri. Ki Banyak Abang mengenal baik watak Bhre Pajang, maka Bhre Pajang yang tersenyum dengan tombak pendek yang merunduk telah menjadikannya khawatir.
”Ki Banyak Abang,” kata Bhre Pajang lalu terdiam beberapa lama.
”Apa kesalahan yang telah aku lakukan?” hati Ki Banyak Abang bertanya pada dirinya sendiri. Ia masih berdiri seperti arca penjaga candi.