Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 39

Kematangan dan kecakapan Pangeran Purbaya benar-benar diuji oleh serangan yang menyentak jantung pengawal Gondang Wates dan kebanyakan orang lain.

DI atas permukaan Karang Dawa, dalam sekejap mata, para penunggang kuda yang seluruhnya berpakaian hitam seolah terbang ketika membelah kerumunan perang. Mereka menahan maut di balik senjata yang tergantung di lambung-lambung kuda. Mereka menyimpan maut di ujung tombak dan pedang yang terhunus di tangan mereka. Mereka mencongklang kuda dalam barisan yang terukur meski tidak tampak teratur, dan mereka masih melaju tanpa hambatan!

Pekikan perang menggema dan memenuhi angkasa Karang Dawa, mengalahkan dentang senjata yang beradu serta teriakan kesakitan orang-orang kalah.

Dalam waktu itu, Sukra telah mencapai persimpangan jalan setapak, berhenti sejenak lalu memandang jauh ke belakang. Karang Dawa sudah tidak terlihat. Gema perang semakin mengecil dan kadang-kadang hanyut oleh desau daun-daun yang tertiup angin. Sukra tidak dapat lagi memutar arah. Ia harus terus berjalan sejauh enam puluh tombak ke arah timur, lalu berbelok selatan sampai tiba  di sebuah lereng sempit. Lereng ini cukup tersembunyi dan sulit dijangkau pandangan mata meski seseorang sedang berjalan pelan menyusur jalan setapak di punggung bukit. Di tempat itu, seorang bebahu pedukuhan sedang menantinya untuk menyerahkan seekor kuda milik bekel pedukuhan. Bersama kuda yang tegar, Sukra akan mendatangi tempat Agung Sedayu yang dirawat pada sebuah tempat di tepi wilayah Kadipaten Pajang.

loading...

Pembicaraan singkat kemudian terjadi di antara mereka. Bebahu pedukuhan menanyakan keadaan di Karang Dawa, Sukra kemudian mengatakan, “Kiai tetap pada perintah Nyi Pandan Wangi dan Pangeran Purbaya dalam segala keadaan, apapun itu. Saya segera meninggalkan tempat ini.”

Bebahu itu mengangguk. Mereka tidak banyak bicara setelah percakapan itu. Mereka mengerti, terutama Sukra yang menyadari besarnya bahaya yang menghadangnya di perjalanan. Halangan pertama adalah luka-lukanya masih mengalirkan darah segar. Tidak ada jalan lain baginya selain mengobati dan memulihkan ketahanan sambil terus bergerak. Sekali saja Sukra berhenti sedikit lama, besar kemungkinan para pemberontak atau orang-orang yang berhasrat memanfaatkan kekacauan akan menyergapnya lalu mengambil keuntungan darinya ; memerasnya hingga darah mengering untuk sebuah atau beberapa keterangan. Kelompok itu masih berkeliaran dan gentayangan di jalan-jalan utama yang menghubungkan Tanah Perdikan, Sangkal Putung dan Jati Anom.

Pandang mata sayu dan berat terpancar dari mata bebahu pedukuhan. Namun, ia mengerti akibat dari bahaya sepanjang perjalanan. Mungkin Sukra tidak pernah pulang lagi ke kampung halamannya, Tanah Perdikan Menoreh. Bisa juga Sukra menjadi tawanan kelompok makar yang sedang menunjukkan taring dan seringai berdarah di Sangkal Putung dan Jati Anom. Dengan dada bergetar, bebahu itu melepas Sukra yang telah berniat bulat mengambil semua akibat, bahkan yang terburuk sekali pun!

Bayangan Sukra berangsur menghilang seiring dengan cahaya matahari yang mulai condong perlahan-lahan. Anak muda ini tidak punya pilihan selain harus terus berjalan. Melandaskan perjalanan pada gambar-gambar  yang diterimanya dari Ki Patih Mandaraka, Sukra menempuh jalan tersembunyi agar dapat beristirahat dan bersembunyi. Demikianlah Sukra menempuh jalan bahaya mewujudkan pertemuannya dengan Agung Sedayu.

Sementara, yang masih berlangsung di kedalaman Pedukuhan Gondang Wates adalah pertempuran Pangeran Purbaya yang sengit. Sejak para penunggang kuda melabrak keras, lalu memasuki medan perang, Pangeran Purbaya mendadak terhempas dalam keadaan yang sulit. Perhatiannya terganggu. Pangeran Purbaya telah banyak menyerap laporan-laporan petugas sandi, bahwa salah satu tujuan pemberontak adalah menguasai Sangkal Putung, disusul Jati Anom lalu Tanah Perdikan Menoreh. Itu bukan rencana gila karena tiga tempat itu adalah tanah yang subur dan seringkali menjadi pertahanan akhir ketika paceklik tiba. Tiga wilayah yang dapat disebut sebagai lumbung terbaik Mataram. Berapa banyak orang yang akan kelaparan bila tiga tempat itu dalam penguasaan musuh?

Mau tidak mau, pikiran Pangeran Purbaya mulai terganggu. Kecakapannya menyusun siasat dan kematangannya menanggapi perkembangan perang dari waktu ke waktu seolah menguap. Benar, serbuan pasukan berkuda Raden Atmandaru sungguh-sungguh mengubah keseimbangan. Pasukan yang dipimpin Ki Sor Dondong yang mulai terserak, dengan cepat merapatkan barisan, menyusun lagi gelar yang porak poranda karena badai yang dilemparkan Pandan Wangi dan pasukannya. Namun demikian, Pangeran Purbaya tetaplah menjadi petarung yang tidak mudah dtundukkan. Ki Ajar Mawanti dan kawannya belum mampu benar-benar mendesaknya. Begitu pula yang dihadapi Pangeran Purbaya. Ia seperti mendapat lawan yang sepadan dengan kemampuannya. Perkelahian yang sangat sengit. Sungguh, tidak mudah bagi seseorang untuk melupakan pertarungan yang sangat rumit dan luar biasa itu!

Ki Ajar Mawanti kemudian merasa bahwa Pangeran Purbaya bukan lawan yang harus dihadapinya. Putra Panembahan Senapatiitu tidak termasuk dalam urutan yang disampaikan Raden Atmandaru padanya. Maka ia lantang berkata, “Aku kira sudah cukup pertemuan dan latihan kita hari ini, Pangeran. Aku tidak mempunyai urusan dan tidak sedang berurusan denganmu. Biarlah kawanku seorang yang menguji kemampuanmu yang dikabarkan cukup tinggi.” Buat apa ia berlama-lama memutar udara dengan Pangeran Purbaya? Ia mempunyai tujuan yang dapat disertakan dalam rencana makar Raden Atmandaru. Tanpa sepengetahuan orang yang mengaku mempunyai hubungan dengan Gandu Demung, Ki Ajar Mawanti kerap terlibat dalam persiapan-persiapan rinci dengan tujuan akhir ; habisi Panembahan Hanykrawati.

Orang yang pernah melawan Empu Wisanata itu berpikir, tidak ada salah dan keliru dengan rencananya untuk menunggangi kepentingan Raden Atmandaru. Kabar bahwa Ki Hariman telah mencuri Kitab Kiai Gringsing dari rumah Agung Sedayu telah tersebar. Kasak kusuk yang belum tentu dapat dipercaya oleh sebagian orang, tetapi Ki Ajar Mawanti cukup sekali membuat pertaruhan : bila benar, ia adalah orang yang beruntung. Bila salah, ia pun tetap mendapatkan pangkat dan harta dari tenaga yang dicadangkan olehnya demi kepentingan Raden Atmandaru. Meski demikian, orang yang berupaya membalas dendam pada Swandaru bukan termasuk orang yang mudah gagal paham membaca perkembangan. Maka, mereka berdua saling mengerti, bahwa mereka adalah teman yang berada di dalam kapal yang sama dengan tujuan akhir yang berbeda. Mereka bukan orang yang mencari bayangan untuk dijadikan sasaran, tetapi mereka adalah pemangsa yang bermata setajam elang.

Kawan Ki Ajar Mawanti lantas tertawa keras. Lalu katanya, “Aku sudah cukup berkeringat melayani cecunguk macam Pangeran Purbaya. Tapi, baiklah, Ki Ajar dapat segera meninggalkan tempat ini.” Usai berkata dengan nada menghina, orang ini meningkatkan serangan. Debu-debu berterbangan. Permukaan tanah berguncang, menghentak batu-batu kecil setiap kali sepasang kakinya bergantian menjejak tanah.

“Dapatkah kau bertahan, Pangeran?” tanya orang itu dengan wajah dingin. Sepasang lengannya menyambar Pangeran Purbaya dengan angin pukulan yang terdengar seperti napas berat seseorang yang terluka.

Ki Ajar Mawanti mengerti bahwa kawannya sedang membuka jalan baginya untuk meninggalkan gelanggang perkelahian. Kesempatan yang tidak disia-siakan olehnya. Sambil tertawa nyaring, Ki Ajar Mawanti melesat sangat cepat, menjauh dari lingkar perkelahian Pangeran Purbaya yang begitu dahsyat. Bayangannya berkelebat seperti sedang menuju medan perang yang lebih besar, Karang Dawa.

Perkembangan itu begitu cepat! Pangeran Purbaya sama sekali tidak menduga. Bahkan, sekejap pun ia tidak pernah membayangkan keadaan sangat cepat berbalik. Namun, ketenangan dan pengalamannya segera meredam guncangan dalam hatinya. Selagi berkelit menghindari serangan kawan Ki Ajar Mawanti, tumit Pangeran Purbaya terbang mengarah pada pelipis lawan. Maka, musuhnya segera berganti arah, menjauh beberapa langkah darinya. Namun ia tidak berhenti karena segera melontarkan serangan jarakjauh memaui tata gerak yang mengagumkan! Sekali lagi, ini adalah pertukaran tenaga cadangan yang dilontarkan dari jarak kurang dari sepuluh langkah. Belum terjadi benturan ketika perkelahian ajaib itu dimulai, tetapi setiap kali berselisihan sangat dekat, maka pusaran-pusaran angin pun bermunculan seperti putaran air di permukaan sungai yang dipenuhi bebatuan besar.

Gesekan tenaga sakti kerap terjadi dengan kekuatan yang sanggup menggeser bebatuan seukuran kepala lembu. Sedemikian jauh pertarungan tingkat tinggi itu berlangsung, namun keseimbangan masih dapat dijaga masing-masing orang.

“Aku kira sudah waktunya bagiku untuk turun!” tiba-tiba lawan Pangeran Purbaya berseru lalu meloncat jauh.

Pangeran Purbaya memicingkan mata. Bertanya-tanya dalam hatinya mengenai maksud lawannya itu. Apa yang dimaksudkannya?

“Aku akan turun menjemput nyawa Swandaru, Pangeran. Begitu cah gemblung itu mati, aku akan kembali ke tempat ini. Jadi, tunggulah aku di sini. Kita segera bermain-main lagi,” ucap orang itu dengan nada olok-olok yang menebar rasa ngeri. Menjemput nyawa Swandaru itu berarti ia akan berbuat serupa dengan Ki Ajar Mawanti ; meninggalkan gelanggang demi perburuan yang lebih besar!

Percakapan searah yang bernada mengerikan itu berlangsung santai tapi sangat singkat. Sekelebat kemudian, lawan Pangeran Purbaya melesat menuju tempat Swandaru. Tubuhnya bergerak seolah terbang.

Dalam benak Pangeran Purbaya, musuh mereka adalah sekelompok orang yang tidak akan berbelas kasih sekalipun mereka menangis dengan penyesalan. Tangisan mereka adalah racun yang dapat membinasakan seluruh tanaman di Kademangan Sangkal Putung. Sekejap mata berikutnya, Pangeran Purbaya mengejar lelaki itu dengan kecepatan yang tidak kalah hebat. Namun lawannya begitu cerdik. Ia berlari dengan cara silang menyilang jalur, walau demikian, kecepatannya tetap saja mampu memperpendek waktu tempuh.

Titik kecil, punggung orang asing itu, masih terlihat oleh Pangeran Purbaya. Namun, tiba-tiba, menghilang. Pangeran Purbaya menyadari bahwa ia kehilangan buruan dan itu tentu tidak menenangkan hatinya. Swandaru terancam bahaya. Murid Kiai Gringsing itu tidak mungkin dapat melawan kesaktian orang yang sedang memburunya untuk balas dendam atas kematian Gandu Demung. Sekalipun Swandaru dibantu oleh belasan atau puluhan pengawal, musuhnya bukan lawan yang dapat dikalahkan dengan kelebihan jumlah. Setibanya di belakang Swandaru, belasan langkah dari gerbang pertahanan Gondang Wates, Pangeran Purbaya mengerutkan kening. Apakah sedang terjadi sesuatu di sekitar Swandaru?

Beberapa orang terlihat sedang mengelilingi menantu Ki Gede Menoreh, tetapi tidak ada tanda-tanda yang dapat dijadikan patokan bahwa Swandaru sedang dalam bahaya. Tidak, mereka berbincang-bincang dengan wajah penuh kesungguhan. Pangeran Purbaya belum memutuskan, apakah perlu ia menampakkan diri? Saudara Panembahan Hanykrawati ini menimbang sedikit lama karena orang-orang itu hanya tampak dari bagian punggung dengan pakaian yang tidak menarik perhatian. Mungkin saja ada Untara di sana, mungkin Ki WIdura atau Ki Gede Menoreh. Tetapi, bagaimana jika mereka justru para sekutu Raden Atmandaru yang berusaha menggerus lagi keyakinan Swandaru? demikian jalan pikiran Pangeran Purbaya.

Kesabaran Pangeran Purbaya memunculkan hasil. Seseorang dari kerumunan kemudian berbalik badan, seketika terlihatlah kancing khusus yang biasa dikenakan oleh pemimpin satuan dalam laskar keprajuritan Mataram. “Ki Demang Brumbung,” ucap Pangeran Purbaya dengan desis yang mengesankan kelegaan dalam hatinya. Namun, Pangeran Purbaya tidak tergesa-gesa memperlihatkan keberadaannya. Justru ia berjalan menyamping, perlahan memutar melewati bagian yang terdekat dengan medan perang. Dengan demikian, sekali pandang dapat mengamati perkembangan pertempuran sambil menyusun rencana cadangan.

Pergerakan asing di balik lebat tanaman singkong dapat diketahui Ki Demang Brumbung. Senapati berpangkat rangga itu perlahan-lahan beranjak setelah memberi tanda khusus pada  Swandaru dan tiga orang lainnya. Ia melangkah seolah-olah hendak mengawasi jalannya peperangan. Setelah merasa cukup mendapatkan perlindungan dari rimbun tanaman, seketika Ki Demang Brumbung menyamakan langkah dan arah yang ditempuh Pangeran Purbaya. Rangga yang bernalar tajam ini segera dapat memperkirakan tujuan Pangeran Purbaya. Ki Demang Brumbung sangat mengenal daerah Gondang Wates. Kehadiran Ki Demang Brumbung – yang belum pulih dari luka-luka perkelahian di Slumpring – karena masukkan dari Ki Patih Mandaraka. Patih Mataram ini memandang perlu mengirim duta ngrampungi di wilayah Sangkal Putung karena Ki Tumenggung Untara tidak diperkenankan meninggalkan Jati Anom.

“Jika lawan mengetahui Ki Untara pergi ke Gondang Wates, maka benteng terkuat kita di lereng selatan Merapi akan jatuh ke tangan mereka,” demikian kata Ki Patih Mandaraka sewaktu menemui Panembahan Hanyrawati.

Pada waktu itu, dua orang yang sama-sama berkepandaian tinggi itu sudah berada dalam kedudukan yang dekat. Ki Demang Brumbung segera memotong jalan Pangeran Purbaya. Meski terperanjat karena tidak menyangka orang yang diincarnya adalah Pangeran Purbaya, Ki Demang Brumbung cepat menguasai diri, membungkukkan tubuh sambil sedikit berbisik, “Pangeran.” Ki Demang Brumbung, dengan sikap sopan dan mulia, kemudian menyerahkan selembar kain kecil yang terlipat rapi pada Pangeran Purbaya.

Pangeran Purbaya menerimanya sambil tersenyum lalu mengangkat dua bahu Ki Demang Brumbung sambil berkata, “Bangkitlah, keadaan sudah sedemikian genting.” Sekejap kemudian, Pangeran Purbaya mengurai pengikat kain lantas membaca isinya dengan kening berkerut. Terdengar napas panjang kemudian.

Oleh sebab Pangeran Purbaya tidak menggerakkan kaki untuk melangkah, Ki Demang Brumbung mendapatkan kesan bahwa sesuatu yang penting akan disampaikan padanya. Hanya saja, Ki Demang Brumbung merasa bahwa tidak mungkin baginya untuk mendahului Pangeran Purbaya dengan pertanyaan.

Seakan tahu arah pikiran Ki Demang Brumbung, sejenak Pangeran Purbaya memandangnya, kemudian berkata, “Aku tidak dapat memerintah Ki Demang supaya turun langsung ke medan perang meski keadaan di sana membutuhkan kehadiran senapati.  Aku kira Pandan Wangi sudah cukup untuk menghadang laju lawan walaupun itu akan menjadi lebih terjal karena kedatangan pasukan berkuda lawan. Tapi, Ki Demang dapat memancing keluar panglima utama mereka.”

“Apakah ada nama yang dapat disebutkan, Pangeran?”

Pangeran Purbaya menggeleng, kemudian menjawab lirih, “Itu adalah salah satu kelebihan lawan. Hingga sekarang, aku belum mendapatkan nama. Pasukan lawan pun tidak terdengar menyebutkan nama. Lebih buruk lagi, kita belum sanggup membongkar rencana keji yang mengintai Panembahan Hanykrawati. Sejauh ini, kita hanya mendengar dan mendengar orang berbisik-bisik.”

Sesaat suasana menjadi sunyi. Pangeran Purbaya kemudian memecahnya dengan berkata, “Ki Demang harus memutar karena mendekati kedudukan Nyi Pandan Wangi sudah jelas akan membingungkan pasukan kita sendiri. Berkuda menyisir tepi lingkaran perang dengan pengawalan salah seorang dari penjaga regol.”

Ki Demang Brumbung menyimak sederet perintah dari Pangeran Purbaya dengan sikap sempurnya. Raut wajah dan sorot matanya begitu tenang, dan sama sekali tidak menggambarkan kekhawatiran pada luka-luka di tubuhnya.

Mereka kemudian bergerak cepat, melintasi pagar tanaman yang menjadi pembatas Karang Dawa dan daerah pemukiman. Dalam waktu singkat, Pangeran Purbaya dan Ki Demang Brumbung telah sampai di depan regol pedukuhan.

“Ambil dua ekor kuda. Satu orang dari kalian harus menyertai Ki Demang Brumbung.” Kemudian Pangeran Purbaya menerangkan bahwa pendamping Ki Demang Brumbung tidak perlu melibatkan diri dalam pertempuran, tugasnya hanya membuka jalan dan menghindarkan kemungkinan terjadi salah paham. “Kalian tidak diperintahkan untuk menyerang meski dihadang salah satu lawan. Itu akan membuang waktu,” lanjut Pangeran Purbaya. Pada Ki Demang Brumbung, kemudian ia berpesan, “Ki Demang pun tidak mendapat perkenan dari saya untuk pergi ke perkampungan orang mati. Bila panglima mereka gagal diseret keluar, Ki Demang cukup menyerukan kematiannya pada banyak orang. Yang terjadi di depan kita adalah perang yang menentukan, maka, bukan suatu kejahatan bila kita berbohong, Ini adalah siasat yang mungkin tidak akan ada lagi rencana susulan setelah perintah ini.”

Dengan tubuh tegak berdiri sambil memandang arah peperangan, Pangeran Purbaya bersikap agung lalu berkata, “Nah, Ki Demang dapat pergi. Aku akan mengatakan pertemuan ini pada Swandaru dan yang lainnya.”

“Saya, Pangeran.”

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

3 comments

Iyus 06/08/2022 at 06:00

salam Rahayu mas, maaf mau tanya lanjutan kitab kiai Gringsing geger alas Krapyak 40 ada tidak ya ?!, terimakasih salam

Reply
Yono 07/08/2022 at 10:49

kelanjutanya yg 40 mana Ki ?

Reply
Fibriata Cucup 07/08/2022 at 12:10

Kelanjutannya gimana ya ki??? Saya tunggu…

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.