Suara Agung Sedayu benar-benar terasa seperti menjadi tenaga penggerak yang sangat kuat dan segera bergolak di dalam dada Kinasih. Di dalam pikirannya, gadis ini tersentuh ingatan bahwa dia tidak pernah merasa canggung sejak Agung Sedayu masuk dalam hidupnya. Seharusnya tidak demikian, seharusnya memang tidak begitu karena kehadiran orang asing selalu saja menimbulkan rasa canggung untuk perkenalan pada masa-masa awal. Bersama perasaannya, Kinasih terkejut meski itu menjadi kejutan yang datang terlambat. Namun, batinnya, apa yang dapat dia lakukan? Bersikap seakan-akan menjadi kaku untuk pertemuan-pertemuan berikutnya? Oh, betapa janggal. “Lagipula tidak ada waktu untuk berpura-pura. Aku sudah menghanyutkan diri ke dalam rancangan Ki Patih. Bisa jadi, pada saat-saat ke depan, aku terluka atau terbunuh. Konyol, ini luapan rasa yang benar-benar konyol,” kata Kinasih pada dirinya dalam hati.
Suasana di seputar alun-alun semakin sepi. Orang-orang yang berlalu lalang menjadi kian jarang. Sedikit bakul-bakul yang masih ada pun tampak mulai berkemas. Senandung binatang-binatang malam terasa seperti mencekam bagi orang-orang yang sedang memperjuangkan satu kepentingan, yaitu tahta Mataram. Mereka sedang menunggu di balik tabir kegelapan dan hanyut oleh pikiran masing-masing serta gambaran-gambaran tentang yang bakal terjadi kemudian.
Di bagian utara alun-alun, dari lorong kecil yang menjadi jalan masuk ke sebuah pedukuhan, tampak sekitar tiga kumpulan orang yang mempunyai kegiatan berbeda. Beberapa langkah dari tepi jalan kecil, beberapa orang terlihat sedang mengerjakan sesuatu. Di samping mereka, ada lembing, anak panah serta pedang yang disandarkan pada luar dinding gubuk kecil yang diterangi oncor. Berjalan belasan langkah dari kumpulan senjata, ada tiga orang yang duduk berpencaran sambil memandang kaki langit seperti sedang menunggu suatu tanda. Pada sisi timur, sejumlah kecil orang tampak berbincang sungguh-sungguh dan bersuara cukup pelan.
Kesan yang terasa kuat dari tempat itu adalah mereka seperti sedang merencanakan sesuatu. Namun tidak ada dentang besi yang ditempa, tidak pula ada ringkik kuda atau lenguh lembu sehingga kesepian menjadi puncak yang mencekam dan menegangkan meski mereka berjumlah belasan orang.
“Tidak ada seorang pun dari kita yang mengetahui perkembangan di Kepatihan,” ucap seseorang berikat kepala lurik sambil memandang wajah tegas yang berada di depannya.
“Ini menjadi perkembangan yang tidak terduga,” kata pemilik wajah tegas yang mengenakan kain gelap itu sambil mengerutkan kening.
Seorang lagi yang duduk bersimpuh di samping orang berwajah tegas itu berkata, “Orang kita yang berada di dalam Kepatihan hanya melaporkan ada orang asing yang datang, lalu tinggal beberapa hari di dalam gedung utama Kepatihan. Siapakah dia? Masih gelap hingga malam ini.”
“Panembahan,” kata orang berikat kepala lurik, “kita sudah beberapa malam berada di tempat ini.” Lalu ia membiarkan ucapannya tidak berlanjut dengan nada menggantung.
Orang disebut Panembahan berpaling padanya, lalu berkata, “Bagaimana kita dapat mencapai kursi Mas Jolang bila hanya berdiam diri di tempat ini? Apakah kau akan bertanya seperti itu, Ki Hariman?”
“Saya, Panembahan,” ucap Ki hariman kemudian, “saya rasa kita sudah cukup banyak membuang waktu dengan berdiam diri seperti ini. Panembahan dan Ki Sekar Tawang masih dapat berjalan-jalan ke tengah kota, berada di tengah keramaian orang, dan bicara dengan sejumlah orang. Itu adalah keadaan yang berbeda dengan yang kami rasakan di sini.”
“Kyai,” kata Raden Atmandaru, “saya kira tidak ada orang rela menunggu demi sesuatu yang tidak bakal terwujud. Kyai sudah mengetahui kegagalan kita di Tanah Perdikan dan Sangkal Putung, lalu apakah kita akan mengulanginya di kotaraja? Atas alasan itulah, untuk sebuah keberhasilan, saya pikir kita memang sebaiknya harus dapat lebih lama menunggu. Hujan akan turun ketika musim kemarau sudah menarik diri dari peredaran. Sepanjang waktu itu, apakah butiran-butiran air akan memaksa diri membasahi permukaan tanah?”
Ki Hariman memalingkan muka, memandang ke arah lain,. Sejenak kemudian, ia berkata, “Jika demikian, saya pikir kita harus membuat perapian yang dapat memancing perhatian pengembara yang berjalan liar.”
“Aku tidak dapat menangkap maksudmu, Kyai,” ucap Raden Atmandaru.
Sambil menatap tajam Ki Sekar Tawang yang membeku dalam tabir gelap, Ki Hariman berkata, “Kyai dapat membantuku menerangkan itu pada Panembahan.”
Ki Sekar Tawang menggeleng. “Api dapat mengingatkan orang-orang Mataram pada dua kejadian yang terjadi dalam waktu berdekatan. Aku kira itu bukan usulan yang tepat dijalankan pada saat-saat seperti ini.”
Raden Atmandaru terlihat memijat alis, lalu memejamkan mata, kemudian berkata, “Kita sedang mempersiapkan jaring atau gardu-gardu pengamanan sepanjang jalur menuju Alas Krapyak. Burung-burung segera terbang menjauh, pelanduk dan kelinci akan bersembunyi lalu hutan akan riuh dengan suara-suara yang sama sekali tidak enak untuk didengarkan.”
“Tapi para pengecut akan menampakkan diri, Tuan.” Suara Ki Hariman terdengar cukup tajam.
“Itulah, Kyai…Itulah yang aku kehendaki,” tegas Raden Atmandaru dengan mata masih terpejam. “Tidak cukup banyak tempat untuk bersembunyi di Kepatihan dan Kraton Mataram. Orang-orang yang dikatakan pengecut adalah pembela di sisi mereka, kita tidak boleh mengabaikan penilaian itu.”
Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Ki Hariman tampak seperti sedang mengolah sesuatu di dalam pikirannya. Demikian pula Ki Sekar Tawang.
Dapatkan bumbu pecel sedap di sini
“Ki Juru Martani adalah rubah tua yang belum luntur kecerdasannya. Ditambah kehadiran perempuan tua yang mempunyai kemampuan mematahkan serangan Ki Panji Secamerti serta pendukungnya,” kata Raden Atmandaru membelah keheningan. “Itu adalah perkembangan yang benar-benar di luar perkiraan kita semua. Aku pikir kita harus mengakui kelalaian kita dengan mengabaikan tangan tua dari Pajang.”
“Panembahan mengenal perempuan itu?” tanya Ki Sekar Tawang.
Raden Atmandaru mengangguk dalam-dalam. Setelah menarik napas panjang, katanya, “Ketika aku mendengarkan jalannya perkelahian di jalanan yang menghubungkan Kepatihan dan Kraton Mataram, maka perempuan itu tidak lain dan tidak bukan adalah salah satu putri Panembahan Senapati. Perempuan yang dapat dianggap bibiku sendiri. Hanya satu anak perempuan yang menguasai gelar perang maupun kanuragan.”
“Panembahan,” kata Ki Hariman, “saya ingin mengatakan yang sebenarnya pada waktu ini pada Anda.”
Raden Atmandaru membuat tanda dengan tangannya.
“Saya melihat dan dapat merasakan bahwa Panembahan seperti mempunyai kebencian yang cukup dalam pada Raden Mas Jolang. Oh, memang benar, itu bukan dan tidak pernah menjadi sesuatu yang bakal menyusahkan saya. Saya terputus dengan hubungan keluarga Panembahan. Hanya saja, ada satu pemikiran yang cukup menganggu selama ini.”
Raden Atmandaru mengangguk, sedangkan Ki Sekar Tawang memandang tajam pada Ki Hariman.
“Ketika orang kepercayaan Panembahan datang ke padepokan, saya sudah katakan bahwa saya tidak akan terlibat dalam carut marut sengketa tahta Mataram,” ucap Ki Hariman dengan garis muka yang menunjukkan kesungguhan. Lanjutnya dengan nada tinggi, “Dan yang Anda janjikan bahwa ada gelanggang untuk beradu tanding, ternyata, selama ini hanya berupa ucapan-ucapan yang mudah tersaput angin malam. Anda memanfaatkan saya secara terang-terangan!”