Bunija yang melihat pergerakan kilat itu merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Hampir saja dia melupakan tugas utamanya karena terguncang dengan kecepatan para penyusup.
Kyai Bagaswara menyentuh pundak Bunija sambil berkata, “Siapkan para pengawal. Aku akan masuk dari belakang.” Belum rapat Kyai Bagaswara mengatupkan bibir, tubuhnya tiba-tiba seperti menghilang dari pandangan Bunija.
Bunija kembali terpana! Butuh waktu beberapa saat untuk sadar lalu menguasai diri. Pengawal ini lantas menyeberangi jalan lalu mengarahkan langkah ke bagian depan rumah Ki Demang.
Pergerakan Bunija dapat dilihat oleh para pengawal yang berjaga di luar kediaman Ki Demang. Mereka segera bergerak, menyelinap masuk dari bagian depan, melompati dinding pendek, lalu bersiap dari tempat tersembunyi tapi sudah ditentukan oleh Pandan Wangi.
Mengenal Sorgum – Warisan Leluhur yang Terlupakan
Pada bagian halaman belakang rumah Ki Demang, di dalam bangunan yang sudah dibersihkan oleh para pengawal, Sekar Mirah membuka mata lebar. Sekar Mirah tetaplah Sekar Mirah meski begitu lama tidak berlatih tapi pendengarannya yang tajam belum jauh berkurang. Desir halus langkah-langkah para penyusup terdengar olehnya. Sejenak kemudian dia berdebar-debar. Apakah akan muncul serangan yang ditujukan pada dirinya? Naluri Sekar Mirah segera membawa tangannya mendekap erat putri Agung Sedayu. Mereka berhenti, Sekar Mirah menduga.
Keadaan diri setelah persalinan tidak mengizinkannya untuk melakukan pekerjaan keras seperti bertarung untuk mempertahankan diri. Namun itu bukan alasan untuk menyerahkan segalanya pada keadaan. Benar, Pandan Wangi telah menyusun penjagaan yang sangat ketat tapi setidaknya ada sesuatu yang dapat diperbuat, pikir Sekar Mirah. Segeralah perempuan kuat ini mematikan pelita kecil dari kejauhan lalu memikirkan sesuatu. Seketika gelap gulita pun memeluk erat bagian dalam ruangan dan lingkungan sekitarnya. Demi menunjang seluruh rencana pengamanan, Pandan Wangi memerintahkan agar tidak ada api di seluruh bagian rumah Ki Demang pada malam hari kecuali ruang yang ditempati Sekar Mirah.
“Mirah,” terdengar suara lirih tapi sangat tajam menembus dinding ruang.
Meski sempat tersentak, Sekar Mirah dapat meredakan gejolak perasaan. Dia pantas terkejut karena sama sekali tidak mendengar sedikit pun suara kedatangan Kyai Bagaswara! Sekar Mirah seperti sudah mengenali pemilik suara itu. Murid Ki Sumangkar ini merasa sedikit lega karena Kyai Bagaswara ada di sekitarnya. Terbit pula rasa kagum pada lelaki sepuh yang menolong persalinannya melalui pengetahuan khusus yang mudah dipahami oleh Nyi Kuswari.
“Kyai,” sahut pelan Sekar Mirah.
“Turunlah dari pembaringan tanpa suara,” pesan Kyai Bagaswara. “Keluarlah lalu tunggu mereka di atas lincak.”
Sekar Mirah menarik napas panjang. Sebenarnya itu adalah pekerjaan mudah bagi murid Ki Sumangkar tapi keadaan sedang tidak wajar pada malam itu. Dia harus menata hati terlebih dulu, kemudian membelai putrinya supaya tetap tidur dengan tenang. Gerakan yang mendadak pasti mengejutkan Wangi Sriwedari, jika kemudian pecah tangisnya, lantas apa yang dapat diperbuat oleh dua orang dewasa tersebut? Lengking tangisan pasti mendapatkan perhatian dari para penyusup yang sedang menunggu waktu tepat untuk menyerang.
Segalanya berjalan sesuai harapan hingga Sekar Mirah berdiri di belakang daun pintu yang tertutup rapat. Membuka pintu berarti suara berderit akan memecah kesunyian, pikir Sekar Mirah sambil perlahan menggeser palang pintu dengan tetap mengayun putrinya. Perempuan ini cukup berhati-hati dalam setiap gerakan hingga palang kayu itu benar-benar dapat diletakkan agak jauh dari pintu. Setelah menunggu beberapa saat supaya pintu terbuka sedikit tanpa tarikan, Sekar Mirah memiringkan tubuh agar dapat keluar dari ruangan. Di luar ruangan yang ditempatinya untuk sementara maka yang terlihat hanyalah suasana yang gelap dan sunyi.
Mendadak jantung Sekar Mirah seolah berhenti berdenyut ketika sekelebat bayangan melintas sangat cepat di antara rimbun tanaman.
“Mungkinkah itu adalah Kyai Bagaswara?” tanya Sekar Mirah pada dirinya sendiri. Dia mempersiapkan diri dengan menarik tongkat peninggalan gurunya, Ki Sumangkar, lalu meletakkannya di samping kanan. Meski demikian, Sekar Mirah berpikir baik bahwa Kyai Bagaswara melakukan itu agar dirinya tidak terkejut.
Benarlah dugaan Sekar Mirah bahwa orang yang datang itu adalah Kyai Bagaswara. Lelaki sepuh memandang Sekar Mirah sambil mengangguk, kemudian ibu jarinya mengarah ke suatu tempat – tepat di samping bangunan induk yang berada di depan ruang Sekar Mirah.
Sekar Mirah mengangguk.
Dalam waktu itu, Kyai Bagaswara mempertimbangkan bahwa seandainya ada cara lain untuk menghindarkan bentrokan, tapi mungkinkah? Bukan karena gentar dengan bayangan kekuatan lawan tapi keselamatan bayi Sekar Mirah. Andaikata dia mendapatkan jalan keluar, apakah itu akan menjadi jalan selamat? Sekar Mirah tidak dalam keadaan terbaik untuk terjun dalam perkelahian, pikir Kyai Bagaswara. Sejenak Kyai Bagaswara memperhatikan keadaan dengan seksama.
Mendadak Kyai Bagaswara dan Sekar Mirah mendengar desir suara mendekat. Mereka bertukar pandang lalu sepakat tanpa perlu bicara. Pendengaran tajam mereka lantas memberitahukan bahwa ada lebih dari tiga orang yang sedang mendekati tempat itu. Sulit dinalar ketika dua orang itu sama tahu bahwa ada penyusup yang berkemampuan tinggi.
Kyai Bagaswara merasakan darahnya berdesir lebih cepat. Dia pantas untuk cemas karena kesalahan tangan atau kekeliruan keputusan dapat menyeret putri Agung Sedayu menjadi korban. Menyerang mereka terlebih dulu? Itu bukan jalan terbaik karena sulit bagi Sekar Mirah untuk berkelahi melawan lebih dari dua orang jika satu lengan sedang memondong bayi. Apabila ada sekelompok orang yang terpisah dari laskar induk lalu menyerang secara terpisah, maka besar kemungkinan kemampuan mereka sama dengan pasukan khusus. Kyai Bagaswara merenung sejenak dengan satu pertanyaan ; mungkinkah menunggu dapat menjadi jalan keluar? Meski demikian, dia tetap tampak tenang dengan sikap duduk yang berwibawa. Tentu saja bahasa tubuh itu cukup menenangkan Sekar Mirah.
Serial Baru Dongeng Bumbu Pecel – Arya Kacang Mas
Sementara pada waktu yang sama, pemimpin penyusup yang bernama Ki Garjita sedang menebar pandangan. Keterangan dari orang-orang Ki Garu Wesi seolah tidak sesuai dengan kenyataan yang dilihatnya pada malam itu. Betapa rumah Ki Demang Sangkal Putung sama sekali tidak menunjukkan ada tanda kehidupan. Dia tidak melihat nyala api dari obor maupun oncor, tidak pula ada pelita dari minyak biji jarak. Ke mana mereka pergi? Bagaimana mereka dapat keluar dari tempat ini tanpa diketahui oleh petugas sandi Ki Garu Wesi? Benak Ki Garjita penuh dengan dugaan yang cukup menganggu.
Dengan sedikit saja kekacauan, lanjut Ki Garjita dalam pikirannya, mereka akan keluar dari persembunyian. Tapi, apakah begitu mudah mengalahkan mereka? Menggunakan api sudah barang tentu tidak dapat dijadikan bahan pikiran yang utama karena pasti membutuhkan waktu. Lagipula, bukankah mereka sedang berada di dalam dan sekitar rumah Ki Demang jika ada kebakaran? Itu bukan jalan keluar apabila tiada mangsa tapi justru mereka yang menjadi korban. “Bodoh,” kata orang itu dalam hati. Tak lama kemudian, pendengarannya yang tajam menangkap langkah-langkah kaki yang mengendap-endap di belakangnya. Masih cukup jauh, mungkin baru sampai di halaman depan.
Ki Garjita menggeleng, menarik napas panjang, menenangkan diri lalu berkata dalam hati, “Mereka menyiapkan jebakan. Aku kira sudah tidak ada lagi jalan selain tetap bergerak maju.” Ki Garjita pun terus merayap sambil menyisir setiap jengkal bagian dalam rumah. Demikian pula anak buahnya yang sepertinya mereka tidak menjumpai satu orang pun di dalam atau sekitar halaman samping. Ketika kawanan penyusup mencapai batas akhir penyisiran, semua mata tertuju pada sebuah bangunan mungil yang terpisah dari bangunan induk. Itu bukan pakiwan atau ruang untuk menyimpan hasil panen, pikir kebanyakan penyusup. Mereka memicingkan mata berusaha menajamkan penglihatan demi mencari sesuatu yang mencurigakan di bagian depan bangunan kecil itu.


