“Ia benar-benar licin,” kata Ki Hariman dalam hati.
Di kediaman Ki Gede Menoreh.
Prastawa dan Agung Sedayu terlihat duduk bertiga bersama Ki Gede di beranda belakang rumah Ki Gede. Kemudian,”Bagaimana dengan persiapanmu, Prastawa?”
Prastawa dengan tenang menjawab, ”Saya telah kumpulkan para pemimpin kelompok dan menyampaikan pesan-pesan Kakang Agung Sedayu. Dan menurut saya, rencana Ki Rangga akan menjadi sebuah kejutan besar.”
Ki Gede berpaling pada Agung Sedayu, lalu, ”Apakah kau telah mendapat laporan sebelum datang kemari?”
Agung Sedayu menggeleng. Ia menarik nafas panjang lalu katanya, ”Sebenarnya ada yang menarik untuk direnungkan, Ki Gede.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Ia menunggu Agung Sedayu melanjutkan penuturan. Prastawa pun terlihat menyimpan pertanyaan dalam sorot matanya.
“Saya memberi perintah pada pasukan khusus untuk bersiaga penuh tanpa perlu memperlihatkan ketegangan yang mungkin ada,” kata Agung Sedayu, ”hal yang sama pun telah saya minta untuk dilakukan oleh para pengawal.”
Prastawa mengangguk.
“Namun mereka tidak menunjukkan pergerakan yang nyata,” kata Agung Sedayu, ”mereka seolah berkumpul tanpa ada tujuan yang berarti. Saya menganggap perbuatan mereka merupakan sesuatu yang baru.”
Ki Gede kemudian mempunyai bayangan tentang yang disampaikan Agung Sedayu, namun ia masih membutuhkan pendapat Agung Sedayu.
“Ki Gede,” berkata Agung Sedayu, “kita belum tahu ketinggian ilmu orang-orang yang akan kita hadapi. Sekalipun Ki Garu Wesi pernah mengeluarkan Gelap Ngampar, tetapi ia lakukan untuk mengecilkan hati Sekar Mirah. Kemudian orang-orang yang berada di belakangnya pun sepertinya terdiri dari orang-orang yang telah berpengalaman. Tetapi petugas sandi pasukan khusus memberi laporan yang berbeda.”
“Bagaimana laporan mereka, Kakang?” tanya Prastawa.
“Pengikut Ki Garu Wesi tidak melakukan latihan atau persiapan selama dua atau tiga hari terakhir.” dahi Ki Gede berkerut mendengar Agung Sedayu.
“Dan menurut Kakang, benteng pendem adalah siasat terbaik menghadapi mereka?”
“Menunggu mungkin jalan keluar terbaik bagi kita saat ini,” jawab Agung Sedayu.
“Apabila kita menyerang mereka secara mendadak, bukankah itu dapat melumpuhkan mereka dalam sekejap?” kembali Prastawa bertanya.
“Mereka dapat menuntutku, Prastawa. Mereka dapat berkata pada Mataram atau siapapun apabila mereka telah diserang oleh orang-orang Menoreh hanya karena mereka bermalam beberapa hari,” kata Ki Gede. Kemudian Ki Gede meneruskan, ”Aku tidak mempunyai landasan untuk menyerang mereka.”
Prastawa tidak dapat menahan kesabarannya, lalu ia berkata, ”Mereka telah mendatangi rumah Agung Sedayu dan mengancam akan menyerang Tanah Perdikan. Aku kira itu sudah cukup bagi kita untuk menghukum mereka.”
“Menurutku kata-kata Ki Garu Wesi bukanlah suatu ancaman,” kata Ki Gede Menoreh, ”tetapi bukan berarti kita akan berdiam diri. Kita telah melakukan langkah tepat.”
Prastawa menarik nafas dalam-dalam lalu ia berpaling pada Agung Sedayu. Kata Agung Sedayu, ”Kita sebenarnya berada dalam kesiapan tinggi jika mereka menyerang pada malam ini. Hanya saja Saya mempunyai perasaan buruk mengenai siasat mereka. Jadi malam ini aku akan mendekati perkemahan mereka.”
“Aku turut denganmu,” sahut Prastawa.
Agung Sedayu berkata padanya, ”Keberadaanmu di tengah para pengawal lebih penting. Mereka tidak akan kehilangan kendali apabila kau bersama mereka.”
Prastawa berpaling pada Ki Gede yang kemudian mengangguk padanya. Lalu kata Prastawa, ”Baik. Aku kira pendapatmu ada benarnya.”
Sejenak kemudian, Sukra datang menyusul Agung Sedayu di rumah Ki Gede Menoreh. Tubuhnya semakin tegap dan kokoh. Raut muka Sukra memancarkan semangat untuk mempertahankan tanah kelahirannya dengan perjuangan terbaik.
“Sukra,” berkata Ki Gede, “Aku menaruh harapan padamu. Kau adalah pemimpin para pengawal di masa depan. Jadi aku minta padamu untuk dapat menjaga diri apabila terjadi perubahan suasana. Kau tidak dapat bertindak melampaui apa yang telah diperintahkan Prastawa dan Agung Sedayu padamu.”
Sukra menganggukkan kepala.
“Aku mengerti kau mendapat tugas khusus pada malam ini. Sekalipun kau anggap mereka adalah ancaman tetapi jangan jadikan alasan untuk membenarkan apapun yang menjadi dasar keputusanmu,” Ki Gede berhenti sejenak sambil memandang Sukra yang menundukkan kepala. “Aku mengerti jika kau sering kehilangan kendali lantas kau berbuat dengan keras. Tetapi aku percaya padamu bahwa kau akan selalu mengingat pesan-pesanku,” kata Ki Gede kemudian.