Ketiganya pun berjalan menuju rumah Ki Gede, sementara itu para pengawal Tanah Perdikan mulai berdatangan dan gotong royong membersihkan puing-puing rumah Agung Sedayu. Beberapa di antara mereka mengucapkan kata-kata kasar yang ditujukan pada pengikut Ki Garu Wesi. Namun sebagian yang lain dapat memahaminya. Kang Santa kemudian berkata, ”Kasihan Agung Sedayu. Tidak sepantasnya orang seperti dia mendapat bencana semacam ini.”
“Ini bencana yang disebabkan oleh orang-orang bodoh, Kakang. Kita pernah mengalami hal seperti ini ketika Ki Tambak Wedi mencoba menduduki Tanah Perdikan,” sahut pengawal yang bertubuh kurus.
“Ya, keadaan Tanah Perdikan saat itu justru lebih sulit dibandingkan sekarang, tetapi jika tidak ada Agung Sedayu dan keluarganya mungkin saja keadaan sekarang dapat menjadi lebih buruk,” sahut pengawal yang lain. Sejenak kemudian mereka pun bersahutan mengeluarkan isi hatinya tentang Tanah Perdikan dan Agung Sedayu. Matahari telah condong ke barat ketika para pengawal selesai membersihkan puing-puing rumah. Mereka membersihkan seluruh pekarangan hingga seperti tidak pernah terjadi pertempuran yang melibatkan orang-orang berkepandaian tinggi.
Ki Jayaraga sepenuhnya menyesali keputusannya dengan menunggu kehadiran Ki Garu Wesi memasuki pekarangan rumah Agung Sedayu. Sesampainya di rumah Ki Gede, ia berkata, ”Aku akan mengatakan yang sebenarnya padamu, Ngger. Bagaimanapun juga, aku adalah orang yang bertanggung jawab atas apa yang telah menimpamu.”
“Kiai tidak bersalah. Sebenarnya Ki Garu Wesi dan pengikutnya memang telah merencanakan dan membuat kekacauan di Tanah Perdikan. Sementara aku sendiri telah dikenal sebagai murid tertua Perguruan Orang Bercambuk jadi sudah semestinya mereka akan mengarahkan sasarannya padaku,” sahut Agung Sedayu.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. “Ki Jayaraga, aku kira sudah semestinya kita berhenti untuk membuat satu penyesalan. Bukan berarti aku mengabaikan atas musibah yang dialami keluarga Agung Sedayu dan Tanah Perdikan. Tetapi aku kira yang lebih penting dari apa yang baru saja terjadi adalah mencegah Ki Garu Wesi membuat kehancuran dan kekacauan yang lebih luas,” kata Ki Gede.
Agung Sedayu berpaling pada Ki Gede. Kemudian, ”Akulah yang harus minta maaf atas keputusanku, Ki Gede. Pada saat itu, aku merasa bahwa tidak akan pernah terjadi kerusuhan yang sedemikian parah di Tanah Perdikan. Aku kira mereka akan mengambil sikap dengan berhadapan secara langsung dengan para pengawal dan pasukan khusus. Aku mengabaikan kemungkinan yang dapat saja merambah hak-hak pribadi orang-orang Menoreh.”
Pembicaraan mereka terhenti ketika seorang pembantu Ki Gede datang menghidangkan minuman. Setelah mereka mengambil minuman itu, Agung Sedayu berkata lagi, ”Dan memang benar yang dikatakan Ki Gede, Ki Jayaraga. Aku harus memberi peringatan pada Swandaru. Tentu saja kerusuhan yang terjadi hanya merupakan pengalih perhatian sesungguhnya.”
Ki Jayaraga menatapnya heran. Lalu ia bertanya, ”Apakah kau akan berkata bahwa sebenarnya tujuan utama Ki Garu Wesi adalah Sangkal Putung?”
Dengan kepala mengangguk, Agung Sedayu menjawabnya, ”Kita tidak mengerti jumlah orang-orang yang berilmu tinggi dalam kelompok Ki Garu Wesi. Jadi kemungkinan Sangkal Putung mengalami kerusuhan pada hari ini dapat menjadi kemungkinan yang masuk akal.”
Tiba-tiba ketiga memalingkan wajah menatap keluar pendapa. Kepulan debu membumbung tinggi saat dua orang memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam, ia mengenali salah seorang penunggang kuda itu dengan baik. Ia berkata lirih, ”Sedemikian cepat kabar itu tersiar. Dan Pandan Wangi telah berada di Tanah Perdikan.” Ki Jayaraga dan Agung Sedayu bertukar pandang lalu menganggukkan kepala. Ketiganya lantas berdiri menghadap arah kedatangan Swandaru Geni dan Pandan Wangi.
“Ayah!” tersirat perasaan lega dari teriakan Pandan Wangi ketika melihat Ki Argapati berdiri diapit Ki Jayaraga dan Agung Sedayu. Ia meloncat dari punggung kuda yang berlari cepat saat melintasi regol rumah Ki Gede. Sorot mata bahagia Pandan Wangi terpancar jelas saat ia berada dalam dekapan Ki Gede Menoreh. Sementara Swandaru Geni berlari kecil menghampiri Agung Sedayu.
“Kakang!” Swandaru memegang kedua lengan kakak seperguruannya. Ia melihat Agung Sedayu seakan tidak bertemu dalam waktu yang sangat lama. Setiap jengkal bagian tubuh Agung Sedayu tidak luput dari pandang mata Swandaru. Swandaru merasa seperti bertemu Kiai Gringsing ketika ia beradu pandang dengan Agung Sedayu. Ia menarik nafas lega, lalu kemudian katanya ”Aku harap tidak terjadi peristiwa yang lebih buruk lagi.”
Agung Sedayu menjawab dengan anggukan kepala.
“Adalah karunia Yang Maha Agung melihat kalian berdua dalam keadaan sehat dan telah hadir di Tanah Perdikan,” berkata Ki Jayaraga sambil melihat Swandaru dan pandan Wangi secara bergantian.
“Aku mendengar kekacauan yang terjadi di pedukuhan induk dari seorang pengawal Sangkal Putung yang kebetulan baru saja menengok keluarganya di salah satu pedukuhan Tanah Perdikan. Ia berkata padaku bahwa ia melihat kepulan asap hitam membumbung ke angkasa. Lalu ia menceritakan keadaan yang sempat dijumpainya beberapa saat sebelum ia menaiki rakit menyeberangi Kali Progo,” berkata Swandaru setelah ia mengambil tempat untuk duduk dan secangkir minuman.
Kemudian ia berpaling dan lekat menatap wajah kakak seperguruannya, lalu ia bertanya, ”Apakah Kakang tidak membuat sebuah persiapan untuk mencegah peristiwa itu?”
Pandan Wangi memandang tajam wajah suaminya. Ia merasa segan pada Agung Sedayu karena pertanyaan suaminya dapat menyinggung hati senapati pasukan khusus Mataram itu. Namun ia melihat tidak ada perubahan yang terjadi pada raut muka Agung Sedayu. Sekalipun Agung Sedayu tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang marah dan berduka, namun Pandan Wangi mengakui bahwa Agung Sedayu adalah seseorang yang memiliki ketenangan sangat dalam.
“Kakang!” desis Pandan Wangi sambil menggamit suaminya. Namun Swandaru seperti tidak memperdulikan peringatan istrinya, ia masih menanyai Agung Sedayu yang dianggapnya lalai dalam mengawasi perkembangan.