Kisah Sebelumnya Penaklukan Panarukan
Kejadian berlangsung sangat cepat. Sangat mengejutkan banyak orang yang mengikuti pertemuan agung sejak awal. Siapa yang mengira akhir kehidupan Raden Trenggana?
Kerusuhan meningkat sangat tajam. Perintah memadamkan nyala obor dan sumber cahaya lain digaungkan Wohing Jajag. Wohing Jajag – yang turut hadir dalam perundingan damai antara Demak dan Blambangan – juga mendapat tugas tambahan sebagai kepala jaga kemah orang-orang Wirasaba. Sementara itu, Semambung dan Lembu Ancak bergerak secepat kilat, menempati kedudukan di kemah-kemah yang telah ditentukan oleh Gagak Panji. Mereka menjaga kemah rombongan dari Surabaya dan Tuban.
Bumi perkemahan Panarukan begitu mencekam.
Ilmu-ilmu dahsyat yang jarang terungkap di depan khalayak seolah mendapat tempat dan waktu untuk menunjukkan kehebatan masing-masing.
Angin puting beliung yang berukuran sama dengan tubuh lelaki dewasa tampak berputar-putar di sekitar kemah pasukan Dasa Manah. Terlihat pusaran angin, yang mungkin berjumlah sekitar dua puluh atau lebih, sedang membelit pasukan Dasa Manah yang berada dalam kepungan prajurit Blambangan. Sepasang lengan Mpu Badandan berayun sangat cepat. Ilmu yang dahsyat terungkap darinya seolah-olah mempunyai mata sehingga mampu membedakan orang-orang yang dicurigai yang berada di sekitar Mpu Badandan. Beberapa anak buah Ki Danupati mencoba melawan, tetapi usaha mereka segera pupus. Tenaga mereka terhisap. Tubuh mereka terkurung dalam belit angin yang berpusar dengan kekuatan raksasa. Mpu Badandan tidak membutuhkan waktu lama untuk mengurung semua anggota dari pasukan Dasa Manah. Dalam beberapa kejapan mata, puluhan orang yang mbalelo telah berada di bawah penjagaan ketat prajurit Blambangan. Sungguh, ini cara yang sangat hebat untuk meringkus prajurit yang menjadi anak buah Ki Danupati.
Pada bagian lain, Gending Pamungkas menemui kenyataan pahit. Kemampuannya benar-benar tidak seimbang dengan Ki Tumenggung Prabasena. Bayangan buruk datang padanya. Dia bertarung sambil mengumpati kedangkalannya berpikir. Bila dia mati di tangan lawannya, sesungguhnya itu sedang diharapkan dapat terjadi. Menjadi pesakitan lalu diarak sepanjang perjalanan menuju Demak dengan dakwaan sebagai pengkhianat, itu dirasakan jauh lebih menyakitkan daripada siksaan yang akan diterimanya di dalam ruang berjeruji.
Namun, apakah dia dapat selamat dari terjangan Ki Tumenggung Prabasena yang bertarung dengan kalap?
Meski mempunyai ketenangan yang cukup dan kemapanan jiwani yang tidak dapat dipandang sebelah mata, meski menyimpan perasaan tidak suka pada Raden Trenggana, tetapi hati Ki Tumenggung Prabasena seolah tercabik-cabik oleh kuku hewan pemakan bangkai! Penikaman pada Raden Trenggana terjadi di depan matanya, terjadi ketika dia sedang dalam kewaspadaan dan kesiagaan tinggi. Bagaimana dia dapat membiarkan pembunuh pamannya masih bebas berjalan lenggang kangkung? Tidak. Ki Tumenggung Prabasena tidak akan memberi ketenggangan pada Gending Pamungkas, itu tekadnya.
Pada perkelahiannya melawan Ki Tumenggung Prabasena, Gending Pamungkas sibuk mempertahankan kedudukan agar tidak tertarik oleh kekuatan lawan yang lebih mirip besi sembrani. Tata gerak Gending Pamungkas seperti telah diatur oleh lawannya. Bagaimana mungkin tangan dan kaki Gending Pamungkas berayun mengikuti tata gerak mendasar dari Ki Tumenggung Prabasena? Namun, itulah kenyataan pada malam itu. Setiap kali Gending Pamungkas hendak menggeser setapak surut, Ki Tumenggung Prabasena pasti menggerakkan kakinya pada arah yang berbeda lalu Gending Pamungkas akan terseret pula!
Gending Pamungkas bukan perwira yang berpikir dangkal dan berkemampuan rendah. Perencanaan itu begitu berlangsung singkat. Sepintas, rencananya bersama Ki Danaupati akan menggapai hasil gemilang. Gending Pamungkas telah mengetahui kebiasaan Raden Trenggana di sore hari. Itu diperkuat oleh keterangan yang diperolehnya dari Ki Danupati bahwa Pangeran Tawang Balun dan Mpu Badandan tidak akan hadir di sekitar Raden Trenggana. Begitu pula kebiasaan Gagak Panji dan Ki Tumenggung Prabasena yang dikabarkan kerap meninggalkan Raden Trenggana sendirian bila ada peralihan waktu, menjelang senja. Kenyataan mempunyai rencana lain.
Sebelumnya, Ki Danupati mendorongnya supaya mempunyai keberanian untuk menyimpan harapan yang tinggi, tetapi hentakan ilmu Pangeran Tawang Balun memusnahkannya. Selain itu, ketinggian ilmu yang ada dalam diri Ki Tumenggung Prabasena membuatnya tampak seperti murid terbawah dari sebuah perguruan. Di tengah perkelahiannya itu, Gending Pamungkas menatap jalan hidupnya yang menjadi suram.
Tidak terlihat adanya jalan keluar. Tidak ada pilihan. Gending Pamungkas, dengan mata gelap, mengadakan perlawanan yang tidak terkira. Menguatkan hati dengan keyakinan bahwa kematiannya akan membawa serta sisa usia Raden Trenggana. Gending Pamungkas membekukan diri. Memperkuat landasan geraknya sambil mengerahkan tenaga inti sepenuh kekuatan. Dia akan membiarkan tubuhnya terseret karena peningkatan daya yang dilakukan Ki Tumenggung Prabasena. Setelah berada dalam jarak serangnya, Gending Pamungkas akan menghantam sekuat daya. Dengan begitu, harapannya, lawan akan mengurai daya hisap lalu kedudukan dapat berimbang. Setidaknya dapat digunakannya untuk mengatur pernapasan, demikian pikir Gending Pamungkas.
Ki Tumenggung Prabasena bergeming. Dia tahu bahwa kurang dari beberapa saat lagi akan terjadi benturan kekuatan. Dia tidak menghindar. Ki Tumenggung Prabasena tidak akan mengelak dari serangan lawan. Dua tangannya bergetar. Sepasang kakinya menopang tubuh begitu kuat, sekuat karang yang dihantam badai Laut Jawa.
Mendadak sekelebat bayangan bergerak cepat, mendahului gerakan tangan Ki Tumenggung Prabasena ketika hendak memukul pelipis Gending Pamungkas.
“Dia milikku!” seru bayangan itu sambil meluncur sangat cepat, lalu berdiri tegak berhadapan dengan Ki Tumenggung Prabasena.
“Adi Penangsang?” seru Ki Tumenggung Prabasena.
Kelonggaran itu tidak mengurangi laju serangan Gending Pamungkas. Meski untuk sekejap pergeseran tubuhnya terhenti, tetapi dia tidak lagi memandang Ki Tumenggung Prabasena sebagai sasaran. Bahkan, kemunculan Arya Penangsang dianggapnya sebagai jalan keluar!
Dari dua tangannya keluar tenaga sakti yang setara dengan runtuhnya bebatuan ratusan kati dari puncak bukit. Arya Penangsang dapat merasakan sambaran pukulan yang akan mendera bagian punggungnya. Adipati Jipang itu sama sekali tidak menunjukkan gelagat terkejut atau gelisah. Arya Penangsang cukup tenang ketika memutar tubuh, menyambut hantaman Gending Pamungkas dengan telapak kanan terbuka. Tiba-tiba lutut Arya Penangsang merendah, menyusupkan tangan kiri pada bagian lambung Gending Pamungkas yang terbuka.
Arya Penangsang tidak memberi kesempatan pada kerabatnya untuk bertanya dirinya yang tiba-tiba datang. Tangan kirinya telah menyentuh sasaran. Arya Penangsang menghentak kaki. Dia bergerak maju dan pukulan telak dilayangkannya pada bagian wajah Gending Pamungkas. Perwira Demak yang masih berusia di bawah empat puluh tahun itu terpental jauh hingga keluar dari halaman kemah, lalu mendarat dengan bagian dalam remuk redam!
Arya Penangsang seperti terbang ketika menyusul Gending Pamungkas. Ketika menjejak kaki di dekat kepala lawan yang terkapar, Arya Penangsang berkata, “Engkau adalah perwira. Seorang prajurit yang bersumpah setia pada Demak dan pemimpinnya. Engkau dikenal sebagai perwira yang cerdas dan mampu menjaga diri dari banyak urusan yang tidak bersentuhan dengan keprajuritan. Aku menganggapmu sangat pantas menjadi orang yang selalu berdekatan dengan Raden Trenggana. Namun, sekarang, aku melihatmu sebagai binatang yang tidak tahu budi. Gending Pamungkas, ketahuilah, bila ada orang yang dapat membunuh Raden Trenggana maka orang itu adalah aku, Arya Penangsang. Utang pati dibalas pati. Tetapi, beliau adalah pamanku, beliau adalah raja yang berkuasa penuh di atasku. Kebodohanmu pantas mendapatkan imbalan.”
Arya Penangsang lantas meninggalkan Gending Pamungkas yang bernapas putus-putus.
Kedatangan Arya Penangsang menjadi kejutan tersendiri bagi Ki Tumenggung Prabasena yang nyaris tidak dapat berbuat sedikit saja. Sudah berapa lama Adipati Jipang itu berada di sekitar mereka?
Namun gemerincing pertarungan Gagak Panji melawan Ki Danupati menyita perhatian banyak orang, termasuk Ki Tumenggung Prabasena. Bahkan dia dapat melihat Arya Penangsang telah berada di dekat lingkar perang tanding dengan sikap tubuh yang gagah.