Dalam waktu itu, kepala dusun dan jagabaya tampak sibuk mengatur penjagaan lingkungan. Mereka tidak ingin ada orang yang lolos dari pengamatan dengan meninggalkan banjar dusun.
Simbara yang berdiri dengan banyak anak muda di sekitarnya tampak mengamati perkembangan dengan sorot mata tajam. Anak muda Pedukuhan Randulanang itu juga memandang dua kelompoknya yang seperti melambatkan langkah untuk bergabung. Dia melihat beberapa anak muda sedang berbicara sambil sekali-kali melihat padanya. Simbara pun menduga-duga dalam pikirannya. “Apa yang mereka bincangkan?” tanya Simbara pada dirinya sendiri. Lalu ia pun menjawabnya sendiri, “Ada banyak kemungkinan. Salah satunya adalah mereka berencana meninggalkanku sendirian di tempat ini. Mereka sering berkata bahwa mereka itu bukanlah pengecut. Hmmm, mungkin mereka juga kecewa karena harus menyerah api seorang pengecut pun tidak mungkin meninggalkan gelanggang.”
Seseorang yang berada di samping Simbara lantas mendekat, kemudian berbisik,”Raden, apa yang sedang kita tunggu?”
Simbara, yang meminta agar dipanggil sebagai raden pada orang-orang di sekitarnya, lalu menjawab dengan tatapan mata tetap pada kelompok orang yang berada di depannya, “Mereka, bila melakukan sesuatu.”
Orang muda yang usianya sekitar dua puluh pertengahan itu tampak menggeleng, kemudian berkata, “Aku tidak mengerti. Mengapa kita tidak langsung saja menggebuk mereka, lalu meninggalkan daerah ini?”
“Segala sesuatu sudah berada dalam pemikiranku,” sahut Simbara masih dengan sikap yang sama.
“Mereka ini,” kata orang muda tersebut, “sepertinya justru sedang menunggu Raden memutuskan atau melakukan sesuatu.”
“Parijoto, kita hanya perlu beradu kesabaran dengan mereka semua,” tukas Simbara kemudian menengadahkan wajah. “Malam belum melewati pertengahan,” ucapnya dalam hati.
Pada malam itu, Simbara pun tahu beberapa orang di kelompoknya sedang membincangkan sesuatu. Namun anak muda ini begitu percaya diri bahwa mereka tetap bersamanya hingga saat terakhir. Sebenarnya Simbara adalah anak muda yang mempunyai pengaruh luas dan itu karena kedudukan ayahnya sebagai Bekel Pedukuhan Randulanang. Sedangkan sebagian besar anak-anak muda yang bergabung dalam rencananya pun juga telah saling mengenal saat oleh sebab kedekatan wilayah. Kebanyakan mereka bergabung untuk alasan pengalaman baru. Sebagian kecil digerakkan oleh kepentingan termasuk angan-angan. Namun demikian, mereka pun sadar bahwa setiap pilihan pasti membawa akibat termasuk keadaan buruk pada masa mendatang. Lalu perintah agar menyerah yang dilantangkan Simbara membuat mereka geram dan kecewa tanpa sebab yang masuk akal.
Orang muda yang bernama Parijoto pun menarik diri. Dia bergeser beberapa langkah ke belakang sambil memandangi punggung Simbara dengan sinar mata berkilat-kilat.
“Aku kira lebih baik kita tetap melanjutkan pertempuran tanpa menunggu hasil akhir,” ucap lirih Parijoto pada seorang kawannya. “Aku hanya merasa semakin lama anak itu semakin membuat kita semua tampak seperti orang-orang bodoh.”
“Bila begitu, bukankah kita pasti menghadapi jumlah orang yang lebih banyak?” tanya kawan Parijoto.
“Bagaimana lagi? Sumawe, bila pulang dengan tangan kosong, maka kita akan menjadi cibiran orang-orang yang tinggal di sekitar perguruan.Mereka melihat kita berlatih perang-perangan dan juga olah kanuragan setiap hari,” kata Parijoto. “Lalu anak itu pun bersikap lebih buruk dibandingkan kita pada tetangga perguruan.”
Sumawe kemudian bersuara seperti sedang berkata pada dirinya sendiri, “Tapi orang-orang dusun dan juga para pengawal itu pun bisa saja membiarkan kita membuat keputusan sendiri. Bila terjadi benturan, bukankah itu urusan kita dengan Simbara serta anak-anak yang berpihak padanya?”
“Aku selalu siap untukmu,” ucap seseorang yang tiba-tiba berada di belakang Parijoto. “Aku setuju dengan pendapatmu.” Orang ini berkata sambil menepuk bahu Parijoto. “Kami semua sudah menganggap diri sebagai mayat yang berjalan ketika menyambut ajakan Simbara. Kami tahu orang-orang bodoh yang menganggap dirinya tinggi, tapi kami rela mengikutinya sampai pada titik ini. Merampok atau membegal itu perkara gampang, tapi melawan Mataram? Kebodohan jenis apakah yang hinggap di kepala seseorang selain para petualang seperti kami? Aku kira sudah kepalang tanggung bila menyerah atau melarikan diri. Ini kesempatan terbaik untuk menentukan pilihan walau besar kemungkinan satu-satunya jalan adalah kematian.”
“Apakah ada penyesalan pada apa yang baru kau ucapkan?” tanya Parijoto.
Orang itu menggeleng, kemudian mendesis, “Apa yang perlu disesali ketika keputusan sudah diucapkan?”
“Baiklah, aku senang mendengar perasaan yang sama denganku,” ucap Parijoto sambil memegang bahu orang itu. Parjoto berkata lagi, “Apakah kelompok ini semuanya pasti mendukungku?”
“Aku dapat pastikan itu,” ucap orang muda itu sambil memberi tanda yang hanya dimengerti olehnya dan kawan-kawannya.
“Tanggapan yang menenangkan,” ucap Parijoto. “Marilah, kita akan memberi pelajaran pada Simbara dan kawan-kawannya.”
Sumawe yang tekun mendengar percakapan antara Parijoto dan orang muda itu kemudian berkata pula, “Aku pun dapat pastikan itu. Mereka berasal dari dusun-dusun yang berada di sekitar perguruan. Aku mengenal baik beberapa anak dari mereka,” ucap Sumawe lalu berjalan menghampiri anak-anak muda yang dimaksud Parijoto.
“Bagus,” sahut Parijoto dengan pandang mata mengikuti Sumawe dari belakang.
Sejenak kemudian, Sumawe telah kembali dengan wajah sumringah. Lalu Sumawe berdiri berhadapan dengan Parijoto lalu memberi penjelasan serta meyakinkan bahwa mereka tidak salah bila membuang kesepakatan dengan Simbara. “Kita tidak pernah mendengar kata menyerah sebelum ini terjadi,” ucap Sumawe. “Anak-anak itu pun kecewa pada Simbara dan juga merasakan hal yang sama dengan kita bila kembali ke rumah. Bahkan salah satu dari mereka mengatakan bahwa lebih baik mati ketika merampok atau menjarah di kotaraja daripada pulang dengan rasa malu luar biasa. Cibiran dan olok-olok tentu terlontar dari orang-orang yang sejak awal tidak menginginkan kita bergabung dengan Simbara.”
Setelah menganggap bahwa seluruh perkataan Sumawe itu sudah cukup memadai, maka Parijoto pun berpesan singkat pada mereka. Beberapa saat kemudian, Parijoto menghampiri Simbara dengan langkah lebar dan kuat,lalu berkata, “Kita mendatangi dusun ini bersama-sama. Tetapi, malam ini kita harus berpisah. Aku tidak dapat berdiri berdampingan denganmu yang licik dan pengecut.”
Simbara terperanjat. Dia sama sekali tidak menyangka Parijoto mengucapkan itu padanya. “Ini… Kalian menikamku dari belakang!” teriak Simbara kemudian memutar tubuh. Sepasang matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. “Bagaimana ini? Bagaimana ini?” Suara Simbara terdengar bergetar dan sepasang tangannya pun halus gemetar.
Tiba-tiba terdengar suara kaki berderap cepat. Dua kelompok Simbara – yang berada di seberang pelataran berlari-lari – membelah halaman banjar.
“Pengkhianat!” serua anak muda yang berada di barisan terdepan kemudian menghamburkan serangan pada Parijoto. Anak muda itu cepat-cepat menekan Parjoto sebelum Parijoto membabat Simbara dengan pedang yang telah terhunus.
“Sialan! Bocah setan!” umpat Simbara lalu bergulingan menjauh.
Sukra dan Bunija, kepala dusun dan jagabaya serta banyak orang lainnya terkejut dengan perubahan yang terjadi pada kelompok Simbara. Itu benar-benar di luar perkiraan mereka bahw akelompok Simbara terpecah kemudian saling serang satu sama lain.
Dalam waktu itu, Agung Sedayu pun hampir menerjunkan diri ke tengah perseteruan tapi dia mampu menahan diri dengan perasaan tidak karuan. “Apa sebetulnya yang terjadi di balik ini semua?” tanya Agung Sedayu pada dirinya sendiri. Dia mengusap wajah kemudian sambil mengira-ngira waktu kedatangannya di Sangkal Putung yang sudah pasti terlambat. Pikirnya, dia tidak mempunyai waktu lebih banyak lagi. Seandainya dia tiba di Kepatihan setelah wayah pasar temawon, Ki Demang Brumbung akan kesulitan menerangkan keberadaannya pada orang-orang. Selain itu, kecurigaan akan muncul dari orang-orang Raden Atmandaru yang menyusup di sana.
Gerombolan penentang Simbara yang ternyata berjumlah lebih banyak dari dua kelompok lainnya walau mereka telah menggabungkan kekuatan. Ketegangan dalam pertempuran yang meletus di pelataran banjar meningkat cepat. Ujung-ujung senjata berayun-ayun ganas di udara, sementara sorak sorai perang dan caci maki juga terdengar memenuhi angkasa dusun.
Anak-anak muda yang mengikuti Simbara sejak awal adalah segerombolan remaja yang berusia dalam rentang belasan hingga dua puluh pertengahan. Mereka ini ternyata cukup liar dan benar-benar ganas. Mereka berkelahi tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut dan sepertinya sudah terbiasa dengan ketegangan serupa dalam hidup mereka. Maka pertarungan seolah menjadi pertunjukkan tentang kebuasan mereka. Pertempuran di pelataran banjar adalah tonotan yang sangat rusuh dan kisruh. Tidak dapat sekedar disebut perang campuh atau brubuh, tapi benar-benar ngawur dalam arti sebenarnya, sungguh!
Sukra tampak gelisah. Dia membayangkan seandainya kemudian orang-orang dusun gagal menahan luapan pertempuran, tentu dusun itu akan hancur dalam sekejap. SekalipunSukra berusaha menenangkan hati, tapi raut wajah dan gerak geriknya tidak dapat menipu pandangan Bunija saat memandang padanya.
Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Terima kasih.
“Saatnya kita menyatukan kekuatan dengan kepala dusun,” bisik Bunija pada Sukra. Sukra mengangguk karena memang tidak tahu langkah-langkah yang baik untuk selanjutnya. Dengan isyarat, Bunija memberi tanda pada pengawal kademangan agar mulai melingkari pelataran sambil menarik mundur orang-orang dusun yang berada di dekat mereka. Lalu bergerak cepat menghampir masing-masing ketua regu sambil memberi pesan-pesan tertentu.
Bekel atau kepala dusun melihat pergerakan pengawal Kademangan Sangkal Putung, lalu mengikuti arahan Bunija. Dia segera meminta jagabaya dan orang-orang agar larut dalam pergerakan pengawal kademangan.