Padepokan Witasem
api di bukit menoreh, agung sedayu, cerita silat jawa, kitab kiai gringsing
Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 3 – Jebakan Agung Sedayu

“Luar biasa!” gumam Ki Demang Brumbung dalam memuji ketajaman nalar Agung Sedayu. Dugaan senapati pasukan khusus itu benar-benar terjadi ketika muncul seorang laki-laki dari arah dapur lalu melesat cepat melintasi tanah berumput tanpa banyak suara. Ki Demang Brumbung pun melontarkan tubuh ke bagian atap bangunan di dekatnya lalu secepatnya merapatkan jarak dengan orang itu dari ketinggian. Beberapa waktu kemudian, Ki Demang Brumbung berhenti dan itu tepatnya berada di atap beranda depan Kepatihan. Dari kedudukannya, Ki Demang Brumbung dapat melihat Agung Sedayu yang berdiri di dekat gardu jaga sambil mengawasi prajurit jaga yang sedang mengadakan pergantian waktu. Sementara orang yang dibayanginya sedang meringkuk di bawah tanaman perdu yang tidak terjangkau penerangan. Orang itu pun sedang mengamati keadaan yang sama dengannya.

“Ki Rangga sudah pasti mengetahui keberadaan orang itu, tapi, yah, seperti itulah jika yang akan dijadikan dimangsa ternyata lebih hebat dari pemangsa,” ucap Ki Demang Brumbung dalam hati dengan senyum di bibirnya.

Tampak olehnya, Agung Sedayu taat pada segala yang diucapkan oleh ketua regu prajurit jaga yang melarang Agung Sedayu mendekati para prajurit yang sedang serah terima waktu jaga dengan segala yang mengikutinya. Pun Agung Sedayu sama sekali tidak berjalan di depan gardu ketika serah  terima itu berlangsung. Menurut pendapat Ki Demang Brumbung, sikap Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan sesuatu yang dibuat-buat. Senapati pasukan khusus itu bersikap dan bicara dalam keadan wajar dan seolah-olah benar-benar tidak mengetahui bahwa dirinya sedang dibayangi seseorang. Seperti yang diperintahkan Agung Sedayu, tugas utama Ki Demang Brumbung adalah mengamati dengan teliti dan cermat sehingga mereka dapat membuat gambaran jati diri orang itu.

Maka Ki Demang Brumbung pun menetap di kedudukannya sebelum orang itu benar-benar nyata pergi membuntuti Agung Sedayu.

loading...

Dalam waktu, di bawah pandangan mata Ki Demang Brumbung, Agung Sedayu membuka percakapan dengan ketua regu jaga.

“Sepertinya kita semua tidak sedang dalam keadaan yang baik, Ki Lurah,” ucap Agung Sedayu.

“Demikianlah, Ki Rangga. Kami menjalankan tugas dengan hati dan pikiran yang terbelah. Betapa tidak? Kepergian mendiang Panembahan Hanykrawati seolah menjadi musibah yag luar biasa bagi kami, orang-orang rendahan,” kata ketua regu jaga. Dia mendongak lalu pandangan matanya seakan-akan sedang mencari-cari keberadaan orang yang sangat dicintainya itu.

Sambil menghembus napas panjang, Agung Sedayu berkata, “Yah, seperti inilah keadaan kita semua pada malam ini. Di antara sedih dan duka yang belum beranjak, kita pun masih harus mewaspadai pergerakan para pemberontak.”  Agung Sedayu seperti sedang mengingatkan ketua regu itu beserta para prajurit yang berada di sekitar mereka. bahwa ancaman Raden Atmandaru masih belum benar-benar pergi. Mataram masih belum benar-benar aman.

Prajurit jaga yang mendengarnya pun mengangguk, lalu menebar pandangan ke sekitar mereka. Tapi sepertinya mereka tidak mengetahui gerakan kecil yang terjadi di samping bangunan utama, di bawah rimbun tanaman perdu.

Sementara itu, Agung Sedayu dapat mengetahui bahwa semangat orang-orang yang berada di dekatnya dalam keadaan kurang baik. Dia menduga bahwa para prajurit ini sedang kurang percaya diri karena anggapan yang berhembus kencang. Banyak orang mengatakan bahwa Panembahan Hanykrawati mati terbunuh di Alas Krapyak. Kemudian dia berkata, “Bapak=bapak dan.Ki Sanak sekalian, kita adalah prajurit Mataram.” Agung Sedayu mengambil jeda agar penyebutan yang sengaja dilakukannya dapat mengugah perasaan para prajurit yang terdiri dari beberapa kelompok usia. Beberapa prajurit berusia muda tampak rikuh dengan istilah yang digunakan Agung Sedayu. Ini baru pertama kali mereka dengar dan dapatkan dari senapati yang berkedudukan tinggi. Namun, Agung Sedayu bukan tanpa tujuan dengan penggunaan sebutan itu. Pemimpin pasukan khusus ini ingin menggunakan kata yang sama demi dua tujuan. Yang pertama, mengembalikan kepercayaan diri prajurit yang berusia muda dengan cara menghargai mereka. Yang kedua, mulai mengelompokkan orang-orang yang mempunyai kemungkinan telah tersentuh gerakan makar atau gamang dengan ajakan bergabung dalam usaha yang digagas Raden Atmandaru itu.

Tak lama kemudian, Agung Sedayu meneruskan ucapannya. “Mungkin Anda sekalian bertanya dalam hati, benarkah Panembahan Hanykrawati dibunuh sekelompok orang di Alas Krapyak? Tidak, saya katakan itu karena saya dan beberapa orang lainnya juga berada di tempat yang sama dengan Panembahan. Mereka, yang menyebarkan berita itu, menutupi keadaan yang sebenarnya. Salah seorang pemimpin gerombolan, yang dulu kita kenal sebagai Ki Kebo Lungit, justru mati terbunuh mengenaskan dalam usahanya itu. Panembahan Hanykrawati wafat dalam keadaan yang wajar, maksud saya adalah beliau tidak terbunuh.  Saya harap Tuan-tuan sekalian dapat melihat kembali ke dalam diri masing-masing.”

Seorang prajurit muda kemudian meminta izin untuk berkata. Agung Sedayu pun memberinya waktu. Kata prajurit muda itu, “Ki Rangga, saya belum mengerti sepenuhnya yang baru diucapkan tadi. Bila orang-orang itu gagal dalam pekerjaan itu, lantas mengapa para pemimpin tidak segera melakukan pengejaran atau sesuatu yang dapat menenangkan kami?”

“Ki Sanak,” kata Agung Sedayu, “para pemimpin kita bukan tidak mengerti atau tidak mempunyai rencana, tapi beliau sekalian ini sedang menarik napas dan bersyukur karena masih ada prajurit dengan kesetiaan seperti Anda sekalian yang berada di sini maupun di istana raja, di padesan maupun kademangan. Memiliki orang-orang dengan semangat dan jiwa seperti yang tersimpan dalam diri Ki Sanak sekalian adalah keberuntungan yang tidak ternilai harganya. Sungguh, sangat beruntung Mataram pada saat sekarang ini.”

Jantung seorang prajurit berusia pertengahan berdesir sedikit lebih kencang ketika pemimpin pasukan khusus Mataram mengatakan itu. Orang ini berdiri sedikit di depan prajurit muda yang bertanya pada Agung Sedayu. Barangkali dia tidak dapat menyembunyikan gelisah di dalam hatinya sehingga sedikit gerakan dan perubahan pada wajahnya dapat diketahui oleh Agung Sedayu.

Seakan tidak melihat sedikit kejanggalan itu, Agung Sedayu berkata lagi, “Banyak orang yang menginginkan adanya perpecahan di kalangan prajurit. Kita sudah mempunyai pengalaman tentang hal itu. Ki Panji Secamerti dan Ki Tumenggung Sanden Merti adalah pengalaman buruk yang masih mempunyai kemungkinan pengulangan di masa mendatang. Bahkan. Ki Sanden Merti adalah orang kepercayaan mendiang Panembahan Senapati dan mendapat wewenang khusus sebagai pemimpin pasukan berkuda. Tapi, kita bisa lihat pada akhir perjalanannya.” Agung Sedayu menarik napas sejenak  sambil memandang satu demi satu wajah prajurit yang menyimak ucapannya. Kemudian beberapa kalimat lagi disampaikan oleh Agung Sedayu sebelum meninggalkan tempat penjagaan.

“Baiklah, saya akan berkeliling sejenak untuk melepas penat sambil menunggu kedatangan Ki Patih Mandaraka. Selamat malam,” ucap Agung Sedayu lalu mengayun langkah keluar dari Kepatihan, kemudian mengambil arah yang sama dengan tempat Ki Panji Secamerti melakukan percobaan pembunuhan terhadap Ki Patih Mandaraka.

Dari tempatnya, Ki Demang Brumbung tersenyum mendengar hampir semua ucapan Agung Sedayu. Pikirnya, di penjagaan, ketenangan dan kesengajaan Agung Sedayu benar-benar membuat permukaan yang tenang menjadi bergelombang. Ki Demang pun dapat melihat seorang prajurit yang sekali-kali menengok ke arah tanaman perdu. “Cerdik” ucap Ki Demang Brumbung dalam hati ketika prajurit itu mengubah kedudukannya sedikit serong ke kanan agar dapat mengamati tanaman perdu tanpa harus menggerakkan kepala. “Selalu saja ada pengecut dan pengkhianat, dan mengapa banyak orang tidak belajar dari suatu kejadian?” tanya Ki Demang Brumbung pada dirinya sendiri.

Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA  Terima kasih.

Pada waktu itu, orang yang diintai lurah Mataram ini belum memperlihatkan pergerakan meski Agung Sedayu sudah tidak tampak lagi di regol penjagaan. “Hmm, apa yang ditunggunya?” Ki Demang Brumbung bertanya dalam pikirannya. Dia masih belum dapat memastikan jati diri pengintai Agung Sedayu. Penerangan yang memang kurang menjangkau tempat itu agaknya menjadi penghalang utama baginya. Namun demikian, lurah prajurit ini sadar bahwa pengintai itu benar-benar mengenal dengan baik suasana maupun tata letak bangunan-bangunan yang berada di dalam Kepatihan. Jika tidak, bagaimana dia tahu bagian taman atau lorong yang temaram? Dan itu dibuktikan olehnya ketika mengambil tempat bersembunyi tanpa pertimbangan lagi. Pengintai itu tidak melihat ke kiri atau kanan ketika Agung Sedayu berhenti di penjagaan.

Beberapa saat kemudian, seorang prajurit yang menunjukkan sikap aneh di penjagaan terlihat berjalan ke arah pintu samping Kepatihan. Orang ini akan melintasi jalan setapak yang dibatasi tanaman perdu di samping kiri dan kanan.

“Menarik,” ucap Ki Demang Brumbung ketika melihat pergeseran itu. Ki Demang Brumbung mulai menduga-duga, apakah si pengintai dan prajurit itu mempunyai hubungan?

Prajurit itu berjalan lurus tanpa kesan tergesa-gesa. Dia tidak berhenti atau mengurangi kecepatan ketika melewati tempat persembunyian pengintai Agung Sedayu. Tentu saja itu membuat kening Ki Demang Brumbung mengerut karena sebelumnya memperkirakan akan terjadi pertemuan singkat di sekitar tanaman perdu. Bahkan, prajurit usia pertengahan itu tetap berjalan hingga melampaui dinding samping Kepatihan lalu menghilang dari pandangan Ki Demang Brumbung.

“Oh, tentu saja, tentu saja. Aku saja yang terlalu berharap saat menduga-duga,” kata Ki Demang Brumbung dalam hati sambil menyalahkan dirinya sendiri yang sempat meninggalkan pengawasan terhadap yang yang membayangi Agung Sedayu. Bagaimana seandainya orang itu bergerak cepat lalu menghilang dari pandangannya? Ki Demang Brumbung sedikit gelisah. Tapi harapan kemudian kembali muncul ketika prajurit itu kembali terlihat berjalan melewati pintu samping Kepatihan. Namun, seperti sebelumnya, tidak ada pertemuan atau perbincangan antara prajurit itu dengan pengintai yang masih berada di tempatnya. Hanya saja, pengintai itu perlahan-lahan keluar dari persembunyian beberapa saat setelah prajurit itu melewatinya. Seperti tidak terjadi sesuatu, pengintai itu tampak mendekati gardu jaga. Dia berjalan dengan jarak terukur di belakang prajurit usia pertengahan itu.

Ki Demang Brumbung melihat sedikit percakapan antara ketua regu jaga dengan pengintai Agung Sedayu. Beberapa lama kemudian, pengintai itu berjalan pula ke arah yang sama dengan Agung Sedayu. Meski tidak dapat mendengar atau mengetahui isi percakapan, tapi Ki Demang Brumbung sudah memperoleh gambaran jati diri pengintai tersebut. Tentu saja, itu sesuai dengan harapan dari rencana awal Agung Sedayu.

Wedaran Terkait

Bara di Bukit Menoreh 8 – Pembeda Itu Bernama Sukra

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 7 – Sukra dalam Pengamatan Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 6 – Agung Sedayu ; Benarkah itu Sukra?

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 5 – Agung Sedayu Mempermalukan Lawan!

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 4 – Agung Sedayu, Pemburu yang Diburu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 2 – Operasi Intelijen Sederhana Agung Sedayu

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.