Padepokan Witasem
Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 23 – Kepatihan Benar-benar Gaduh!

Pada malam itu, usai kemunculan Agung Sedayu dari bilik menuju balai prajurit, maka ramai orang berbisik-bisik membincangkan pertemuan mereka dengan senapati Mataram tersebut. Sebagian bersoal jawab mengenai waktu kedatangan Agung Sedayu. Sebagian lain menduga sosok asing yang datang bersama Ki Demang Brumbung adalah Agung Sedayu. Tapi semua itu menemui jalan buntu karena mereka pun saling berbantahan dengan alasan-alasan yang masuk akal. Kehebohan makin menjadi-jadi ketika seorang prajurit mengabarkan percakapan ringan Ki Demang Brumbung dengan Agung Sedayu yang didengarnya secara kebetulan.

“Bagaimana mungkin orang asing itu adalah Ki Rangga Agung Sedayu? Aku mendengar Ki Demang Brumbung justru mengajak Ki Rangga agar bersedia berbincang-bincang bertiga dengan tamu itu?” ucap prajurit yang baru keluar dari balai.

“Apakah Ki Rangga berkenan?” seorang temannya bertanya.

“Aku tidak tahu,” ucap prajurit itu, “tentu tak pantas bila aku berada di dekat beliau berdua dalam waktu agak lama.”

loading...

Teman-temannya manggut-manggut dengan wajah penasaran. Seorang dari mereka kemudian bertanya yang mungkin ditujukan pada dirinya sendiri, “Aneh, mengapa tidak ada laporan dan juga tidak terlihat Ki Rangga melewati regol Kepatihan?”

“Bagaimana maksudmu?” tanya prajurit lain.

“Aku mendapat giliran jaga sejak fajar hingga lingsir bedug,” jawab prajurit yang sebelumnya bergumam sendiri, “dan sepanjang waktu itu, aku tidak melihat Ki Rangga memasuki Kepatihan.”

Mereka, prajurit dan pelayan bagian dalam, semakin heboh dengan dugaan-dugaan yang mendengung di dalam kepala. Tamu asing itu bahkan terlihat bersama dengan Ki Patih Mandaraka serta Kinasih saat makan malam bersama. Hanya Nyi Banyak Patra yang kerap tidak terlihat di dalam ruangan.

“Meski agak janggal, tapi aku pernah  melihat Ki Rangga dan Nyi Ageng berjalan keluar dari Kepatihan,” ucap seorang peronda. “Dan itu terjadi dua atau semalam terakhir ini. Tapi tentu saja, beliau berdua pasti berkeliling di sekitar Kepatihan dan alun-alun.”

“Hmm, jadi, siapakah sebenarnya orang asing itu? Pedagang ataukah utusan dari negeri seberang atau memang dialah Ki Rangga yang sedang menyamar?” tanya prajurit yang membawa kentongan bambu di tangannya.

“Pedagang,” sahut seorang peronda yang tampaknya dia adalah ketua regu. “Aku menanyakan itu secara langsung pada Ki Demang Brumbung. Nama orang itu adalah Lembu Jenar. Dia datang dari pesisir utara. Tapi, sudahlah, kita hanya membuang waktu sepanjang malam untuk membicarakan orang itu. Sedangkan dia sama sekali tidak pernah terlihat berada di sekitar kita.”

“Hmm, benar, benar yang Kakang katakan,” ucap prajurit lain dari belakang ketua regu.

“Lagipula, Ki Rangga sudah jelas tampak berjalan beriringan dengan Nyi Ageng Banyak Patra. Tadi Ki Rangga berpesan padaku bahwa beliau akan melakukan perondaan sebentar bersama Nyi Banyak Patra,” tambah ketua regu.

“Sepertinya kita memang akan benar-benar terjerumus dalam kerumitan prasangka karena , bagaimanapun, Ki Rangga dan Nyi Banyak Patra adalah dua orang yang berilmu sangat tinggi. Beliau berdua dapat melampaui perkiraan serta perasaan kita semua,” kata seorang prajurit yang membawa kentongan. Kalimat itu seakan menjadi ucapan terakhir yang menutup perbincangan mereka.

Demikianlah kebanyakan isi pikiran orang-orang di dalam Kepatihan pada malam Agung Sedayu menampakkan dirinya.

Sementara itu, dalam perondaan singkat di sekitar alun-alun kotaraja, Nyi Banyak Patra menjelaskan keadaan sesungguhnya ketika terjadi pertemuan agung di Kraton Mataram.

“Benar-benar malam yang panjang dan melelahkan,” kata Nyi Ageng Banyak Patra pada Agung Sedayu.

“Walau begitu, saya tidak berani membuat dugaan atau membayangkan suasana ketika dua kubu mengeluarkan pemikiran,” ucap Agung Sedayu dengan nada hormat.

“Sebelumnya, meski aku sudah mempunyai bayangan bahwa ada pertentangan tapi ternyata masing-masing orang memiliki alasan yang sama-sama kuat,” kata Nyi Banyak Patra.

Nyi Ageng Banyak Patra, saudara perempuan mendiang Panembahan Senapati, kemudian melanjutkan ucapannya. “Ketika sudah banyak orang dari kerabat dekat maupun jauh berkumpul, Ki Patih pun membuka persidangan. Beliau mengatakan bahwa tidak boleh ada kekosongan pemimpin di Mataram. Setiap orang masih memikul tanggung jawab dengan melaksanakan kewajiban masing-masing tanpa perlu menunggu raja yang baru. Beberapa orang lalu melaporkan tentang perkembangan dan ketegangan yang meningkat di Mataram, termasuk Pangeran Purbaya yang menjelaskan keadaan terbaru di Sangkal Putung.”

Sejenak Nyi Banyak Patra menghela napas panjang, lalu berkata lagi, “Pada waktu itu, aku tidak menangkap hasrat besar Raden Mas Rangsang yang dikabarkan ingin menggantikan mendiang Panembahan Hanykrawati. Orang-orang dapat berkata sesuai keinginan karena tidak ada satu orang pun yang dapat mengendalikan pendapat orang lain. Mereka juga berhak menyembunyikan maksud atau mengatakan secara terbuka. Namun, bagaimanapun, aku yakin Raden Mas Rangsang cukup dewasa dan sadar bahwa dia tidak mempunyai alasan untuk  merebutnya.”

Agung Sedayu menyimak ucapan Nyi Banyak Patra, kata demi kata.

“Beberapa orang menyembunyikan kekecewaan karena Ki  Patih ternyata tidak berjuang keras mempertahankan Raden Mas Wuryah. Mereka tahu bahwa Ki Patih adalah pilar penyanggah yang sangat kuat bagi setiap keputusan mendiang Panembahan Hanykrawati, tapi mereka tidak melihatnya dalam persidangan.”

“Ki Patih pasti mempunyai alasan yang sangat kuat dan masuk akal,” ucap Agung Sedayu.

“Apakah engkau sudah bertemu dan bicara dengan beliau?”

“Saya, Nyi Ageng,” jawab Agung Sedayu. “Saya belum bertemu beliau dua hari ini.”

“Benar,” kata Nyi Banyak Patra. “Sebaiknya memang kita ikuti rancangan beliau yang hendak memunculkan wajah-wajah pengkhianat yang mendekam di Kepatihan.” Dengan wajah sungguh-sungguh, Nyi Banyak Patra kemudian menepuk bahu Agung Sedayu sambil berucap, “Aku bangga dengan penyamaranmu. Itu benar-benar mengguncang pikiran banyak orang.”

“Inilah yang menjadi sebab munculnya pertanyaan dalam pikiran saya,” ucap Agung Sedayu.

“Seperti apakah itu? Dapatkah kau katakan padaku?” Nyi Banyak Patra bertanya.

“Beberapa orang datang dari Kepatihan lalu menampakkan diri sebagai penantang kekuasaan. Ki Ramapati, Ki Panji Secamerti dan beberapa orang yang menjadi pengganggu sepanjang perjalanan menuju Alas Krapyak,” kata Agung Sedayu. “Benarkan tidak ada pengkhianat di dalam Kraton? Itu cukup mengganggu pikiran saya.”

“Dan pada waktu yang sama, dari Kepatihan juga muncul sekumpulan orang tangguh yang siap mengalirkan dari demi Mataram, termasuk dirimu, Agung Sedayu,” ucap Nyi Banyak Patra dengan sinar mata bangga. Sejenak kemudian, perempuan sakti yang berdiam di Pengging itu memandang Agung Sedayu yang terlihat suram di matanya.

Waktu berlalu dengan keheningan sesaat saat kaki langit di bagian barat tampak memerah. Punggung Merapi terlihat begitu kelam dan menyirnakan segala bayangan.

“Mungkin engkau pun bertanya, seandainya ada, lalu apakah ada alasan masuk akal yang dapat menjelaskan semuanya? Aku kira pertanyaan itu pun pernah terlintas dalam pikiranmu, Sedayu,” kata Nyi Banyak Patra.

“Saya tidak mempunyai keberanian dan kemauan untuk mengingkari isi pikiran dan perasaan, Nyi Ageng,” ucap Agung Sedayu.

“Mengenai kehidupan di Kraton, aku yakin engkau termasuk orang yang dapat menahan diri dari pertanyaan yang tidak penting. Siapa saja yang tinggal di dalamnya? Apa kegiatan mereka dan sebagainya? Bagaimana mereka berhubungan satu sama lain? Bagaimana perlakuan Raden Mas Rangsang pada adik-adiknya dan semacamnya? Yah, aku percaya pikiranmu bersih dari itu semua,” kata Nyi Banyak Patra. “Sependek pengenalan dan pemahamanku terhadap kepribadian gurumu, Kyai Gringsing, tentu penilaianmu tetap terjaga dari kecenderungan untuk memihak. Aku tidak mengatakan gurumu tidak mempunyai pilihan, tapi Kyai Gringsing dapat mengikuti perkembangan, menyesuaikan diri lalu ikut menjaga agar segalanya tetap berada di atas nilai-nilai yang tinggi.”

Agung Sedayu menarik napas dalam-dalam lalu mengubah kedudukannya.

“Pada pertemuan agung itu, aku dapat melihat wajah orang-orang kecewa tapi tidak berdaya mendesak Eyang Patih yang lebih banyak diam dan mendengarkan. Mereka cenderung untuk bertahan sesuai pesan mendiang Panembahan. Tapi, sepertinya ada semacam dorongan kuat yang membelokkan pendapat ke arah yang berbeda. Sedayu, saat-saat seperti ini, kita semua berada di bawah gelombang keterangan bahwa Raden Mas Wuryah tidak mempunyai kecakapan sebagai pemimpin negara,” lanjut Nyi Ageng Banyak Patra.

Wedaran Terkait

Bara di Bukit Menoreh 9 – Pertempuran pun Pecah di Pelataran Banjar

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 8 – Pembeda Itu Bernama Sukra

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 7 – Sukra dalam Pengamatan Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 6 – Agung Sedayu ; Benarkah itu Sukra?

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 5 – Agung Sedayu Mempermalukan Lawan!

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 4 – Agung Sedayu, Pemburu yang Diburu

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.