Padepokan Witasem
Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 25 – Siapa yang Berhak Menjadi Raja Mataram, Raden Mas Wuryah atau Raden Mas Rangsang?

Setelah menyeberangi jalan, Agung Sedayu dan Nyi Banyak Patra melintas gerbang Kepatihan. Dalam waktu itu, Agung Sedayu tidak bertanya pada prajurit jaga mengenai dua orang yang berlalu ke utara. Seandainya dia mencari tahu, tentu itu dapat membongkar penyamarannya. Maka dia pun berjalan seolah-olah tidak mengetahui kepergian Ki Demang Brumbung dan Ki Lurah Plaosan.

Namun di luar perkiraan Agung Sedayu, seorang prajurit jaga kemudian berkata padanya, “Ki Rangga, Ki Demang Brumbung berpesan pada saya agar memberi tahu keperluannya malam ini.”

“Oh,” sahut Agung Sedayu. “Bagaimana itu?”

“Beliau, Ki Demang Brumbung berkata bahwa beliau sedang menyiapkan pedati untuk keperluan Ki Lembu Jenar,” jawab prajurit itu.

loading...

“Oh, apakah itu berarti Ki Lembu Jenar akan meninggalkan Kepatihan?” Agung Sedayu bertanya lagi.

“Benar. Ki Lembu Jenar akan melanjutkan perjalanan melampaui Tanah Perdikan, dan itulah yang dikatakan Ki Demang Brumbung,” prajurit itu menjawab tegas.

“Baiklah, terima kasih,” ucap Agung Sedayu sambil mohon diri untuk segera menemui Ki Patih Mandaraka. Di dekatnya, Nyi Banyak Patra mengangguk-angguk sambil memandang pada arah lain sambil mengulum senyum. Pikirnya, sandiwara murid utama Kyai Gringsing itu benar-benar hebat. Dia sama sekali tidak memperlihatkan kegugupan atau keterkejutan. Segala sesuatu berlangsung wajar dan datar-datar saja.

Saat mengayun langkah menuju beranda belakang, Agung Sedayu berkata pada Nyi Banyak Patra, “Ki Patih Mandaraka telah menyatakan gambaran rencana sepintas melalui Ki Demang Brumbung.”

Setelah menanggapi dengan anggukan kepala, Nyi Banyak Patra berkata, “Aku serahkan padamu dan beliau mengenai permasalahan itu.” Setibanya di beranda, Nyi Banyak Patra meneruskan, “Aku akan merawat Kinasih agar secepatnya pulih kemudian pergi menyertai rencana Eyang Patih bersama kalian semua, para pengawal Mataram.”

Agung Sedayu merendahkan tubuh, memberi hormat sebelum Nyi Banyak Patra meninggalkannya. Sesaat setelah Nyi Banyak Patra memasuki lorong yang membawanya ke bilik Kinasih, Agung Sedayu bergegas menemui Ki Patih Mandaraka di sebuah ruangan yang berukuran tak terlalu luas. Mungkin hanya cukup memuat seperangkat kursi dan meja sederhana serta amben kecil berukuran satu orang.

“Sedayu,” kata Ki Patih Mandaraka dari balik pintu. “Masuklah.”

Agung Sedayu pun masuk tanpa ragu-ragu. Meski beberapa kali dia menarik napas tapi itu karena keinginannya agar tetap dapat tenang di depan Ki Patih Mandaraka. Di dalam hati Agung Sedayu selalu merasa setiap bicara dengan Ki Patih itu seperti sedang berhadapan langsung dengan gurunya. Itu adalah keadaan yang wajar karena mereka telah mengukir sejarah panjang dengan segenap peristiwa suka maupun duka yang setia menyertai.

Ki Patih Mandaraka meminta Agung Sedayu duduk berhadap-hadapan. Itu sedikit berada di luar kebiasaan mereka bila bertemu untuk waktu yang agak lama. Agung Sedayu mengerutkan kening tapi dia tetap memindahkan sebuah kursi agar sesuai dengan permintaan Ki Patih.

“Tentu kau telah mendengar serba sedikit mengenai keputusan yang lahir di bangsal utama Kraton,” ucap Ki Patih membuka percakapan.

Agung Sedayu mengangguk, lalu berkata, “Walau demikian, saya tetap menunggu Ki Patih.”

“Seandainya aku tidak memberitahumu, apakah keputusan itu menjadi desis  angin tanpa arti bagimu?” tanya Ki Patih Mandaraka.

“Saya tidak mempunyai keberanian berhadap-hadapan atau membelakangi Ki Patih. Segala keputusan dari Kraton tentu ada pemberitahuan resmi dan bersifat mengikat, terutama bagi prajurit seperti saya. Tentu tidak ada ruang untuk berpaling atau berjalan mundur,” jawab Agung Sedayu dengan suara pelan tapi bernada penuh ketegasan.

“Ada beberapa alasan yang membuatku tidak segera memberitahumu mengenai segala yang terjadi di dalam bangsal kraton,” kata Ki Patih Mandaraka. “Walau sebenarnya aku ingin segera memerintahkanmu pergi menyelesaikan yang tersisa dari Alas Krapyak, tapi aku juga bertanya pada diriku sendiri, ‘apakah masih ada orang dari dalam istana atau Kepatihan yang tegak mendukung gerakan makar?’ Maka, aku pikir harus ada sedikit waktu untuk meninjau rencana atau bahkan menyusun ulang.”

Dalam waktu itu, Agung Sedayu mengerutkan kening. Tanpa sadar, dia beradu pandang secara langsung dengan Ki Patih Mandaraka. Sedikit keanehan kemudian terjadi ketika dua orang itu sama-sama memancarkan sorot mata yang tajam. Namun Agung Sedayu cepat menundukkan kepala karena dia tahu bahwa dirinya tidak berada dalam kedudukan yang sama dengan Ki Patih Mandaraka. Lelaki sepuh yang berada di depannya, selain sebagai seorang patih juga orang yang mungkin berusia sama dengan guru atau ayahnya. Mana mungkin dia berlama-lama memandang tajam padanya?

“Sedayu,” ucap Ki Patih kemudian, ”kotaraja benar-benar dikelilingi sejumlah satuan pasukan musuh yang kuat. Walau begitu, dari Tanah Perdikan, pasukan khusus akan berhadapan langsung dengan gerombolan Raden Atmandaru yang diperkirakan berada di sekitar Gunung Kendil. Sementara Jati Anom dan  Sangkal Putung adalah kesatuan yang dapat diandalkan untuk menahan sebaran mereka bila mendekati kotaraja. Seandainya benar ada pengikutnya yang berada di luar tiga tempat itu, Ganjur dan Mangir, Pegunungan Sewu dan yang lainnya pun dapat meredam laju mereka. Meskipun demikian, aku belum dapat benar-benar merasa tenang jika persekongkolan masih belum dapat dipisahkan dari Kraton dan Kepatihan.”

Sambil menyandarkan punggung pada kursi,Ki Patih Mandaraka meneruskan ucapan, “Setiap waktu perkembangan masih terpantau oleh petugas sandi yang ditempatkan Pangeran Purbaya. Batasan perkembangan itu sendiri pun termasuk segala kekuatan yang berada di balik pendapat mengenai orang yang pantas duduk di singgasana.”

Jantung Agung Sedayu berdesir sedikit lebih kencang. Dia mengetahui bahwa Pangeran Purbaya berada sepenuhnya di belakang Raden Mas Rangsang. Tentu saja itu bukan karena alasan pribadi. Pendapat dan pemikiran Pangeran Purbaya sudah hampir dapat dipastikan akan sama dengan Nyi Banyak Patra. Sebagai anak kandung Panembahan Senapati tentu tidak ingin melihat Mataram terpecah belah. Dengan segala akibat yang dapat terjadi, mereka pasti telah bersepakat mengenai keadaan-keadaan tertentu. Untuk beberapa waktu, Agung Sedayu seolah sedang berjalan di alam yang berbeda. Dia mengembara di antara ruang-ruang pikirannya, bahkan muncul pertanyaan ; bagaimana sikap sesungguhnya Ki Patih Mandaraka dan cara beliau memandang dua perbedaan tajam itu?

Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Anda turut mendukung kelanjutan melalui donasi yang dapat disalurkan pada rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA  . Dengan demikian, Anda dapat menjadi bagian dari jajaran demang dan lurah yang terdepan. FYI, dalam lingkup terbatas, kisah ini sudah mencapai wedaran 35. Terima kasih. 

Ki Patih Mandaraka mengenal Agung Sedayu jauh lebih baik daripada orang lain. Pada beberapa keadaan, Ki Patih Mandaraka bahkan menganggap senapati pasukan khusus itu seperti anak kandungnya sendiri. Maka perubahan yang terjadi pada paras wajah Agung Sedayu pun dapat diketahuinya.

“Aku mengerti bahwa sebenarnya engkau berada dalam kebimbangan untuk beberapa waktu belakangan ini,” ucap Ki Patih Mandaraka kemudian. “Bisa jadi di dalam hatimu telah ada pertanyaan atau dugaan, sebenarnya aku lebih berat pada siapa? Raden Mas Wuryah atau Raden Mas Rangsang? Aku katakan  terus terang padamu bahwa keadaan itu sebenarnya sangat sulit bagiku.” Orang yang mempunyai hubungan darah dengan Ki Ageng Pemanahan itu menarik napas panjang, lalu berkata, “Pesan mendiang Wayah Panembahan adalah sebuah perintah, tapi permintaan banyak orang untuk menjadikan Raden Mas Rangsang adalah pendapat yang masuk akal.”

Agung Sedayu menarik pundak seolah-olah ingin menegakkan punggung. Tak lama kemudian, dia berkata, “Saya dapat membayangkan kerumitan yang berkisar di sekitar Ki Patih.”

“Nah, jika kau dapat mengerti, bagaimana seandainya itu terjadi pada dirimu?” tanya Ki Patih Mandaraka setelah beberapa lama menunggu Agung Sedayu yang mungkin meneruskan ucapannya.

Murid utama Kyai Gringsing itu menundukkan wajah. Sungguh berat baginya untuk memberi jawaban. Tidak mungkin ada keraguan dalam hati Ki Patih Mandaraka dengan segala jawaban yang terucap dari Agung Sedayu. “Tapi, bagaimana aku dapat berterus terang jika tidak mendapatkan perkenan? Bukankah aku akan sangat bersalah bila ucapanku menyinggung perasaan beliau?” desis Agung Sedayu dalam hati.

Wedaran Terkait

Bara di Bukit Menoreh 9 – Pertempuran pun Pecah di Pelataran Banjar

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 8 – Pembeda Itu Bernama Sukra

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 7 – Sukra dalam Pengamatan Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 6 – Agung Sedayu ; Benarkah itu Sukra?

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 5 – Agung Sedayu Mempermalukan Lawan!

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 4 – Agung Sedayu, Pemburu yang Diburu

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.