Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 57 – Benturan Pun Pecah di Watu Sumping!

Dari tempatnya, Agung Sedayu memandang sejenak pergeseran anak-anak muda itu. Dengan kemampuan meringankan tubuh yang hebat, dia bergerak ke arah Pedukuhan Janti. Dalam waktu sangat singkat, pemimpin pasukan khusus Mataram itu sudah berada di sekitar lingkungan yang ditempati Kinasih.

Dari tempatnya yang baru, Agung Sedayu dapat melihat kesibukan-kesibukan yang ada di perkemahan para pendukung gerakan Raden Atmandaru. Pada sebagian tempat sepertinya masih lelap dalam ayunan mimpi. Tapi sebagian dari mereka, ada yang memulai latihan perang-perangan atau kanuragan. Ada pula yang mungkin ditugaskan untuk menyiapkan makanan. Secara keseluruhan, perkemahan itu seolah sudah berubah menjadi perkampungan yang nyata.

Sinar matahari masih belum menyentuh puncak pohon kelapa ketika Agung Sedayu melepas pandangan ke arah timur. Tangannya meraih bagian samping ikat pinggang, lalu mengeluarkan sebuah benda yang asing yang dapat menghasilkan api dalam waktu singkat. Sejenak dia memandang benda pemberian Nyi Ageng Banyak Patra ketika mereka berada di luar Kepatihan. Dalam hatinya, Agung Sedayu berharap benda itu dapat bekerja dengan baik. Untuk beberapa saat kemudian, orang kepercayaan Ki Patih Mandaraka itu mengheningkan cipta. “Semoga tidak ada kesalahan dengan rencana ini dari awal pemikiran hingga pelaksanaannya. Hanya kepada-Mu, Yang Maha Agung, kami semua menggantungkan harapan dan masa depan,” ucap senapati Mataram  itu dalam hatinya.

Yang terhormat Pembaca Setia Blog Padepokan Witasem.

Kami mengajak Panjenengan utk menjadi pelanggan yang lebih dulu dapat membaca wedaran Kitab Kyai Gringsing serta kisah silat lainnya dari Padepokan Witasem. Untuk mendapatkan kelebihan itu, Panjenengan akan mendapatkan bonus tambahan ;

Kitab Kyai Gringsing (3 Jilid PDF) dan Penaklukan Panarukan serta Bara di Bukit Menoreh (KKG jilid 4) bila sudah selesai. Caranya? Berkenan secara sukarela memberi kontribusi dengan nilai minimal Rp 25 rb/bulan melalui transfer ke

BCA 822 05 22297 atau BRI 31350 102162 4530 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi transfer mohon dikirimkan ke WA 081357609831

Tanya Jawab ; T ; Bagaimana jika Kitab Kyai Gringsing Buku ke-4 sudah selesai? Apakah akan ada kelanjutannya?

J ; Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik demi keberlangsungan kisah..

Demikian pemberitahuan. Terima kasih.

Sekali lagi, Agung Sedayu memandang pada arah matahari membangkitkan diri, lalu mengalihkannya pada udara di atasnya. “Sesaat lagi, mungkin lima atau dua puluh tarikan napas lagi,” ucap Agung Sedayu dalam hati menyabarkan diri. Jari-jari Agung Sedayu cepat membuka selubung penutup benda pemberian Nyi Banyak Patra yang seukuran ibu jari.

Menyala! Ternyata benda itu mirip dengan celupak tapi bekerja dengan waktu dan usaha yang lebih ringkas.

Angin belum bertiup kencang ketika Agung Sedayu mendekatkan tiga batang anak panah berminyak pada nyala api yang berasal dari benda itu. Dengan ketangkasan dan kecepatannya, murid Kyai Gringsing itu membidikkan tiga anak panah berturut-turut pada tiga jurusan yang berbeda! Semuanya tepat menghunjam atap-atap kemah yang berbahan jerami kering! Berturut-turut dia membidikkan beberapa anak panah lagi pada arah yang tak beraturan!

Menyusul tanda yang dilepaskan Agung Sedayu, Sayoga dan Sukra segera melakukan pekerjaan yang sama. Mereka membidikkan panah pada sasaran acak. Dua anak muda itu tidak melepaskan secara ngawur tapi itu kesengajaaan karena mereka harus terus bergerak – beralih tempat untuk mengalihkan perhatian lawan dari serangan senyap yang datang dari arah yang lain. Hujan api dari Sayoga dan Sukra ini sulit diperkirakan karena panah datang searah dengan arah sinar matahari. Siasat cerdas yang ditopang kemampuan serta kemauan hebat dari dua punggawa handal membawa akibat mengerikan bagi pasukan pemberontak. Gaduh dan sangat ribut! Mendadak perkemahan pasukan Ki Garu Wesi pun dilanda kekacauan yang tidak mereka perkirakan sebelumnya.

Untuk berapa lama dua anak muda berkepandaian cukup itu menebar kengerian pada orang-orang yang menduduki sebagian wilayah kademangan? Entahlah, tapi sepertinya anak panah di punggung mereka berdua masih belum seluruhnya keluar dari endong.

Terdengar kemudian aba-aba pada sejumlah orang yang diperintahkan untuk mencari para pemanah gelap. Beberapa orang tampak bergegas menyambut perintah sambil berlari dan meliuk-liuk menghindari panah api yang terlontar dari segala arah. Hingga seorang lelaki paruh baya melihat wajah Sukra dengan jelas lalu berteriak, “Hey, bukankah engkau ini pesuruh yang dibuang oleh orang-orang Tanah Perdikan?”

Sukra memandangnya sekilas tapi tidak menyahut. Dia teguh pada garis perintah Agung Sedayu. Tubuhnya tetap berloncatan, bergeser tempat sambil menjauh dari sebagian orang yang mulai dapat menebak sumber lontaran api. Para pengejarnya melontarkan kata-kata keji dan umpatan yang memanaskan hati, tapi Sukra masih sanggup menutup telinga.

Sayoga membalas perkataan mereka. “Ini, rasakan pembalasan oleh sebab kalian membakar perkampungan kami!” Sayoga tidak sedang menipu atau mengalihkan perhatian para pengejarnya. Dia menunjuk pada arah Pedukuhan Janti lalu tampaklah pemandangan yang menggetarkan hati lawan-lawannya.

Dari arah Pedukuhan Janti terlihat asap membumbung tinggi. Itu seolah menjadi tanda bahwa daerah sekitar Watu Sumping sudah dikepung oleh api. Pemimpin para pengejar cepat berpikir, mungkin ada senjata di balik asap. Dia berseru pada anak buahnya, “Tahan!”

Tapi laki-laki yang menghina Sukra menyambutnya dengan tawa sambil memperlihatkan raut wajah ejekan. Dia tidak menggubris perintah itu dengan berseru pada Sayoga, “Aku tidak bicara denganmu, nyambik!” Cecunguk Ki Garu  Wesi itu memburu Sukra. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, dia berteriak lagi, “Kau, Pesuruh! Benarkah bayi perempuan itu anak Agung Sedayu? Harusnya dia itu anakmu karena engkau tiap malam berdiam di rumah Ki Demang. Lalu, bagaimana rasa tubuh Sekar Mirah?”

Sukra berbalik arah dengan wajah yang benar-benar sangar! Seperti tidak ada lagi sorot mata welas atau kegeraman perang, tapi keinginan untuk membunuh!

Sayoga mengetahui perubahan itu. “Sukra! Tahan! Mereka hanya ingin mengacaukan serangan ini!” lantang Sayoga berkata. Sayoga terus mengatakan kata-kata yang senada tapi Sukra seolah tidak mau mendengar ucapan Sayoga. Kekhawatiran merambah cepat pada hati Sayoga. Bukan karena Sukra dapat mati mengenaskan di tangan gerombolan itu, tapi bagaimana menghadapi Agung Sedayu bila mereka selamat?

Sukra, belalang tempur Pangeran Purbaya, sudah dibakar amarah. Dia melabrak lelaki itu dengan sekuat tenaga. Tandangnya begitu hebat hingga beberapa orang terlempar saat mencoba menghadangnya. Kemarahan Sukra seolah-olah tumpah tak terkira.

Setiap orang yang mengejar pun senang karena mereka merasa berhasil menjebak satu mangsa. Tanpa ada perintah, sebagian kemudian memusatkan perhatian pada Sayoga. Sepertinya orang-orang itu berpikiran sama bahwa jika dua anak muda itu berhasil dipisahkan, maka selanjutnya pasti menjadi lebih mudah. Dada mereka bergelora penuh semangat. Setelah beberapa orang terlempar, mereka segera bangkit menyambut serangan Sukra dengan senjata terhunus dan mengkilap diterpa sinar matahari. Empat orang mengurung Sayoga yang terlihat sedang mendekati Sukra.

Kunjungi lapak kami dalam jaringan.

Tersedia dan dapat dipesan online. Klik di sini

Sekilas Sukra melihat empat orang berlarian ke arah Sayoga, maka dia tersentak! Sadar bahwa dirinya sudah terjebak dalam perangkap kata-kata lawan, Sukra cepat melemparkan dua anak panah pada dua musuhnya. Saat mereka menghindari lontaran itu, Sukra berkelebat lincah lalu berpindah ke tempat yang dapat dijangkau Sayoga. Sejenak kemudian, dua pemuda tangguh itu menyisir tepi luar Watu Sumping, mengarahkan langkah ke perbatasan Pedukuhan Janti. Walau demikian, Sayoga dan Sukra dapat bergantian menghadapkan diri ke belakang, menghambat laju pengejar dengan lontaran panah yang sudah tak berapi. Tapi dua anak muda itu tidak tergesa-gesa menuju tempat Dharmana dan para pengawal. Ketika pengejaran itu berhenti, Sukra dan Sayoga juga berhenti. Namun mereka pun tidak berusaha memancing lawan agar masuk dalam jangkauan serang Dharmana dan kawan-kawan. Pada saat kawanan pemberontak itu mundur ke perkemahan, Sayoga dan Sukra turut bergerak maju mengikuti mereka. Siasat yang cukup membingungkan pengikut Raden Atmandaru! Hingga ketua mereka memutuskan untuk meninggalkan dua pemuda yang berasal dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Meski begitu, Sayoga dan Sukra tidak berdiam diri di tempat mereka melainkan tetap mengikuti pergeseran lawan sampai batas tanah lapang Watu Sumping.

Di belakang mereka berdua, Dharmana secara diam-diam juga bergerak maju bersama-sama gabungan pengawal pedukuhan induk dan Jagaprayan. Meski demikian, kelompok Dharmana hanya dapat menyerang jika Sayoga memberikan tanda. Sedangkan dari arah mata angin yang lain, sebelum api di Watu Sumping menyala, utusan Pangeran Selarong menemui Ki Tumenggung Untara kemudian menyampaikan padanya ; bahwa Pandan Wangi membagi kekuatan pedukuhan lalu menempatkan mereka di sejumlah titik dengan beberapa tujuan. Laporan tersebut pun ditanggapi Ki Untara dengan penunjukkan Sabungsari agar segera mengisi kekosongan di Jagaprayan dan beberapa pesan penting lainnya. Sabungsari pun memimpin pasukan Mataram dari Jati Anom lalu membanjiri Pedukuhan Jagaprayan.

Kisah Terkait

Bara di Bukit Menoreh 45 – Pangeran Selarong di Mata Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 9 – Pertempuran pun Pecah di Pelataran Banjar

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 11 – Saksi Kematian Pengkhianat

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.