Hingga pertengahan malam itu, sepertinya ada siasat lain yang belum diselesaikan oleh Ki Garu Wesi. Ataukah orang itu memang sudah membuat rencana susulan yang diyakini dapat menggemparkan seluruh kademangan? Malam terus bergulir hingga terlihat jelas memang ada bahaya yang tersisa di pedukuhan induk!
Tak jauh dari rumah Ki Demang, seorang lelaki berusia lanjut tegang memandang bagian samping bangunan lalu melemparkan tatapannya pada ujung-ujung jalan yang terjangkau olehnya. Sekali-kali terdengar helaan napas panjang darinya. Duduk rapat di sampingnya adalah Bunija yang juga terjangkit cemas karena sikap lelaki sepuh itu.
“Kyai,” tanya Bunija lirih, “mungkinkah memang ada serangan yang ditujukan pada Nyi Sekar Mirah?”
“Sejujurnya, aku tidak tahu tapi Nyi Pandan Wangi telah memerintahkan kita untuk berjaga dan bersiap atas segala kemungkinan,” jawab lelaki sepuh yang ternyata Kyai Bagaswara. Setelah membuat penilaian atas keadaan yang sedang terjadi di Sangkal Putung, Kyai Bagaswara tidak segera kembali ke Tanah Perdikan. Kenangan pahit pembakaran padepokan yang dilakukan Ki Tumenggung Purbarana membuka luka yang telah lama mengering. Kyai Bagaswara tidak ingin peristiwa kejam itu terulang di Sangkal Putung meski dengan keadaan yang berbeda. Maka dia pun pergi diam-diam menemui Pandan Wangi lalu mengutarakan keinginan dan rencananya.

“Bagaimanapun, putri Ki Rangga sudah seperti… menjadi cucu sendiri,” ucap Kyai Bagaswara sewaktu bertemu Pandan Wangi, “maka dari itu, apakah mungkin bagi saya meninggalkannya seorang diri dan hanya ditemani oleh ibunya saja?”
Pandan Wangi dapat mengerti isi hati lelaki yang menolong persalinan Sekar Mirah itu lalu tersenyum. Katanya kemudian, “Kyai dapat memercayakan segalanya pada kami.”
Kyai Bagaswara menggeleng. “Aku telah kehilangan padepokan tapi itu bisa dibangun kembali jika sudah tiba waktunya. Sedangkan keselamatan bayi itu? Tentu saja kita dapat berharap campur tangan Yang Maha Sempurna, tapi bukan berarti aku hanya diam dan melihatnya menderita.” Lelaki sepuh itu kemudian mematung dengan pikiran yang berisi kemungkinan terburuk. Lalu dia berkata, “Mungkin saja Ki Rangga dapat memukul mundur lawan, tapi siapa yang dapat mengira seandainya ada orang yang tega merenggut kebahagiaan beliau? Kekacauan seperti ini pasti membutakan hati dan pikiran seseorang.”
Pandan Wangi merenungi ucapan Kyai Bagaswara cukup lama sebelum memberi jawaban. Setelah menjelaskan keadaan yang belum diketahui Kyai Bagaswara, Pandan Wangi melanjutkan pembicaraannya dengan penjabaran siasat pengamanan kediaman Ki Demang Sangkal Putung. Pada beberapa hal, Kyai Bagaswara mempunyai saran yang menurut Pandan Wangi memang baik untuk diterapkan. Salah satu masukan Kyai Bagaswara adalah mengosongkan bagian depan kediaman dari penjagaan.
Meski ada kemungkinan para pemberontak lolos dari jebakan, tapi Pandan Wangi tidak mempunyai pandangan lain. “Lebih baik mereka lolos dari jebakan daripada melontarkan panah api ketika melihat penjagaan yang cukup rapat,” ucap putri Ki Gede Menoreh itu perlahan.
Kyai Bagaswara mengangguk lalu mengatakan bahwa dirinya akan berada pada jarak kurang tiga puluh langkah dari tempat Sekar Mirah. Pembicaraan pun diakhiri dengan kesepakatan bahwa Kyai Bagaswara tidak dilibatkan dalam persiapan besar. Pemangku Padepokan Tegal Payung itu mempunyai kebebasan untuk menentukan kedudukannya sendiri.
Demikianlah, Kyai Bagaswara melakukan perondaan di sekitar lingkungan rumah Ki Demang sampai melihat kedudukan para penjaga yang dipimpin Bunija. Kyai Bagaswara meronda sendirian sehingga keberadaannya cukup tersembunyi dari pengamatan lawan.
Dalam waktu itu, ketegangan di sekitar mereka, Kyai Bagaswara dan Bunija, meningkat tajam ketika bayangan orang tak dikenal semakin dekat dengan rumah Ki Demang. Kyai Bagaswara mulai mengukur tingkat kemampuan para pendatang gelap itu dari cara mereka bergerak. Sedikit demi sedikit dia mulai memunculkan harapan bahwa kemampuan para pengawal dapat mengimbangi lawan jika terjadi perang terbuka.
Perlahan-lahan sejumlah bayangan telah berada di samping halaman rumah Ki Demang. Beberapa lagi ada berada di seberang regol dan hanya terpisahkan oleh lebar jalan utama. Tapi, mereka sepertinya berdiam diri. Tidak ada yang bergerak lagi.
Kyai Bagaswara memicingkan mata. Meski sudah berusia lanjut tapi dia memperhatikan segalanya. Kyai Bagaswara lantas memberi tanda pada Bunija agar tetap tenang. Dari tempatnya, Kyai Bagaswara membuat perkiraan bahwa sekalipun tampaknya orang-orang itu berpencaran tapi mereka terhubung melalui garis bayangan. Serangan ini tentu bukan pekerjaan ringan karena kematian adalah akibat yang sudah dapat dipastikan, pikir Kyai Bagaswara. Mereka pun sudah tentu membuang jauh kemungkinan melarikan diri.
Pada kelompok pendatang gelap, pemimpin mereka mengerutkan kening. Dia dapat menduga bahwa ada pengosongan penjagaan di balik regol halaman. “Di luar, para peronda masih berkeliling tapi aneh…,” ucap lelaki itu dalam hatinya. Ada semacam penghindaran yang ganjil, menurutnya. Para peronda seolah menjauh dari bagian depan rumah Ki Demang. Mereka sama sekali tidak masuk atau sekedar mengintip bagian dalam halaman, sementara gardu jaga pun terlihat kosong!
“Apakah ini jebakan untuk kita?” Pertanyaan itu lirih terucap dari pemimpin pendatang gelap.
Orang yang berada di sebelahnya kemudian menyahut, “Lalu, apakah kita harus mundur?”
Pemimpin kelompok itu mengumpat dengan suara pelan. Dia melihat sejenak pada arah langit, lalu berulang-ulang berpaling ke beberapa penjuru angin seperti sedang memperkirakan atau merasakan sesuatu di dalam pikirannya. Malam mungkin sudah mengambang cukup jauh meski belum masuk wayah sirep bocah.
“Apakah ada pertanda buruk?” pemimpin kelompok itu bertanya lagi tapi dia tidak membuthkan jawaban. “Jika Ki Garu Wesi meraih kemenangan, pada waktu sekarang pasti kita mendengar sorak sorai dari kawan-kawan yang kegirangan. Perempuan dan harta jarahan sudah pasti akan menuntun mereka ke dalam pedukuhan. Tapi sejauh kita menuju ke rumah itu, suasana begitu senyap.”
“Apakah itu berarti Ki Garu Wesi menelan kekalahan?” Orang di samping pemimpin kelompok bertanya lagi.
“Belum tentu,” sahut pemimpin kelompok. “Kita tidak dapat menduga yang sebenarnya terjadi di Watu Sumping. Aku minta kau dapat mengingat bahwa ada harga untuk perintah ini. Walau begitu, suasana sekitar sini cukup mengganggu!”
Orang yang di dekatnya tidak lagi bersuara. Barangkali dia sudah sibuk dengan yang diucapkan oleh pemimpinnya. Mereka datang berkelompok dengan tugas khusus dan memang benar bahwa ada kekhususan bila mereka bersedia melakukannya, terlepas dari berhasil atau tidak!
Sedangkan di kelompok yang merapat pada dinding samping pun tampak gelisah karena merasa terlampau lama menunggu perintah.
“Apa yang sedang kita tunggu?” tanya seorang lelaki yang rambutnya terurai.
“Aku tidak tahu,” jawab orang yang berpakaian warna merah. “Kita hanya diperintahkan menunggu sebelum menerobos masuk rumah ini.”
Orang yang mengurai rambutnya itu kemudian berkata lirih, “Aku tidak pernah menyangka akan mendapatkan tugas ini. Imbalan yang cukup menarik dan dapat menjadi jaminan untuk keluargaku di desa. Mungkin aku akan mati di tempat ini tapi Ki Garu Wesi adalah orang yang dapat dipercaya.”
Orang berkain merah itu mengambil sejumput tanah lalu menggosok-gosoknya pada setiap ujung jarinya. Menurut orang ini, kepercayaan temannya adalah hal yang aneh tapi dia tidak ingin mengatakan sesuatu lagi.
Benarkah mereka memercayai orang yang tepat? Benarkah akan ada sesuatu yang dapat menghidupi keluarga di kampung atau desa asal mereka? Percakapan itu merambat pada gelombang udara malam. Beberapa orang ikut mendengarkan tapi mereka tidak mengungkapkan isi pikiran masing-masing.
Tiba-tiba salah satu dari mereka mengangkat kepala. Orang ini seperti sudah mendapatkan kepastian bahwa tidak lagi terdengar gemuruh dari arah Watu Sumping. Dia berkata tegas dengan suara pelan, “Sekarang!” Kemudian pemimpin kelompok itu menirukan suara burung kedasih.
Kekalutan gagal menerobos ruang pikiran setiap orang saat perintah telah dijatuhkan. Para pendatang gelap itu kembali tercengkeram oleh ketegangan.
Dalam sekejap mata, para pendatang gelap itu seolah terbang ketika melompati pagar pembatas halaman rumah Ki Demang. Seolah tidak menyimpan rasa gentar, mereka cepat menyusup, lalu bersembunyi di dekat tanaman atau benda yang sekiranya dapat menutupi tubuh mereka.
