Padepokan Witasem
Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 9 – Pertempuran pun Pecah di Pelataran Banjar

Simbara berusaha mendekati kelompoknya tapi Sukra ternyata mengubah cara bertempurnya lagi. Sukra sudah menduga bahwa Simbara akan sadar dari kelalaian, maka anak muda yang dapat dikatakan sebagai murid Glagah Putih itu segera menutup ruang gerak Simbara melalui serangan membadai.

Pertarungan dua anak muda itu pun begitu cepat meningkat menjadi sangat sengit. Sukra ternyata mengeluarkan banyak kejutan yang menghentak jantung Simbara. Selain kekuatan tenaga yang meningkat, tata gerak Sukra pun mulai banyak kembangan-kembangan yang menakjubkan. Sukra tidak mempunyai senjata khusus yang dibawa atau disimpan meski mulai kerap terlibat langsung dalam pertempuran. Sukra dapat memainkan pedang, golok atau cambuk sama baiknya. Maka ketika meladeni Simbara, Sukra pun tak gelisah dengan sabetan-sabetan pedang Simbara yang berukuran cukup panjang dan menyambar dari segala arah. Berbekal pedang pinjaman dari salah seorang pengawal kademangan, kemampuan memainkan senjata dari anak muda Tanah Perdikan itu meningkat sangat pesat. Boleh jadi, Pangeran Purbaya pun turut mematangkan unsur geraknya karena mereka berdua mempunyai waktu untuk bertemu selama di Sangkal Putung.

Maka cara pandang Simbara pada Sukra pun berubah meski tetap merasa lebih tinggi. “Apakah anak ini kerasukan danyang penunggu dusun ini?” Kening Simbara mengerut. Tapi dia tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berpikir karena Sukra nyata-nyata menggempurnya dengan garang. Lengan Simbara kerap berdenyut setiap kali mereka membenturkan senjata.

Simbara berupaya mengimbangi Sukra dengan pengerahan segenap kemampuan. Kecepatan dan kekuatannya pun menapak lebih tinggi tapi sepertinya Sukra terlalu tangguh baginya. Belalang tempur Pangeran Purbaya itu seolah dapat membelah wujud seperti Agung Sedayu karena kecepatannya yang jauh di atas Simbara. Kibasan senjata Sukra pun begitu dahsyat hingga gaungnya pun dapat didengar sampai baris belakang orang-orang dusun. Kaki tangan Raden Atmandaru yang berusia muda itu meloncat surut, menjauhi dari Sukra dengan sebuah pertanyaan dalam hati, “Apakah sudah terlambat?” Dia sudah berada jauh dari Pedukuhan Randulanang dan laskar induk Raden Atmandaru yang berada di Pedukuhan Janti.

loading...

Sebelumnya, Ki Garu Wesi memerintahkan Simbara untuk mengamati keadaan kotaraja menjelang keberangkatan Panembahan Hanykrawati ke Alas Krapyak. Namun selanjutnya, Simbara justru pergi ke tempatnya berguru, mengumpulkan anak-anak muda di sana lalu meminta mereka menyertai perjalanannya. Simbara, yang mempunyai cita-cita tinggi, berencana menguasai jalur perdagangan  Dusun Meguwa lalu menempatkan beberapa orang sebagai pengendali. Kemudian tahap berikutnya adalah memasuki kotaraja lalu meluaskan pengaruhnya di sana. Agar mendapat penghargaan tinggi dari Raden Atmandaru yang pernah menjanjikan kedudukan tumenggung padanya, Simbara pun merancang kerusuhan yang hampir serupa dengan kebakaran di Tanah Perdikan dan Jati Anom.

Tapi dari salah seorang petugas sandi yang disebar Pangeran Purbaya di sekitar Sangkal Putung dan Jati Anom, Ki Tumenggung Untara mendapatkan laporan mengenai segala keadaan yang terhubung dengan Simbara. Maka, atas kepercayaannya pada Agung Sedayu sebagai adiknya dan Pangeran Purbaya, tumenggung yang berkuasa penuh di lereng selatan Merapi pun cepat membuat sejumlah keputusan yang menentukan. Di antaranya adalah memerintahkan pengawal Sangkal Putung melakukan pengejaran lalu menugaskan Sukra sebagai pengawal pribadi untuk Bunija. Kekurangan jumlah pada laskar Sangkal Putung pun segera digantikan oleh sebagian prajurit Jati Anom. Maka dengan demikian, pasukan Ki Garu Wesi pun harus menunda rencana bila ingin menguasai kademangan sepenuhnya. Tentu mereka akan berhadap-hadapan dengan prajurit Mataram yang sudah pasti akan memberi mereka kerugian sangat besar.

Selang beberapa waktu dari perintah Ki Tumenggung Untara dijatuhkan, para pengawal yang dipimpin Bunija pun  dapat memergoki pergerakan kelompok Simbara lalu terjadi pengejaran yang berakhir di pelataran banjar.

Langit kembali menurunkan gerimis tapi itu sepertinya tidak akan dapat menjadi penolong yang baik bagi Simbara. Keadaan tidak lagi sama dengan awal mereka memulai pergerakan. Angin yang cukup kencang dan hujan rintik-rintik seolah-olah memuluskan mereka mewujudkan rencana. Tapi sepertinya Mataram dilindungi oleh kekuatan maha besar yang tak tampak oleh mata. Malam itu, Simbara dan gerombolannya benar-benar terjepit di pelataran banjar.

Demikianlah, rencana dan cita-cita Simbara mendapatkan tantangan yang sangat berat. Untuk itu, dia harus mencari cara agar tetap berada di atas rancangannya. Namun tandang Sukra ternyata mengecilkan semangatnya. Apakah pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu rela melepasnya? Sedangkan dia sendiri benar-benar tidak mampu melepaskan diri dari tekanan Sukra yang cukup terjaga. Dalam waktu yang hampir sama, Simbara juga melihat lalu menyadari bahwa kawan-kawannya pun mengalami hal yang sama dengannya.

Pada malam itu, di halaman banjar, dari gelagat Simbara, Sukra bukan tidak menyadari kemauan musuhnya tapi pertempuran sudah pecah. Darah sudah bercampur gerimis di atas tanah yang basah. Lumpur pun telah meninggalkan jejak pada kain dan kulit mereka yang berjibaku hantam di halaman. Lalu, minta menyerah atau mundur? Sukra tidak berpikir panjang karena telah menyerahkan segalanya pada Bunija. “Biarlah Kakang Bunija yang memutuskan seandainya anak ini tiba-tiba menyerah atau melarikan diri,” pikir Sukra pada saat mengambil alih Simbara dari tangan Bunija.  Walaupun, seandainya dia mau maka meringkus Simbara dapat dilakukannya lebih cepat. Tapi Sukra mempunyai pertimbangan lain. Anak muda Tanah Perdikan ini ingin menjaga perasaan para pengawal Sangkal Putung bahwa kemampuannya tidak lebih baik dari mereka. Dia hanya beruntung saja dapat menahan Simbara lebih lama, semoga mereka berpikir demikian, harap Sukra dalam hati. Maka dia pun berjuang keras menahan diri sampai Bunija mengeluarkan perintah baru atau keadaan memang mendukungnya.

Di barisan orang-orang dusun, bekel dusun dan jagabaya menarik napas lega. Pada mulanya, mereka yang cukup khawatir dengan pertahanan pengawal kademangan yang sempat porak poranda ketika Bunija berada di bawah tekanan. Namun, setelah Sukra mampu memisahkan Simbara dari kelompoknya, maka para bebahu dan orang-orang dusun dapat melihat bahwa keadaan mulai berubah. Ketika bekel dusun dapat memperkirakan bahwa perkembangan mengarah pada keadaan yang lebih baik, maka dia pun memerintahkan jagabaya agar membuat penjagaan dengan cara menyebar orang-orang ke beberapa tempat sambil meningkatkan kewaspadaan.

Agung Sedayu masih berada di tempat pengamatan. Dia mulai membuat perkiraan mengenai yang akan diperbuat Simbara. Dalam waktu itu, Agung Sedayu berharap kepala dusun dan Bunija dapat mengambil kesepakatan yang sekiranya menenangkan penduduk dusun yang masih bergejolak marah.

Di bagian selatan banjar, di dekat sebatang pohon gayam yang besar, Sukra masih bertempur dengan garang walau tidak sepenuh hati. Perhatian Sukra terpecah ketika Simbara mulai terasa mengendurkan daya gempurnya. Sukra menduga bahwa perubahan itu disebabkan sejak menyadari dirinya masuk perangkap Sukra. Simbara lebih banyak berloncatan menghindar sambil berusaha mendekati atau meneriakkan aba-aba untuk kelompoknya. Oleh sebab itu, Sukra pun hanya berusaha menjaga agar jarak Simbara jauh dari kelompoknya.

“Menyerahlah!” teriak Simbara pada kelompoknya secara tiba-tiba. Dia pun melemparkan senjata ke arah kelompok yang terdekat dengannya.

Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA  Terima kasih.

Banyak orang tak percaya dengan pendengaran mereka, termasuk Agung Sedayu dan para pengikut Simbara sendiri.

“Benarkah dia berkata seperti itu,” tanya Agung Sedayu pada dirinya sendiri. Dia mencoba meyakinkan dengan membandingkan sikap Simbara pada mula-mula hingga perintah itu diucapkannya.

“Cah edan!” tukas salah seorang pengikut Simbara. “Apa kau sadar dengan ucapanmu itu?”

“Ya, menyerahlah. Aku minta kalian semua menyerah lalu serahkan selebihnya padaku,” sahut Simbara.

Kepala dusun, jagabaya dan orang-orang dusun lainnya pun bernapas lega. Akhirnya pertumpahan darah dapat dihindarkan, demikian pikiran dan harapan mereka. Meski demikian, pertempuran di tiga lingkaran itu tidak segera berhenti. Para pengawal kademangan masih menunggu perintah dari Bunija Mereka sadar bila tidak dapat menghentikan tekanan begitu saja sedangkan pihak lawan masih mengayun senjata mereka.

Simbara segera berpaling pada Bunija kemudian berteriak, “Hey, perintahkan anak buahmu berhenti menyerang!”

Bunija meloncat surut lalu berkata, “Baiklah. Dalam hitungan ketiga, kita sama-sama melompat mundur.” Benarlah kemudian, setelah hitungan ketiga, para pengawal kademangan pun bergerak sesuai perintah ketua kelompok lalu cepat berhimpun di sekitar Bunija. Anak-anak muda Sangkal Putung itu tetap dalam keadaan waspada dengan senjata yang belum disarungkan. Dalam waktu itu, Sukra sudah melepas ikatan perkelahiannya kemudian mengayun langkah mendekati Bunija.

Salah satu kelompok pengikut Simbara pun cepat menanggapi sikap pengawal kademangan. Mereka bergeser surut lalu bergerak ke arah perkelahian Simbara. Beberapa di antara mereka berbicara lirih satu sama lain kemudian mengangguk-angguk. Sementara dua kelompok lainnya masih termangu-mangu dengan tatap mata tak percaya. Mereka masih bertanya-tanya satu sama lain, “Apa benar Simbara menyuruh mereka untuk menyerah?” Kemudian terlihat bahwa dua kelompok itu saling mendekat lalu membicarakan sesuatu sambil sekali-kali melontarkan pandangan pada Simbara, Bunija dan kepala dusun.

Agung Sedayu mengamati segala yang terjadi di pelataran banjar tanpa mengurangi kewaspadaan. Dia memandang heran pada dua kelompok Simbara yang masih berada di tempat bekas perkelahian. Agung Sedayu pun bertanya dalam hati, “Apa yang akan mereka lakukan?”

Saat melihat dua kelompok itu berbicara, murid utama Kyai Gringsing ini pun kesulitan untuk mendengarkan meski Sapta Pangrungu telah dikerahkan. Boleh jadi salah satu halangannya adalah suara orang-orang dusun yang bersahutan meluapkan kegembiraan, sekaligus juga pujian untuk para ketua kelompok dari anak-anak muda yang tidak berasal dari dusun mereka. Maka sikap dua kelompok Simbara itu menjadi sebab dugaan Agung Sedayu ; sesuatu yang janggal yang akan terjadi. Tapi, seperti apa kejanggalan itu? Agung Sedayu sama sekali tidak mempunyai perkiraan walau sudah berusaha keras meraba-raba di dalam pikirannya.

Wedaran Terkait

Bara di Bukit Menoreh 8 – Pembeda Itu Bernama Sukra

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 7 – Sukra dalam Pengamatan Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 6 – Agung Sedayu ; Benarkah itu Sukra?

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 5 – Agung Sedayu Mempermalukan Lawan!

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 4 – Agung Sedayu, Pemburu yang Diburu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 3 – Jebakan Agung Sedayu

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.