Padepokan Witasem
Langit Hitam majapahit, silat Bondan, Padepokan Witasem, Gajah Mada, Majapahit
Bab 16 Berbayang Mendung

Berbayang Mendung – 2

Sementara Gajah Mada telah membawa kembali pasukannya ke Kahuripan. Ia menyimpan rapat semua keterangan yang diperolehnya dari Ken Banawa dan semua yang ia saksikan di medan perang pun tersimpan rapi dalam benaknya. Ia merasa sedikit lega karena mendapatkan gambaran tentang pengaruh dari yang disebut sebagai awan hitam.

Namun demikian keadaan di kotaraja masih mencekam. Usaha-usaha orang yang menginginkan pergolakan tidak terhenti karena kegagalan Ki Sentot Tohjaya. Mereka yang lolos dari medan perang pun berhasil memasuki kotaraja dan melaporkan pada orang-orang yang berada dalam pusaran awan hitam. Mereka bekerja dengan cepat. Mereka telah menyiapkan langkah-langkah baru pada saat pasukan yang mengalahkan mereka masih larut dalam kegembiraan karena memenangkan peperangan.

Sehari setelah peperangan di dekat Kademangan Sumur Welut usai, seseorang berkata di sebuah pertemuan yang terjadi di sebelah barat istana raja, ”Aku telah mendapatkan laporan dari petugas sandi tentang keadaan di lereng Merapi. Akan datang serombongan orang yang pasti melintasi lereng Wilis. Kita akan lanjutkan usaha ini di tempat mereka melintas. Pesan ini tidak akan dapat dibaca dengan cepat oleh Jayanegara.“

“Apa yang akan terjadi kemudian?” bertanya seorang perwira padanya.

loading...

“Ia menginginkan adanya pergolakan di sekitar Merapi, Pang Randu. Keberadaan pasukan Ki Nagapati di wilayah itu akan menjadi senjata terbaik yang kita miliki. Kita harus pergunakan waktu yang singkat ini dengan sangat baik,” jawab orang berbaju merah dengan gelang emas di lengan kirinya.

“Malam ini kita harus siapkan orang untuk memberitahu orang-orang di padepokan. Mereka harus dapat menghadang rombongan yang menuju kotaraja,” seorang perwira di sampingnya menambahkan.

Selanjutnya mereka mematangkan rencana hingga hari beranjak senja.

Orang bergelang emas itu berkata kemudian, “Kita harus selalu mengatakan bahwa raja yang sekarang tidak lagi mempunyai kemampuan. Kepergian Ki Nagapati adalah bukti kelemahannya. Kita juga harus katakan pada mereka yang berseberangan bahwa mereka harus menentukan sikap dan harus berani untuk berubah. Kejayaan Majapahit tidak akan dapat diraih dengan sebuah mimpi. Ada saat untuk berjuang melawan, dan kalian harus meyakinkan bahwa perjuangan itu selalu ada bersama kita semua. Kita akan memberi bukti bahwa kita tidak menjadi lemah karena kekalahan di Sumur Welut.”

Orang-orang yang berada dalam ruangan itu mengangguk-angguk. Selanjutnya mereka berpisah dan menata kembali rencana-rencana yang disepakati agar dapat berjalan sesuai perkembangan.

 

Saat matahari telah terlihat di batas garis cakrawala, seorang lelaki menggendong jasad yang terkulai lemas di pundaknya. Ia menggali sebuah lubang di lereng gunung Semar,  beberapa lama kemudian lelaki itu bersimpuh di gundukan tanah yang basah.

“Angger, kau tidak dilahirkan oleh ibumu untuk menemui kematian di depan mataku. Dan sekali-kali aku tidak pernah menyalahkan diriku sendiri karena memintamu untuk menjadi seorang prajurit,” kata Ki Wisanggeni. Ia menarik sebatang rumput kemudian berkata lagi, ”Oh Tuhan Yang Agung, bukankah Kau benar-benar Maha Agung? Bukankah Kau adalah Yang Sempurna? Bukankah Kau yang Mutlak? Tetapi mengapa kau tempatkan aku pada keadaan seperti ini? Kau ambil satu-satunya harta yang paling berharga. Lalu Kau bisikkan dalam hatinya untuk melawanku.

“Oh Tuhan yang menyuruhku berbuat baik. Mengapa Kau tidak membalas kebaikanku? Bukankah aku tidak pernah menyimpang darimu? Segala persembahan dan semua puja puji aku lakukan untuk-Mu. Tetapi kini semua sirna. Semua persembahan dan segala pujaan itu tidak mempunyai arti sama sekali di hadapan-Mu. Aku tahu aku berulang kali berbuat salah pada-Mu tapi aku selalu kembali pada-Mu. Lalu mengapa Kau bunuh anakku? Mengapa?”

Ki Wisanggeni bangkit, berdiri dan tiba-tiba tangannya bergerak mengeluarkan angin pukulan menghantam tebing batu di sebuah gundukan kecil. Suara gemuruh yang ditimbulkannya dan tanah yang bergetar seolah menjadi gambaran rasa marah dan gelisah Ki Wisanggeni.

“Tidak!” desis Ki Wisanggeni. ”Engkau berbohong padaku. Bagaimana aku dapat percaya lagi pada-Mu?”

Usai berkata demikian, Ki Wisanggeni melompat ke punggung kuda dan melarikan kudanya menyusul tenggelamnya matahari.

 

 

Bersambung : Bara di Borobudur

Wedaran Terkait

Berbayang Mendung – 1

kibanjarasman

4 comments

gembleh 07/06/2021 at 20:17

Maturnuwun…

Reply
kibanjarasman 13/06/2021 at 09:15

Rahayu, Ki

Reply
andreas 09/06/2022 at 13:53

mantap…..

Reply
kibanjarasman 13/06/2022 at 20:55

matur nuwun rawuhipun, ki

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.