Padepokan Witasem
Langit Hitam majapahit, silat Bondan, Padepokan Witasem, Gajah Mada, Majapahit
Bab 16 Berbayang Mendung

Berbayang Mendung – 1

Gajah Mada menghampiri Bondan kemudian berjongkok di sebelah lelaki muda yang berasal dari Pajang itu. Lalu dengan lirih ia berkata, ”Sepintas aku mendengar kabar yang beredar di kalangan prajurit. Dan menurutku, keduanya tidak bersalah sama sekali, Bondan.”

Bondan mengangkat wajahnya.

Gajah Mada kemudian berkata lagi, ”Mereka telah melakukan yang seharusnya dilakukan oleh para pahlawan di medan perang. Mereka sama sekali tidak mengabaikan ajaran luhur tentang dharma bhakti. Aku minta padamu agar melepaskan kepergian Lembu Daksa.”

Bondan menatap lekat wajah Gajah Mada. Lantas ia bangkit berdiri dan meninggalkan medan pertempuran tanpa bercakap lagi.

loading...

Sementara itu diam-diam Gajah Mada mengagumi yang telah dilakukan oleh Bondan. Ia menganggap anak muda yang berdiri di sampingnya tadi benar-benar pantas menjadi perwira dalam keprajuritan Majapahit. Meski Gajah Mada menyimpan harapan tetapi ia tahu bahwa Bondan akan melanglang lebih jauh.

Orang-orang yang berada di medan perang itu masih hilir mudik melakukan berbagai kegiatan sekalipun hari telah menjadi gelap. Obor-obor telah menyala di banyak tempat. Sejumlah lubang yang cukup besar telah digali dan banyak orang yang dikuburkan menjadi satu. Mereka membedakan lubang yang berisi orang-orang Ki Sentot dengan yang lain. Sementara beberapa orang menaikkan beberapa jasad orang Wringin Anom dan Sumur Welut yang akan dirawat di kampung halaman mereka.

Malam semakin larut dalam pekat dan mereka yang masih berada di bekas medan perang itu tengah bersiap  meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Banyak di antara pengawal dua kademangan yang mengatakan tidak ingin kembali ke medan perang, namun mereka tahu keadaan tidak akan memberi banyak pilihan apabila waktu telah tiba.

 

“Lalu apa rencanamu selanjutnya?” bertanya Gumilang pada Bondan ketika mereka duduk berdampingan di bawah pohon trembesi sambil mengamati orang-orang yang hilir mudik di depan mereka.

“Aku akan berada di kotaraja.”

“Apakah kau mempunyai rencana untuk bergabung bersamaku?”

Bondan mengerutkan dahinya, lalu, ”Kau akan ke mana?”

Gumilang tersenyum kemudian berkata, ”Aku akan bergabung dengan pasukan berkuda yang berada di Watu Golong. Sebenarnya aku sudah merencanakan itu sejak lama, namun sepertinya memang harus ditunda karena keadaan yang berkembang selanjutnya.”

“Tidak, Gumilang,”  ucap Bondan sambil menundukkan wajah, ”aku belum mempunyai rencana yang tetap untuk saat ini. Aku rasa aku harus kembali ke Pajang. Lalu berbicara dengan guru mengenai apa-apa yang aku butuhkan di masa mendatang.” Ia menarik napas dalam-dalam. Kemudian ia melanjutkan ucapannya, ”Aku masih belum dapat mengerti tentang Lembu Daksa. Untuk sementara waktu, aku ingin mencari berita tentang Ki Wisanggeni.”

Gumilang melihat padanya, kemudian ia mengalihkan pandangannya menerawang jauh menembus gelap malam.

Hari telah menjelang senja ketika gabungan pasukan yang besar itu harus berpisah.

Pengawal-pengawal Kademangan Sumur Welut telah memasuki padukuhan induk saat para pengawal Kademangan Wringin Anom berjalan semakin dekat dengan wilayah kademangannya, sementara para prajurit Majapahit masih harus menempuh perjalanan yang sedikit jauh.  Mereka yang bergabung dan turut serta dalam peperangan merasa bangga karena berhasil memadamkan api pergolakan yang dikobarkan oleh Ki Sentot Tohjaya.

Kebanggaan itu seolah menjadi obat penawar rasa letih yang menerpa mereka semua. Ki Demang Wringin Anom pun menyambut pengawalnya dengan suka cita, bahkan ia kemudian menyiapkan sebuah kegiatan yang secara khusus untuk menyambut kemenangan itu.  Ki Demang terlihat dalam barisan orang-orang yang menyambut para pengawal. Bahkan Arum Sari pun begitu gembira. Ia terlihat seperti mencari dan menunggu kedatangan seseorang. Ki Demang yang mengetahui tingkah laku Arum Sari kemudian bertanya, ”Adakah kau sedang mencari satu atau dua anak muda?”

“Ayah!” Arum Sari mencubit lengan ayahnya dengan muka tersipu.

Ki Demang pun mengalihkan perhatiannya kembali ke barisan pengawal yang berjalan pelan menuju banjar pedukuhan induk.

Di antara kegembiraan itu, terselip kepedihan bagi mereka yang ditinggalkan. Ki Demang Wringin Anom dan para pemimpin Sumur Welut kemudian membesarkan hati mereka bahwa pengorbanan besar dari anggota keluarga tidak pernah dilupakan. Dan mereka yang meninggal akan abadi dalam kehidupan yang terus berjalan di dua kademangan.

Wedaran Terkait

Berbayang Mendung – 2

kibanjarasman

2 comments

gembleh 07/06/2021 at 20:12

Maturnuwun…

Reply
kibanjarasman 13/06/2021 at 09:15

Sami-sami, Ki

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.