“Keputusan itu adalah yang terbaik untuk Mataram,” sahut Ki Anjangsana.
“Tetapi itu bukan kebenaran.”
“Benar tapi tidak ada yang mengetahui kebenaran yang sejati. Kebenaran yang kita yakini berasal dari sudut pandang masing-masing.”
Meski telah meloloskan senjatanya yaitu keris yang panjangnya kira-kira seukuran lengan, tapi Ki Tumenggung Wilaguna tidak segera menerjang Ki Anjangsana. Ia tahu kemampuan Ki Anjangsana pasti berada di atas rata-rata prajurit yang mengawal Panembahan Hanykrawati.
“Aku tidak mengira Ki Tumenggung berada di balik ini semua.”
Ki Tumenggung Wilaguna mengerutkan kening, lalu berkata, “Aneh, bukankah kau tadi mengatakan bahwa Mataram telah mempunyai susunan nama-nama para pembelot. Lalu, mengapa kau masih berpikir seperti itu?”
“Aku hanya berharap bahwa ada kesalahan dalam laporan petugas sandi. Namun, ternyata, kau benar-benar berkhianat,” kata Ki Anjangsana. “Lagipula, tidakkah kau berpikir bahwa Raden Atmandaru sudah mengetahui setiap pengkhianat pasti menyimpan kemungkinan untuk berbuat yang dua kali? Ia pasti berkeyakinan kau akan mengkhianatinya di masa mendatang.”
Ki Tumenggung Wilaguna tertawa. Katanya, “Jangan berpikir terlalu jauh. Aku sengaja membuang Mas Jolang dari jajaran pemimpin Mataram karena Danang Sutawijaya tidak berhak membuat pengakuan sebagai penerus Pajang. Jika kau dapat menggunakan sedikit bagian dari otakmu, aku yakin kau tidak akan berada di sisi itu.”
“Itulah anggapanmu,” tukas Ki Anjangsana. “Itu anggapan yang muncul dari ketidakmampuanmu berpikir panjang. Lalu, hey, apakah kau akan bertempur seperti anak buahmu atau kita hanya berdiri sambil ngobrol saja di tempat ini?” Ki Anjangsana mengangkat bahu lalu menggerakkan tangan seolah-olah sedang mengingatkan lawannya tentang keadaan saat itu.
Ki Tumenggung Wilaguna mundur setapak. Sepertinya tidak ada peluang untuk memancing kemarahan lawannya. Sebab itu, ia memutar keris lalu menerjang Ki Anjangsana dengan kekuatan penuh. Dalam sekejap kemudian, perkelahian sengit beradu dada pun terjadi.
Pada tebing yang sebelah menyebelah dengan tempat Ki Anjangsana menyergap Ki Tumenggung Wilaguna serta anak buahnya, beberapa orang sudah siap dengan serangan berikutnya. Mereka bertanggung jawab penuh untuk menjaga agar suasana di lembah tetap kacau. Selain itu, mereka juga harus menyerang agar tidak ada jeda jika kawan-kawannya berganti giliran. Dan itulah rancangan Ki Tumenggung Wilaguna agar mereka secepatnya meraih kemenangan dengan membunuh Panembahan Hanykrawati di lembah sempit. Dengan demikian, anak panah dan lembing turun deras seolah-olah tidak akan berhenti.
Pada waktu yang sama, Ki Baya Aji dan Kinasih serta sejumlah prajurit menaiki tebing terus selangkah demi selangkah. Mereka hampir pecah perhatian ketika melihat sebuah kereta terbakar. Namun Ki Baya Aji tetap memerintahkan agar bergerak maju tanpa perlu melihat yang sedang terjadi. “Musuh sudah berada di depan kita. Kita hanya perlu menumpas mereka. Seandainya Panembahan tidak tertolong dari kebakaran itu, bukankah kita sudah menjalankan perintah? Apa yang kita khawatirkan sedangkan Ki Rangga Agung Sedayu sudah pasti berada di dekat Panembahan?” kata Ki Baya Aji saat kelompoknya berhenti untuk menyaksikan suasana di bawah mereka.
“Marilah, para lelaki tangguh Mataram. Sebentar lagi kita akan mencapai tempat mereka lalu kita dapat menumpas mereka sebagai pembalasan,” ucap Kinasih penuh semangat. Gadis muda itu seakan-akan lupa tentang bagian dalam tubuhnya yang terluka. Namun, jauh di dalam hatinya, Kinasih mengkhawatirkan keadaan Panembahan Hanykrawati dan orang yang pernah dirawatnya. Tanpa sadar, bibirnya bergerak lalu bersuara lirih, “Kakang…” Kesadaran Kinasih cepat terlontar lalu sepenuhnya memegang kendali diri ketika desir kaki para prajurit menerobos masuk pendengarannya.
Prajurit Mataram telah menghentak semangat lebih hebat. Maka mereka bergerak lebih cepat sambil mempersiapkan diri untuk mematuk dan menyengat lawan dengan bisa mematikan.
Selang beberapa lama kemudian, dari tebing seberang terdengar tempik sorak yang menyiratkan kemenangan. Salah satu anak panah anak buah Raden Atmandaru melesat deras dan tepat mengenai kantung berisi minyak yang berada di dekat sebuah kereta kuda. Mereka mengira Panembahan Hanykrawati berada di dalamnya karena tampilan luar kereta yang cukup mewah. Sudah keharusan untuk raja berada di dalam kereta khusus dengan perhiasan yang lain dari kereta petinggi lainnya, demikian pikiran mereka.
“Kita terlambat,” desis seorang lurah.
“Apa yang akan kita perbuat?” sahut orang yang berada di sampingnya.
Ki Baya Aji dan Kinasih menghentikan langkah, lalu berpaling pada arah kereta yang terbakar. Ki Baya Aji lantas memandang pasukannya dan pasukan lawan seolah sedang mengukur jarak antara mereka. “Hujan panah harus segera dihentikan,” katanya dalam hati. Kemudian ia memberi tanda agar salah satu pemimpin kelompok mendekat padanya. Bisik Ki Baya Aji padanya, “Katakan, kita akan membuat pertahanan terbaik untuk Mataram dengan menyerang mereka seperti rencana awal. Orang itu mengangguk lalu kembali ke barisan sambil mengabarkan pesan Ki Baya Aji.
Dari jarak terukur, Ki Baya Aji menghentikan pasukannya. Ia membuat pengamatan sejenak dan terlihat olehnya orang-orang suruhan Raden Atmandaru seperti sedang berada di puncak kemenangan. Ki Baya Aji lantas memeriksa kesiapan kelompoknya. Mereka berdiam diri dalam susunan yang mengesankan. Wajah mereka tampak tegang tapi tidak ada kekhawatiran pada garis-garis muka. Waktu untuk meledak semakin dekat. Sekali Ki Baya Aji menggerakkan tangan, letusan dahsyat segera terjadi lalu gelombang panas prajurit Mataram akan melibas orang-orang yang berada di depan mereka.
Keheningan yang mengerikan.
Meski beberapa prajurit Mataram memperlihatkan gelagat tidak sabar tapi mereka berusaha memaksa diri. Dan waktu yang ditunggu pun tiba. Para prajurit Mataram segera mengembangkan serangan melalui gelar supit urang yang telah disesuaikan dengan jumlah mereka. Mereka melompat dan menerjang dengan senjata berayun kuat. Setiap kelengahan lawan akan dibayar dengan senjata yang tertancap pada tubuh mereka. Dipimpin Ki Baya Aji dengan teriakan dan suara yang khas, para prajurit Mataram menyerbu lawan seperti angin prahara yang menggila.
Dalam sekejap, serangan anak panah, lembing dan senjata-senjata berujung api pun berhenti. Ini benar-benar kejutan yang mengerikan, pikir mereka. Kedudukan pun berubah seketika. Mereka cepat membuang anak panah dan busur lalu mencabut senjata yang tergantung di pinggang atau punggung masing-masing. Pemimpin kelompok Raden Atmandaru yang bernama Ki Ental Sewu menatap penuh marah lalu berteriak, “Inikah cara orang Mataram bertempur? Seperti inikah orang-orang Mataram meraih kemenangan? Hey, mengapa kalian tidak menyerang kami dari depan? Tentu, tentu saja kalian takut melakukannya.”
Ki Baya Aji tidak menghiraukan kata-kata yang pasti dilontarkan karena kesal. Jika dalam suasana damai, Ki Baya Aji dan Kinasih serta yang lain pasti akan tersenyum geli. Namun keadaan tidak mengizinkan mereka untuk memperhatikan suara-suara lawan yang tentu bernada sumbang.
“Gandrik!” Ki Ental Sewu memaki dalam hati. Ia tidak menduga bahwa orang-orang Mataram dapat mencari jalan lalu melaluinya dalam waktu yang cepat. Pikirnya, gempuran mendadak ini tidak perlu terjadi bila ada orang yang ditempatkan di bagian belakang untuk mengawasi pergerakan prajurit Mataram bila mereka menyergap dari belakang. Dalam waktu itu, ia tidak ingin menyesal karena tugasnya adalah mendukung serangan yang direncanakan oleh Ki Tumenggung Wilaguna. Lagipula, ia mendapatkan keterangan bahwa hanya segelintir orang yang menyertai Panembahan Hanykrawati berburu dan hanya satu nama yang harus diperhitungkan, Agung Sedayu. Namun tidak ada yang mengira bahwa di antara segelintir orang itu justru terdapat perempuan yang berkemampuan berlipat-lipat di atas pengikutnya.
“Bersemangatlah, bertarunglah! Mataram datang untuk memberi kalian hadiah seorang perempuan. Habisi mereka lalu kalian menikmati tubuhnya sepanjang malam!” Ucapan lantang Ki Ental Sewu disambut gegap gempita oleh segenap anak buahnya Dan ternyata mereka memang tidak menunggu perintah menyerang dari Ki Ental Sewu. Para pengikut Raden Atmandaru itu sudah menyambut serangan Mataram dengan terjangan hebat diikuti kata-kata kotor yang menyakitkan telinga.
“Tetap pada barisan! Tetap pada barisan!” Ki Baya Aji menanggapi senapati lawan dengan perintah pada anak buahnya sambil berlari untuk membenturkan kekuatannya. Prajurit Mataram dapat membalikkan keadaan dalam waktu singkat. Meski berjumlah lebih sedikit tapi di tengah-tengah mereka ada Kinasih yang mengamuk hebat. Murid Nyi Ageng Banyak Patra yang sedang menyimpan perasaan pada seseorang ini benar-benar sangar tidak kepalang! Kinasih – yang tampak lemah gemulai dalam keadaan wajar – tiba-tiba seperti badai yang datang pada saat malam tiba sedangkan tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan menyapu bersih seluruh desa.
Terbuka lebar mata para pengikut Raden Atmandaru bahwa perempuan yang disebut sebagai hadiah itu ternyata adalah perempuan yang berkemampuan sangat tangguh. Kinasih mampu mengikat lalu mendesak tiga orang lawan dengan sangat hebat. Meski kadang-kadang harus menahan nyeri pada bagian dalam, Kinasih cukup gigih mengadakan tekanan. dengan gigih. Sekali-sekali ia menusuk lingkar perkelahian yang berada di dekatnya lalu kembali menekan tiga lawannya. Kinasih benar-benar menjadi lawan yang sangat merepotkan barisan lawan.
Kelebihan jumlah pada kelompok Ki Ental Sewu ternyata tidak memberi arti penting pada perkembangan selanjutnya. Meski mereka adalah orang-orang yang terlatih dan berpengalaman dalam perkelahian, tapi latar belakang serta pengetahuan peperangan masih berada di bawah rata-rata prajurit Mataram. Oleh karena itu, Ki Ental Sewu cukup sulit mengubah gelar atau memberi aba-aba agar keadaan menjadi seimbang. Menjadi jauh lebih terjal karena sepak terjang Ki Baya Aji mampu merusak garis pertahanan yang mereka buat. Sering kali Ki Baya Aji melompat jauh dari jangkauan Ki Ental Sewu lalu menyerang lawan semata-mata agar lawan teralihkan perhatiannya. Ditambah kata-kata bahwa senapati Panembahan Hanykrawati telah mencapai keseimbangan di bagian lembah. Atas perkembangan seperti itu, Ki Ental Sewu mengumpat di dalam hati. Ia harus berjuang ganda untuk mengekang Ki Baya Aji yang cukup cerdik menggoyang gelar perang serta jiwani pasukannya.
Perkelahian di dua dataran tinggi itu pun semakin riuh. Kemampuan Ki Tumenggung Wilaguna tampaknya memang sepadan dengan kedudukannya. Ia cakap mengubah siasat serta menyimpan kemampuan olah kanuragan yang dapat mengatasi gempuran Ki Anjangsana. Pada bagian ini, pertempuran berlangsung cukup seimbang. Tapi itu tidak melenakan Ki Anjangsana yang sekali-kali mengawasi Ki Hariman yang masih bergeming dengan tatapan mata ke bagian lembah. Dentang senjata beradu, teriakan-teriakan semangat atau makian tidak mampu menarik perhatian Ki Hariman.
Meski demikian, ada sepasang mata yang sepertinya sedang menunggu kelengahan orang-orang Mataram. Ia tidak ingin menampakkan diri lebih awal sebelum benar-benar melihat dan yakin bahwa kelompok Ki Anjangsana akan terlindas.
Pangeran Selarong, yang sejak awal berada terdepan melindungi Panembahan Hanykrawati, merasa lega ketika lontaran anak panah dan lembing mulai berkurang bahkan kemudian berhenti sama sekali. Sejak tekanan lawan digencarkan, ia merasa cemas atas keselamatan ayahnya walau Agung Sedayu selalu berada di dekat raja Mataram tersebut. Keadaan jasmani Panembahan Hanykrawati tidak berada dalam kewajaran. Meski terlihat sigap dan cekatan membantu usaha mengurangi tekanan, kepayahan dan kelelahan jiwani karena deraan sakit sudah tentu mempengaruhi kemampuan Panembahan Hanykrawati.
Dengan berhentinya hujan senjata dari bagian atas tebing, maka siasat dan usaha segenap pengiring Panembahan Hanykrawati itu berhasil. Namun demikian, Pangeran Selarong masih harus merintis jalan karena perkembangan belum dapat dijadikan jaminan bahwa segalanya telah usai.
Sambil melihat kereta kuda yang terbakar, Pangeran Selarong berkata pada Agung Sedayu, “Menurutmu, apakah kita dapat dianggap berhasil meredam mereka?”
“Untuk sementara, ya, benar bila kita berpendapat seperti itu, Pangeran,” jawab Agung Sedayu. “Tapi karena penyergapan ini belum menyentuh seujung ruas kuku Panembahan, jadi…saya kira mereka akan melanjutkan usaha.”
“Bukankah mereka tidak tahu bahwa ayahanda selamat dari bahaya ini?” Meski sorot mata Pangeran Selarong berkilat marah, namun keraguan ternyata masih membayangi hatinya. Agung Sedayu merunduk dalam-dalam. Ia mengerti bahwa pertanyaan itu sudah sewajarnya diungkapkan oleh putra raja Mataram, tapi yang mereka hadapi adalah Raden Atmandaru yang didukung banyak mulut yang haus darah. Oleh sebab itu, Agung Sedayu tidak lantas menjawab Pangeran Selarong. Ia butuh waktu barang sejenak untuk menyusun kata yang sekiranya dapat menumbuhkan keyakinan pada pangeran yang masih berusia muda itu.