Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 101 – Panembahan Hanykrawati : Siasat Cerdas Agung Sedayu

“Kita harus tetap bergerak menuju alas Krapyak,” kata Pangeran Selarong beberapa saat kemudian. “Jika kita kembali ke arah kotaraja, tentu semua orang akan beranggapan bahwa perjalanan ayahanda berakhir di tempat ini.” Ucapan itu diikuti anggukan kepala Panembahan Hanykrawati.

“Pangeran, dapatkah kita pertimbangkan dengan bermalam di sekitar sini?” bertanya Agung Sedayu pada Pangeran Selarong. Agung Sedayu memandang perlu bagi Panembahan Hanykrawati untuk memulihkan ketahanan tubuh.

Pangeran Selarong mengusap kening. Ia melihat pada bayangan yang agak sedikit tegak lurus di bawah batang pohon. “Malam masih terlalu jauh dari sekarang ini, Sedayu,” kata Pangeran Selarong. “Bila dua pasukan kita dapat menguasai keadaan, itu belumlah cukup karena tempat ini masih cukup rawan untuk menerima serangan susulan.” Putra raja Mataram itu lantas memandang wajah ayahnya yang menyiratkan kepayahan. Ucapnya lirih, “Mungkin ayah masih merasa sanggup dan kuat menunggang kuda, tapi kehendak ayah pada saat ini bukanlah keputusan mutlak yang harus saya patuhi.”

Panembahan Hanykrawati mengangguk. Dalam hatinya, ia ingin mengarahkan anaknya supaya mempunyai sikap lebih terhadap Agung Sedayu. Alasan Panembahan Hanykrawati adalah sudah seharusnya keturunan Panembahan Senapati menghormati Agung Sedayu dan keluarganya. Tanpa bantuan Kiai Gringsing dan dua muridnya mungkin jalan menuju pendirian Mataram jauh lebih sulit. Panembahan Hanykrawati akan membicarakan itu dengan Pangeran Selarong bila ada waktu yang leluasa. Pada waktu itu, Panembahan Hanykrawati mendengar seluruh pembicaraan dua orang kepercayaannya itu. Sejenak kemudian, ia memandang wajah Pangeran Selarong sambil mengatakan, “Kita mungkin saja gagal menumpas mereka.” Walau terkesan seperti sedang putus asa, tapi Panembahan Hankykrawati tidak demikian. “Kita juga mungkin saja tidak meninggalkan seorang pun dari pasukan mereka lalu mengambilnya sebagai tawanan.”

loading...

Pangeran Selarong dan Agung Sedayu mengangguk-angguk dengan tatapan mata yang masih cermat mengamati keadaan sekitar mereka.

“Aku tidak ingin mempersulit kalian dengan permintaan yang sudah tentu sulit dipenuhi,” kata Panembahan Hanykrawati lebih lanjut, “meski yang aku inginkan adalah mengikat mereka di tempat ini.” Pemimpin Mataram yang kadang-kadang terlihat jauh lebih tua dari umur sebenarnya itu kemudian menundukkan kepala.

“Perintahkan sesuatu pada kami,” ucap Pangeran Selarong. “Kami sudah siap dengan segala yang akan terjadi.”

“Demikian pula denganku. Aku sudah siap menghadapi keadaan terburuk,” kata Panembahan Hanykrawati dengan sorot mata tegas dan penuh wibawa.

Sejenak kemudian, Panembahan Hanykrawati beranjak. Pangeran Selarong dan Agung Sedayu lantas berbagi tugas. Mereka mulai bergerak. Beberapa prajurit, tanpa peduli dengan sayatan benda tajam yang melukai tubuh, pun berjalan dengan hati yang teguh. Mereka enggan kembali ke kotaraja. Segenap prajurit bahkan berbisik-bisik bahwa mereka lebih suka mati di tempat itu daripada kembali ke kotaraja tapi memikul beban perih yang tak terkira. Tentu saja mereka yakin bahwa pihak lawan akan mengolok-olok atau membicarakan sikap mereka dengan nada sumbang di sudut-sudut kota.

Dengan hati-hati, Pangeran Selarong berkuda paling depan sambil menebar pandangan ke segala arah. Bahwa akan muncul serangan mendadak yang dilakukan pengikut Raden Atmandaru dari segala tempat adalah kemungkinan yang dipertimbangkan olehnya. Di belakangnya berjajar dua pengawal berkuda. Mereka menyusun barisan memanjang dan menempatkan Panembahan pada bagian belakang bersama Agung Sedayu. Kemampuan kanuragan Agung Sedayu dapat menahan serangan dari samping bila itu menyasar bagian tengah. Bila serangan datang dari belakang, Agung Sedayu akan lebih mudah melindungi orang yang paling dihormatinya di Mataram.

Perjalanan itu tidak belangsung dengan cepat. Panembahan Hanykrawati memerintahkan agar berkuda pelan tapi tidak lambat. Itu dimaksudkan agar lawan menjadi gentar karena serangan yang gagal. Sekaligus juga menunjukkan bahwa raja Mataram dan pengikutnya bukan orang yang takut dengan kematian. Di samping Panembahan Hanykrawati.  Agung Sedayu mencanangkan pikiran bahwa di balik setiap gerumbul, setiap pohon, setiap batu yang teronggok ada kekuatan yang siap mengulang serangan.

Semua orang di dalam barisan itu, termasuk Panembahan Hanykrawati, berdebar-debar tapi bukan karena cemas maupun gentar. Mereka sedang bersiaga dengan perasaan tegang sekaligus berharap tidak ada kesulitan yang muncul sebelum keluar dari mulut lembah. Dan bila telah mencapai ujung lembah, mereka akan berjumpa dengan suasana yang berbeda. Setelah melampaui ujung lembah akan terdapat jalan datar yang dibatasi tanah lapang pada sisi kanan dan hutan kecil di bagian kiri, maka itu berarti masih ada tempat tersembunyi bagi kubu Raden Atmandaru untuk melakukan serangan mendadak. Walau demikian, mereka akan tetap gagah berani menyongsongnya walau jumlah lawan jauh lebih banyak dan berlipat-lipat.

“Ujung tebing sudah terlihat. Bahaya masih bersembunyi setelah kita melaluinya,” kata Pangeran Selarong setengah berbisik pada pengawal di belakangnya. Pada waktu itu muncul selarik perasaan khusus pada Agung Sedayu yang diangkat kakeknya menjadi lurah prajurit tanpa pernah menjalani latihan keprajuritan. Perintahnya kemudian, “Katakan itu pada Ki Rangga Agung Sedayu. Kembalilah padaku jika ia sudah mengatakan sesuatu.”

“Saya, Pangeran,” ucap pengawal itu sambil melambatkan kuda. Ia tidak memutar kuda lalu menempuh arah berlawanan agar tidak menarik perhatian para pengintai dari kubu seberang. Sesampainya di dekat Agung Sedayu, pengawal itu memberi tanda agar ia diizinkan untuk mendekat. Agung Sedayu menghentikan kuda sejenak hingga Panembahan Hanykrawati berada di depannya.

Sambil mengangguk, Agung Sedayu berkata, “Apakah kita sudah mendekati ujung lembah?”

“Benar, Ki Rangga. Saya diperintahkan Pangeran Selarong untuk menyampaikan pesan seperti itu,” jawab pengawal Pangeran Selarong.

Panembahan Hanykrawati mendengar ucapan mereka yang berada di belakangnya, lalu berkata, “Sepertinya kita tidak akan menemukan tempat untuk berlindung. Di depan kita adalah lingkungan yang cukup baik jika ingin menyerang dengan  cepat dan sembunyi-sembunyi.”

Agung Sedayu menanggapi dengan senyum kecil. Ketajaman nalar Panembahan Hanykrawati tidak terlalu mengagetkannya. “Benar, Panembahan,” ucap Agung Sedayu kemudian, “bila mau, mereka dapat membuat perlindungan di balik kerapatan hutan tapi itu hanya memudahkan kita bergeser ke tanah lapang.”

“Mereka tidak memiliki nyali yang cukup bila harus membenturkan kekuatan di tempat terbuka. Kelebihan jumlah tidak menjadi persoalan bagi kita dan agaknya mereka tahu itu,” kata Panembahan Hanykrawati kemudian berpaling pada Agung Sedayu yang sudah menempati kedudukan semula.

“Sebenarnya saya ingin mendahului Pangeran Selarong tiba di sisi hutan,” ucap Agung Sedayu sambil merendahkan kepala.

“Baiklah,” kata Panembahan Hanykrawati lalu memberi tanda pada pengawal agar segera melapor pada Pangeran Selarong bahwa Agung Sedayu akan mengamankan bagian depan.

Setelah mengetahui bahwa Panembahan Hanykrawati memberi izin pada Agung Sedayu untuk mendahului iring-iringan, Pangeran Selarong mengangguk-anggukkan lalu merenung sejenak. Pikirnya, jika ia berani meninggalkan rajanya sendirian di belakang, maka pertimbangan masak tentu telah dibuatnya. Meski sangat membahayakan keselamatan Panembahan, tapi keputusan Agung Sedayu pun tidak kalah penting. Sudah barang tentu ia pun tidak menghendaki kebinasaan melanda rombongan ini. Kemudian terbayang oleh Pangeran Selarong sebuah gambaran penyergapan pada bagian depan. Sambil mengingat kebuasan mereka saat menyerang, Pangeran Selarong dapat membayangkan kesulitan yang akan terjadi selanjutnya. Ia pun berkata dalam hati, “Tidak ada kelompok pendukung pada saat ini. Sebagian orang terserap untuk menghancurkan lawan di atas tebing. Bila terjadi serangan rahasia dari depan, oh, agaknya tidak ada waktu untuk berbalik arah atau menghindarinya. Selain itu, para pengkhianat mungkin masih tersisa pada bagian rombongan yang sedang berjalan ini.” Lantas Pangeran Selarong memerintahkan seorang pengawal untuk mengangkat klebet sebagai tanda khusus bagi Agung Sedayu.

Baru saja bendera kecil itu terangkat, sekelebat bayangan yang tidak terlihat tiba-tiba melampaui mereka, lalu dalam sekejap sudah berada jauh di depan!

Pangeran Selarong menarik napas. Batinnya, ia memang pantas menjadi pengawal raja dan Mataram. Orang-orang seperti itu telah mencapai tingkat yang sulit ditemukan tandingannya.

Ki Hariman pun terkejut ketika melihat pergerakan secepat kilat dari atas tebing. Tidak diketahui caranya ketika melontarkan diri namun tiba-tiba sudah meninggalkan rombongan cukup jauh. Ki Hariman hanya melihat sepintas seperti garis lurus bayangan saja dari balik gerumbul yang ditempatinya untuk mengintai. “Siapakah orang itu? Mungkinkah ia adalah Agung Sedayu?” ia bertanya-tanya dalam hati lalu mencari sosok yang paling pantas disebut raja Mataram di antara barisan yang berkuda lambat menuju Alas Krapyak.

Pada waktu itu, benturan antara kelompok yang dipimpin Ki Tumenggung Wilaguna telah terlibat pertempuran sengit menghadapi Ki Anjangsana dan anak buahnya. Para prajurit Mataram berkehai dengan gagah tanpa perisai yang melindungi mereka dari serangan membuta lawan-lawan mereka. Mereka berloncatan maju, menerjang dengan segenap kemampuan tanpa meninggalkan gelar yang telah dipilih Ki Anjangsana untuk pertempuran itu.

Benturan berlangsung cukup cepat. Dalam waktu singkat, sebagian orang sudah menderita luka-luka, baik itu dari kelompok Ki Anjangsana maupun Ki Tumenggung Wilaguna. Meski begitu, luka-luka mereka tampaknya tidak cukup parah sehingga daya gempur dua kubu itu masih tetap sama-sama  kuat. Hanya saja, kerugian sudah pasti diderita oleh kubu Ki Wilaguna karena gagal menjalankan satu rencana yaitu membakar semua orang yang berada di lembah. Kerugian itu adalah keuntungan bagi Mataram karena mereka dapat mengurangi kekuatan yang sedang mengganggu ketenangan itu. Namun demikian, pengikut Raden Atmandaru tidak mengulurkan tangan menyerah. Beberapa orang dalam kelompok kecil segera menebar seolah-olah hendak mengepung barisan Mataram. Gerakan mereka seperti emprit neba yang akan berujung pada gelar supit urang. Diawali dengan  kekacauan, mereka berlari-lari seolah tanpa arah lalu berhenti pada jarak yang terukur sebelum menyerbu gelar prajurit Mataram.

Ki Anjangsana adalah seorang lurah yang berpengalaman luas dan berwawasan cukup, maka ia sangat waspada dengan perubahan itu. Maka darinya keluar seruan agar anak buahnya segera menata diri dalam susunan gelar yang lain. Kesigapan prajurit Mataram memang bukan isapan jempol! Mereka cekatan menarik diri dari ikatan perkelahian lalu mengikuti perintah Ki Anjangsana. Tiba-tiba saja gelar perang diradameta telah tegak tersusun menghadapi serbuan supit urang.

“Ini gila! Benar-benar sekumpulan orang gila dari Mataram!” ucap seorang pemimpin kelompok dari Ki Tumenggung Wilaguna yang menyaksikan perubahan cepat pada barisan yang menjadi lawannya.

Dari jarak belasan langkah lingkar perkelahian terluar, Ki Sanden Merti ternyata menempuh cara yang sama dengan Ki Hariman. Ia bertelungkup sambil mengamati perkembangan serangan yang ditujukan pada Panembahan Hanykrawati. Ia sepertinya sudah berhitung bahwa tidak pelu turun tangan secara langsung hingga tampak arah kemenangan. Seperti yang diduganya semula bahwa keberadaan Panembahan Hanykrawati benar-benar disembunyikan oleh orang-orang terpilih dan terpercaya.  “Mereka tetap bergerak maju dan itu berarti bahwa Raden Mas Jolang masih hidup di tengah-tengah mereka. Pangeran Selarong tidak mungkin meneruskan rencana jika ayahnya terluka atau terbunuh dalam serangan tadi,” ucap Ki Sanden Merti dalam hati. Sejenak kegalauan hinggap di hatinya, apakah ia berpindah tempat atau turut serta menghabisi Ki Anjangsana serta orang-orang  Mataram yang lain?

Pada tebing yang sebelah menyebelah, Ki Baya Aji yang dibantu Kinasih lambat laun mulai dapat menekan lawan. Ki Baya Aji yang berusia lebih banyak dari Agung Sedayu terlihat masih cekatan mengimbangi tata gerak Ki Ental Sewu. Putaran keris Ki Ental Sewu cukup hebat hingga dapat menekan surut Ki Baya Aji. Sadar bahwa ia tidak dapat leluasa mengerahkan segenap kemampuan, maka Ki Baya Aji mengadakan penyesuaian tata gerak. Sekali-kali ia meloncat panjang seakan-akan menghindari serangan lalu mendadak mengubah arah dan menyerang balik dengan tusukan-tusukan yang sangat cepat. Maka perkelahian pun kembali seimbang. Dua orang ini saling bertukar serangan dan juga sama-sama mempunyai pertahanan yang sulit ditembus. Namun dalam waktu yang tidak lama, teriakan bernada geram melengking dari mulut orang-orang yang mengepung Kinasih. Itu benar-benar mengusik ketenangan Ki Ental Sewu.

“Perempuan itu, apakah anak siluman?” geram Ki Ental Sewu bertanya dalam hatinya. “Bagaimana ia dapat menggunakan ranting untuk menahan semua gempuran pengepungnya?”

Jumlah yang tidak seimbang tidak membuat prajurit Mataram mudah terjungkal. Mereka mempunyai kemampuan yang cukup menyulitkan lawan dan Kinasih menjadi senjata yang tidak diperkirakan. Betapa sepak terjang Kinasih, walau hanya bersenjata sebatang ranting pohon, mampu mengikat lawan lima sampai enam orang. Jika Ki Ental Sewu menganggap Kinasih adalah perempuan siluman, bisa jadi itu karena murid Nyi Banyak Patra itu seakan-akan justru sedang mengepung lima lelaki yang menjadi lawannya! Kinasih bertarung sepenuh hati dan dengan sepenuh tenaga meski kadang harus menahan sedikit nyeri pada bagian dalam tubuhnya.

Paket Nasi Kota Surabaya -Bandeng Presto

Melihat kedahsyatan Kinasih bertarung, Ki Ental Sewu pun berharap ada anak buahnya yang sedang berada di atas angin dapat menggantikannya menghadapi Ki Baya Aji. “Jika perempuan itu tetap dalam keadaannya, pertempuran ini tidak akan dapat aku selesaikan,” ucap Ki Ental Sewu. “Aku tidak boleh berakhir di tempat ini. Jadi, sebaiknya memang ada orang yang dapat menghambat orang ini. Perempuan itu tidak ada dalam laporan petugas sandi Raden Atmandaru. Ini semua di luar dugaan!”

Namun Ki Baya Aji dapat menangkap gelagat aneh yang memancar dari cara Ki Ental Sewu memandang pertempuran. “Apakah kau akan melarikan diri dari gelanggang, Ki Sanak?” tanya Ki Baya Aji sambil tersenyum merendahkan lawan.

Demi menutupi muka masam, Ki Ental Sewu menyahut, “Untuk apa lagi perkelahian ini dilanjutkan? Raja kalian telah terbakar, dan mungkin pengawalnya sedang mencari tubuhnya yang hangus di sekitar kereta.”

Ki Baya Aji terdiam sejenak,. Ia berpikir cepat bahwa seharusnya ada peluit atau panah sendaren yang dilepaskan bila Panembahan Hanykrawati dalam keadaan sangat sulit. Tapi dari lembah belum terdengar tanda-tanda yang mengisyaratkan bahaya sedang menikam Panembahan Hanykrawati. Tiba-tiba ia mengucapkan lantang kata-kata yang ditujukan pada prajurit Mataram, “Mataram! Panembahan Hanykrawati telah aman bersama Ki Rangga. Mari kita selesaikan secepatnya perkelahian ini!”

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.