Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 104 – Celah dalam Baju Besi sebagai Siasat Pangeran Selarong

Bayangan pohon tampak sedikit lebih panjang. Keadaan di dalam hutan berangsur menjadi suram dan gelap tapi orang yang tampak oleh Agung Sedayu itu belum bergerak lagi.  Orang asing itu seperti sedang menunggu sesuatu atau mungkin ia sudah mengetahui keberadaan orang lain di dekatnya yaitu Agung Sedayu. Meski demikian, Agung Sedayu sudah memutuskan bahwa ia tidak akan bergerak mendekati atau menjauhi orang itu. Pikirnya, bila seorang petinggi prajurit berjalan di luar perintahnya maka sesuatu telah terjadi dan mungkin sedang berkembang pada saat itu.

Beberapa puluh langkah dari Agung Sedayu, orang yang sebelumnya berkelebat cepat pun berhenti. Di tempatnya, ia berpikir tentang cara menembus pertahanan Mataram yang sudah mulai berkurang kekuatannya. “Bila aku menyerang secara terbuka, itu sudah pasti adalah hal bodoh yang aku lakukan dengan sadar,” katanya dalam hati. “Pangeran Selarong dan Agung Sedayu adalah dua kekuatan yang tidak dapat diremehkan. Tapi, jika aku mengandalkan dua kelompok di atas tebing, maka itu pun juga hal yang sia-sia.” Ia melemparkan pandangan ke arah tebing kembar. Dua kelompok pasukan yang dikirim oleh Raden Atmandaru sepertinya menemui jalan buntu. Mereka terlalu lama dan Panembahan Hanykrawati pun juga sudah bergerak maju, pikir orang itu. Dengan wawasan yang terbuka, ia membuat perkiraan bahwa iring-iringan Panembahan Hanykrawati sudah melampaui mulut lembah.

“Mungkin aku hanya harus menunggu serangan kedua,” kata orang itu pada dirinya sendiri sambil matanya melihat ke atas. Di dalam hutan, hari sudah tampak gelap tetapi keadaan itu belum mencapai tanah lapang yang berada di seberang jalan. Orang ini tidak mempunyai pengetahuan waktu penyerangan dari sayap pemukul lain yang juga sudah mendapat perintah Raden Atmandaru.  “Menimbang keadaan yang begitu senyap ini, aku harus yakin bahwa serangan kedua mempunyai  persiapan yang jauh lebih baik,” desisnya dalam hati. Namun seketika pertanyaan mencuat di dalam pikirannya, siapa orang yang juga melakukan pengamatan ketika mereka sedang menghujani rombongan Panembahan Hanykrawati dengan panah dan lembing? Di mana ia sekarang?

Dalam waktu itu, ketika perintahnya sedang dijalankan oleh para pengawal, Pangeran Selarong  berkata pada Panembahan Hanykrawati, “Sesuatu yang janggal sedang mengitari kita.”

loading...

“Aku serahkan semuanya padamu,” ucap Panembahan Hanykrawati.

Pangeran Selarong mengangguk kemudian berpaling ke arah tebing, lalu katanya sambil mengarahkan ibu jari, “Sudah tidak lagi terdengar keributan dari sana. Semoga dua kelompok kita mampu mengendalikan keadaan.”

“Sebaiknya memang kita berharap seperti itu tanpa mengurangi kewaspadaan.”

“Pengawas yang berada di ujung belakang lingkaran ini akan membuat  isyarat jika melihat pergerakan,“ kata Pangeran Selarong.

“Rencanakan sesuatu,” Panembahan Hanykrawati mendesis tajam dengan mata berkilat-kilat.

Pangeran Selarong menarik diri dengan kening berkerut. Mengapa ayahnya mendadak bersuara dengan nada yang berbeda? Sesuatu yang aneh pasti menarik perhatiannya, Pangeran Selarong menduga. Setelah mengedarkan pandangan berkeliling, bisiknya kemudian, “Saya belum mencapai tataran yang Ayah kuasai.”

“Mereka tidak lengah meski gagal membunuhku atau usaha menghabisi kita sebelumnya. Mungkin ada beberapa orang yang sedang mengawasi dan menunggu kelengahan kita. Anakku, jika kau mau sedikit melihat kedalaman diri, aku pikir itu dapat membantumu untuk melihat sesuatu yang tidak tampak tapi sedang menghantui kita dari dalam bayang-bayang.”

Pangeran Selarong segera melakukan perintah ayahnya. Ia mengatur napas, melonggarkan saraf  lalu membuka semua simpul-simpul yang mengekang kesadarannya. Kesadaran Pangeran Selarong terhadap dirinya sendiri perlahan-lahan terurai. Ia kemudian dapat merasakan serta mengamati getaran-getaran yang memancar di sekitarnya. Ketika sepasang matanya terbuka, ia mengungkapkan dugaannya dengan  pertanyaan, “Ayah, apakah seseorang sedang melepaskan ilmu sirep?”

Panembahan Hanykrawati mengangguk.

“Pada saat hari masih terang seperti ini?”

“Segala sesuatu mempunyai tingkatan dan batasan. Pada tataran tertentu, ilmu sirep hanya dapat dilepaskan saat malam tiba. Namun ketika seseorang benar-benar mendalami serta menguasai dengan cukup baik, ilmu ini dapat dikendalikan sesuai kehendaknya.”

Pangeran Selarong segera bangkit berdiri, memandang dari kejauhan kelompok demi kelompok yang disebar untuk penjagaan, lalu sedikit beringsut maju. “Mungkin sebagian pengawal sedang berjuang melawan kantuknya, dan barangkali juga, kita sedang diawasi di tempat ini,” desah lirih Pangeran Selarong.

“Itu cukup dapat diterima nalar. Sejak keluar dari gerbang keraton, para pengawal tentu sudah membangun pertahanan yang sangat baik di dalam jiwani mereka. Tapi sekarang, mereka mungkin mengalami penurunan jasmani, begitu pula orang yang sedang melepaskan ilmu sirep. Sementara jiwani mereka agaknya, mau tidak mau, harus kita katakan bahwa ada  guncangan. Gejolak naik dan turun yang terjadi di dalam hati mereka akan memengaruhi ketahanan. Mungkin sebagian sadar bahwa dera kantuk yang terjadi sekarang cukup berlebihan, tapi mungkin juga mereka tidak berpikir sampai titik itu. Demikian juga orang yang menyerang akan sulit memusatkan perhatian karena mereka juga tergantung pada siasat yang kau susun.”

“Tidak ada pembicaraan yang agak ramai seperti sebelum ini,” ucap Pangeran Selarong.

“Ambillah sekedar waktu untuk membuat rencana, Ngger,” saran Panembahan Hanykrawati pada putranya yang mungkin sepantaran dengan Sukra.

Sedikit ragu, Pangeran Selarong berkata, “Sebenarnya saya ingin memastikan keadaan dua kelompok terdahulu. Bila mereka mampu menghalau lawan, berapa orang yang terluka? Karena saya kira mereka memang berhasil dalam tugas.”

“Pertimbangan yang cukup baik,” kata Panembahan Hanykrawati dengan rasa lega memenuhi dadanya. Dalam usia dan pengalaman yang sebenarnya cukup jauh dari penilaian cukup, Pangeran Selarong ternyata memiliki wawasan dan pengertian luar biasa. “Aku tegaskan lagi, aku tidak akan mencampuri segala siasat atau keputusanmu. ”Siasat, dari segi apa pun, tetap harus mempertimbangkan pengaruh dan akibat. Ketenangan menjadi perkara yang sangat penting dan harus benar-benar mendapatkan ruang yang cukup dalam hatimu.”

Pangeran Selarong menggali pemahaman hingga yang terdalam. Keinginan dan cita-cita seseorang tidak selalu sama. Dalam rombongannya, sebagian orang sudah memperlihatkan tanda-tanda penyimpangan dan tentu saja secuil benda tajam dapat merusak keutuhan pasukannya. Ia harus dapat mengendalikan keadaan meski dua kemenangan telah tergenggam. Tentu, pikirnya, ia tidak dapat bergerak sendiri untuk mengendalikan orang-orang  yang berada di bawah tanggung jawabnya. Setelah mengedarkan pandangan berkeliling sekali lagi, Pangeran Selarong kemudian berkata, “Kita cukup terbuka berada di tempat ini. Tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri selain pada perlindungan Yang Maha Agung serta kesetiaan sebagian pengawal.”

Panembahan Hanykrawati memandang putranya dengan tatap mata anggun.

“Bisa jadi, bertahan di tempat ini akan menjadi kesalahan bila aku putuskan itu. namun juga bisa berbalik menjadi keberuntungan seandainya aku juga tetapkan kita bermalam di sini. Kekuatan Mataram belum sepenuhnya terhimpun tapi tidak akan mudah bagi mereka mengubur kita di lembah  ini,” ucap Pangeran Selarong dengan nada tegas dan penuh wibawa. Lalu ia menghampiri ayahnya, kemudian membisikkan sesuatu. Sesekali Panembahan Hanykrawati mengangguk-angguk. Kadang-kadang tampak kerut di keningnya.

Pada penghabisan Pangeran Selarong mengurai rencana secara rahasia, Panembahan Hanykrawati tampak bernapas lega. Katanya, “Baik. Mari kita lakukan.” Sepertinya ia dapat menerima siasat Pangeran Selarong yang diungkapkan secara rinci. Menurutnya, siasat itu cukup sederhana tapi akan membuahkan akibat yang sanggup melebur ketahanan jiwani lawan.

Panembahan Hanykrawati kemudian bergerak, berjalan perlahan di depan Pangeran Selarong yang mengiringi dari belakang. Ayah dan anak tersebut sedang mengobarkan pertempuran jiwani. Mereka mendatangi satu demi satu kelompok jaga sambil mengucapkan satu atau dua kalimat. Benarlah perkiraan Pangeran Selarong bahwa pada orang-orang yang melemah semangat, kedekatan jarak Panembahan Hanykrawati dengan mereka mampu menyalakan api yang hampir padam. Hingga sampailah mereka pada kelompok jaga yang di dalamnya terdapat pendukung Raden Atmandaru. Pangeran Selarong hanya memandangi wajah mereka bergantian tanpa mengucap kata. Sedangkan Panembahan Hanykrawati berbahasa melalui sikap tubuh yang terasa seperti pukulan ampuh yang merontokkan seisi dada. Sama sekali tidak ada getar jumawa dari dua orang tersebut. Mereka hanya memegang bahu, mengusap punggung dan sebagainya dengan tujuan memberi semangat dan seakan-akan berkata, “Mataram tidak akan runtuh karena segerombolan orang seperti kalian.”

Pada kenyataannya, baik Pangeran Selarong maupun Panembahan Hanykrawati, masih belum mengetahui dengan pasti orang-orang yang menyembunyikan senjata di tengah lipatan. Namun siasat Pangeran Selarong benar-benar di luar dugaan pendukung Raden Atmandaru. Wibawa agung yang memancar dari Panembahan Hanykrawati seakan-akan menjadi ilmu yang sanggup meruntuhkan kehebatan ilmu sirep yang mereka lepaskan diam-diam. Ketika mimpi kemenangan sudah berada di pelupuk mata, getar wibawa Panembahan Hanykrawati bergerak perlahan kemudian membungkus keampuhan ilmu sirep dengan cara dan kekuatan yang tak terbayangkan. Maka, keyakinan mereka atas siasat dan keunggulan atas penguasaan ilmu sirep pun mulai terkikis. Mereka ingin bertempur tapi tidak ada daya pendukung. Mereka ingin membunuh Panembahan Hanykrawati tapi senjata-senjata telah tumpul tanpa sebab.

Tak lama setelah itu, dua pasukan kecil Mataram tampak mendekati perkemahan Panembahan Hanykrawati. Wajah-wajah yang menyiratkan kelegaan benar-benar tampak memenuhi mulut lembah. Perintah Agung Sedayu telah ditunaikan dengan sangat baik. Dua kekuatan lawan telah mencapai akhir dan tak akan bangkit kembali.  Terselip kebanggaan karena tugas mengawal raja bukanlah pekerjaan yang sekedar dianggap berat, tapi benar-benar menguras pikiran dan perasaan.

Pangeran mengangguk-angguk ketika mendengar laporan dari Ki Anjangsana dan Ki Baya Aji. Ia sedikit mengerutkan kening saat nama Kinasih disebutkan. Nampaknya ia tidak menduga sepak terjang Kinasih sangup memporakporanda kubu lawan. “Lalu, bagaimana keadaan anak itu sekarang?” bertanya Pangeran Selarong pada Ki Baya Aji.

“Ada luka-luka yang pasti dapat menganggu ketahanan tubuhnya. Tapi, Kinasih akan pulih  karena ia sudah dalam perawatan Ki Sadana,” jawab Ki Baya Aji.

“Seberapa lama Ki Sadana memperkirakan gangguan pada Kiansih?”

Ki Baya Aji menoleh pada Ki Anjangsana seola-olah menginginkan persetujuan. Ki Anjangsana mengangguk, lalu Ki Baya Aji menjawab, “Menurutnya, Kinasih butuh istirahat sepenuhnya. Pengerahan-pengerahan kekuatan lebih sudah dinyatakan terlarang baginya oleh Ki Sadana. Pangeran, saya yakin jika Kinasih tunduk pada pesan-pesan Ki Sadana, maka ia akan pulih lebih cepat.”

“Ditambah lagi, anak itu adalah murid Nyi Ageng Banyak Patra yang sudah barang tentu memiliki wawasan dan pengetahuan yang dapat menunjang kesembuhannya,” ucap Ki Anjangsana menyambung perkataan Ki Baya Aji.

Pangeran Selarong bergumam  dengan kepala manggut-manggut. “Baiklah, saya merasa lega dan berterima kasih pada Paman berdua atas perhatian untuk Kinasih,” kata Pangeran Selarong dengan nada merendah. Lalu putra raja ini menjelaskan keadaan terakhir mereka di mulut lembah. “Kita tidak dapat meninggalkan orang-orang yang terluka atau tawanan di tempat ini,” ucap Pangeran Selarong setelah memberi penjelasan. “Sekalipun tetap harus memperhatikan segala kemungkinan yang dapat terjadi, tapi membawa serta tawanan dan prajurit yang terluka sudah menjadi kewajiban kita.

“Saya bisa menerima jika kita membawa yang terluka, lantas, tawanan-tawanan itu…bukankah akan menjadi beban?”

“Paman,” tegas Pangeran Selarong, “saya tidak menutup mata dengan kemungkinan itu. Tapi jika mereka dapat bertindak kejam dengan berusaha membakar kita, bukankah tawanan yang juga orang-orang mereka dapat kita pasang sebagai perisai? Mungkin mereka tidak berharga lagi di mata Raden Atmandaru, tapi bisa mendatangkan keuntungan bagi kita di depan nantinya.” Pangeran Selarong mengarahkan telapak tangannya pada arah Agung Sedayu bersembunyi.

Ki Anjangsana mengerutkan dahi. Sikap Pangeran Selarong, menurutnya, lebih dari sekedar penjelasan atau perintah. Maka ia bertanya kemudian, “Apakah Ki Rangga Agung Sedayu berada di depan kita?”

Pangeran Selarong memberi isyarat agar tidak mengeraskan suara saat menyebut nama orang kepercayaan Panembahan Senapati itu. Lalu ia berkata, “Untuk itulah, saya ingin Ki Lurah berdua memecah pasukan lalu membagi jarak dan waktu perjalanan. Sedapat mungkin kita mengosongkan jalur ini dengan berjalan menyusuri tebing.”

 

Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi tangkapan layar dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

1 comment

Doni Wibisono 27/08/2024 at 10:13

bagus dan terima kasih pencerahannya

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.