Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 6

Tidak membutuhkan waktu lama, mereka berempat sudah menginjakkan kaki di puncak tanjakan. Dari ketinggian itu, terhampar di bawah kaki mereka adalah dusun kecil bagian dari sebuah pedukuhan yang berada di antara jalan utama yang menghubungkan Gondang Wates dengan pedukuhan induk. Mereka dapat melihat kepulan-kepulan asap yang muncul dari sela-sela atap rumah penduduk dusun. Sedikit jauh ke samping atau sebelah luar, sejumlah tempat mengepulkan asap lebih tebal. Mungkin itu adalah pembakaran jerami sisa panen yang masih basah yang dilakukan oleh para petani. Terlihat pula aliran air dari sungai kecil yang membelah dusun yang tidak berpenghuni padat. Apabila mereka berjalan lagi, ada sebuah gundukan tanah yang menyerupai sebuah bukit. Mereka akan mengambil jalan tersulit, yaitu melewati belukar yang sangat rapat dan menyembunyikan sedikit ceruk yang sangat terjal. Mereka harus menempuh jalan itu agar tidak terpantau oleh orang-orang Raden Atmandaru yang mungkin sedang meronda.

Melalui sebuah tanda, Pangeran Purbaya memerintahkan tiga pengiringnya agar tidak terlalu membuka diri. Mereka berhenti. Atas perintah Pangeran Purbaya, mereka duduk melingkar di bawah pohon kelapa. Selanjutnya, Pangeran Purbaya terlibat perbincangan sungguh-sungguh dengan Sukra dan dua pengawal kademangan.

Pangeran Purbaya bertanya mengenai kedudukan Pandan Wangi dan Swandaru. Namun dua pengawal kademangan hanya dapat memberikan sebuah keterangan saja, yaitu bangunan yang menjadi tempat Pandan Wangi mengatur pertahanan. Sedangkan perihal Swandaru, seorang pengawal menjawab, “Kami tidak mengetahui keberadaan Ki Swandaru, Pangeran. Memang benar kami sudah mendengar bahwasanya beliau telah berada di Sangkal Putung, tetapi kami belum bertemu dengan beliau sama sekali.”

Sukra lantas menambahkan bahwa ia pernah melihat Swandaru beserta sejumlah pengawal terlibat dalam perbantahan keras. Kata Sukra, “Saya mendengar Ki Swandaru meminta pengawal untuk mengiringinya menuju Gondang Wates.”

loading...

“Dengan siapakah engkau ketika menyaksikan peristiwa itu?” tanya Pangeran Purbaya.

“Kiai Bagaswara,” jawab Sukra singkat.

Pangeran Purbaya terdengar bergumam lirih. Lantas Pangeran Purbaya meminta dua pengawal kademangan agar menerangkan tindakan-tindakan Pandan Wangi sebanyak yang mereka tahu atau mereka dengar.

“Sejak beliau mengambil tempat di Gondang Wates atas perintah Ki Rangga Agung Sedayu, Nyi Pandan Wangi memerintahkan kami agar meningkatkan perondaan. Mencari dan menanyai setiap orang yang kami curigai. Kami menjelajahi perbukitan, lereng dan lembah agar kami juga dapat memberi gambaran-gambaran yang mungkin dibutuhkan beliau,” ungkap seorang pengawal yang bernama Prasetya.

“Mungkin keputusan Pandan Wangi itu juga menjadi sebab kelumpuhan penggagas makar,” kata Pangeran Purbaya.

Tiga pasang mata memandangnya dengan raut wajah penasaran. Pangeran Purbaya tersenyum, lalu  katanya, “Perondaan ketat yang digagas oleh Pandan Wangi tentu bukan kegiatan ronda biasa. Pandan Wangi sudah pasti paham tentang pengaturan waktu, jumlah orang pada setiap kelompok dan pembagian wilayah ronda serta gardu-gardu atau pategalan yang menjadi tempat pertemuan para peronda. Untuk perencanaan seperti itu, jangan ada pertanyaan di dalam hati kalian, ‘bagaimana Pandan Wangi dapat melakukan tanpa Swandaru?’. Ingat, Pandan Wangi adalah putri Ki Gede Menoreh dan ia juga mempunyai pergaulan luas di kalangan prajurit pasukan khusus yang ada di Menoreh.”

Sebagian sisi pegunungan dan bukit-bukit terlihat dan sebentar lagi menuju pekat. Matahari menuruni lereng Merbabu tanpa mengucapkan kata lelah. Ratusan atau ribuan kelelawar mengawali waktu yang disediakan untuk mereka dengan kepak-kepak sayap serta suara mendecit.

“Pangeran,” tanya Prasetya, “apakah mungkin musuh juga menggunakan cara yang sama?”

Pangeran Purbaya memejamkan mata. Ia tidakingin tergesa-gesa menjawab pertanyaan yangsebenarnya sudah diduga olehnya. Bahkan, pertanyaan itu pun muncul pula di dalam benaknya. Sejenak terdengar Pangeran Purbaya menarik napas panjang, kemudian katanya, “Tidak tertutup kemungkinan bila mereka menggunakan siasat yang sama. Bagaimana engkau dapat mengira hal itu?”

Nyuwun duka, Pangeran,” jawab Prasetya, “sebenarnya pertanyaan itu sudah menjadi kegelisahan bagi kami – para pengawal. Bantuan yang tak kunjung datang dari Mataram membuat kami bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang terjadi? Jujur, kami tetap berusaha agar mampu berpikir baik mengenai Ki Patih Mandaraka dan Panembahan Hanykrawati, tetapi kabar burung yang mereka sebarkan cukup membuat resah sebagian teman-teman kami.”

“Apa yang kalian dengar?” Pangeran Purbaya bertanya.

“Kebanyakan orang mengatakan bahwa Mataram melepas tangannya terhadap segala yang terjadi di Sangkal Putung dan Jati Anom. Tentu kami tidak semudah persangkaan mereka yang mengharapkan kami putus asa pada Mataram. Pangeran, untuk beberapa waktu, kami merasa sendirian hingga kedatangan Ki Rangga Agung Sedayu pada akhir malam,” terang Prasetya. “Lalu, kepercayaan diri dan dan keyakinan kami benar-benar bangkit ketika Kiai Bagaswara, Sukra serta Sayoga datang di saat-saat yang genting.”

“Terima kasih,” ucap Pangeran Purbaya sambil menghadapkan wajah pada Sukra. “Sudah barang tentu kedatangan mereka adalah permintaan atau perintah dari Ki Gede Menoreh.” Sejenak kemudian Pangeran Purbaya memandang bergantian pada dua pengawal kademangan, lalu katanya, “Terima kasih karena kalian dan Sangkal Putung tidak terburu mengikis kepercayaan pada kami. Terima kasih.”

“Kami, Pangeran,”sahut dua pengawal kademangan serempak. Dalam sekejap, kawan Prasetya terlihat akan membuka mulut tetapi ia mengurungkan maksudnya.

Hal itu tertangkap oleh sudut mata Pangeran Purbaya, kata putra Panembahan Senapati itu kemudian, “Barangkali ada sesuatu yang sedang mengganjal dalam hatimu. Katakan.”

“Saya, Pangeran,” katanya dengan suara bergetar, “keadaan ini adalah salah satu kesulitan yang sedang kami hadapi. Maksud saya, terjadi pemutusan hubungan di semua jalur. Anu…bukan seperti itu sebenarnya…tetapi…“ Pengawal yang bernama Lamija ini terlihat gugup. Ya, baginya, duduk berhadapan dan berdekatan dengan salah satu orang yang disegani di Mataram sudah membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ini seperti sebuah mimpi. Bagaimana seorang petani tiba-tiba menjadi teman seperjalanan seorang pangeran? Hatinya dipenuhi dengan perasaan seperti itu sejak ia tahu bahwa orang yang datang bersama Sukra adalah Pangeran Purbaya. Terlebih tindakan Pangeran Purbaya ketika memutuskan hukuman bagi para pemberontak itu dinilainya cukup sangar. Ia belum pernah melihat kejadian semacam itu sebelumnya.

Pangeran Purbaya tersenyum saat melihat kegugupan terjadi di depannya. “Baiklah, aku tunggu keteranganmu walaupun kita harus duduk di tempat ini hingga tengah malam.“

Lamija menggamit Prasetya agar melanjutkan penjelasannya. Prasetya mengerutkan kening lalu bertanya dengan gerakan mulut tetapi tanpa suara. Lamija menggoyangkan dua tangannya sambil menunjuk ujung hutan yang terletak di sebelah selatan mereka.

“Oh,” seru Prasetya dengan nada tertahan.

“Bagaimana?” Pangeran Purbaya menatap lekat Prasetya.

“Pangeran,” kata Prasetya sejenak setelah dapat mengerti maksud Lamija. “Hampir ada yang terlewat dari keterangan yang kami berikan pada Pangeran. Kami terbantu oleh seseorang ketika menjalankan kegiatan ronda.”

“Terbantu? Berarti ada perbuatan yang sengaja dilakukan oleh orang yang kalian maksudkan, ”Pangeran Purbaya berkata dengan alis tertaut. “Dalam hal apakah itu?”

Prasetya cukup berhati-hati ketika akan melanjutkan keterangan. Pertolongan itu sebenarnya masih samar bagi mereka. Ada dua hal yang membuat Prasetya – yang berkedudukan sebagai kepala pengawal pedukuhan di Kademangan Sangkal Putung – harus bersikap bijaksana untuk penyampaian keterangan ini. Pertama, Pandan Wangi sebelum membuat kesimpulan bahwa sang penolong memang berpihak pada Mataram. Kedua, ia belum mendapatkan keterangan mengenai tempat persembunyian penolong mereka.

“Izinkan saya menyela, Pangeran,” kata Sukra dengan suara renda.

Pangeran Purbaya menggerakkan tangan pada Prasetya seolah pemberian izin itu tergantung padanya. Prasetya mengangguk, bahkan ia merasa tertolong dengan waktu yang terulur tanpa diminta. Kata Pangeran Purbaya, “Silahkan, Sukra.”

“Jika semalam kita telah bertemu lalu bentrok dengan mereka, besar kemungkinan ada benturan-benturan yang cukup keras di kademangan, terutama pedukuhan – maksud saya begitu,” Sukra berkata. “Apalagi Kakang berdua juga menjelaskan adanya seorang penolong yang bergerak secara sembunyi-sembunyi di pedukuhan. Maksud saya, begini, apakah sudah ada seseorang atau beberapa yang menjadi korban dari benturan-benturan itu?

“Sudah tentu ada, Sukra. Kami sering dilanda resah setiap kali akan menjalankan perondaan. Meski demikian, setiap kali kami berangkat, kami juga ingin sekali dapat bertemu mereka lalu bertempur dalam arti sebenarnya.”

“Bertempur dalam arti sebenarnya,” ulang Pangeran Purbaya dengan suara lirih lalu ia bergumam.

“Benar, Pangeran. Sepertinya mereka juga menerapkan siasat yang nyaris sama persis dengan yang diperintahkan Nyi Pandan Wangi pada segenap pengawal pedukuhan. Sergap, pukul lalu bersembunyi,” jelas Prasetya. “Yang terjadi selanjutnya adalah penyergapan dilakukan bergantian. Kadang kami yang menyergap mereka terlebih dahulu. Kadang-kadang juga mereka yang menyerang kami di tempat yang berbeda-beda. Beberapa peronda tidak dapat selamat. Mungkin jumlah kami yang tidak selamat lebih banyak dari mereka. Ini yang membuat kami gelisah, terutama Nyi Pandan Wangi.”

“Lalu datang penolong itu kemudian ia bertempur di sisi kalian?”

“Benar, Pangeran.”

“Seorang diri?”

“Ya, Pangeran.”

“Dapatkah kalian mengingat ciri atau tanda khusus yang dapat menjadi perbedaan?”

Prasetya dan Lamija menggeleng.

Lantas Pangeran Purbaya berpaling pada Sukra sambil bertanya, “Apakah mungkin Ki Gede Menoreh mengirim orang lagi ke Sangkal Putung?“

“Saya tidak berani membuat dugaan, Pangeran. Pesan Ki Gede pada kami ketika menjatuhkan perintah hanyalah bergerak ke Sangkal Putung lalu beri pertolongan. Itu saja, Pangeran.”

Lagi-lagi Pangeran Purbaya  mengerutkan kening. Pikirnya, ini pertanyaan yang membutuhkan jawaban sebelum mereka menyusup masuk ke Gondang Wates. Siapa orang itu? Kemudian, untuk sekian kali, Pangeran Purbaya menatap lekat-lekat tiga wajah yang sedang memandang rumput yang berada di bawah mereka.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 87

kibanjarasman

2 comments

brio 12/01/2022 at 21:17

Geger Alas Krapyak 7 sudah ada kangmas…..

Reply
kibanjarasman 13/01/2022 at 12:37

barusan otewe, ki

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.