Padepokan Witasem
api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 116 – Kekuatan Ucapan Panembahan Hanykrawati

Debar jantung orang-orang semakin kuat memukul rongga dada masing-masing. Mereka tertegun dan terguncang ketika menyaksikan tubuh Panembahan Hanykrawati bersandar lemas pada dada Ki Anjangsana. Meski mereka dapat melihat bahwa dada Panembahan Hanykrawati masih bergerak turun dan naik, namun itu tidak dapat menyingkirkan rasa cemas dari hati mereka. Mereka terdiam menahan murak yang bercampur baur dengan kepedihan. Sejenak mereka mengenang betapa Mataram belum juga tiba di ambang perdamaian. Seolah-olah seluruh yang telah dibina dan dibangun sejak zaman Panembahan Senapati mulai rontok dan berguguran seperti daun kering menjelang musim hujan.

Dalam waktu itu, Ki Sadana bekerja tangkas menangani Panembahan Hanykrawati dengan dibantu Kinasih yang cekatan mempersiapkan segala kebutuhan Ki Sadana. Pada ruang pikirannya, Ki Sadana lebih cenderung untuk membawa kembali Panembahan Hanykrawati ke kotaraja. Namun itu sudah tentu tidak dapat dilakukannya tanpa pertimbangan masak dari Pangeran Selarong serta Panembahan Hanykrawati sendiri.

Pangeran Selarong tampak berjalan perlahan dengan dipapah oleh dua senapati. Beberapa saat kemudian, Pangeran Selarong duduk di dekat Ki Sadana sambil mengamati dengan cermat pekerjaan dua juru sembuh yang sedang berjuang keras memperkuat daya tahan Panembahan Hanykrawati.

“Apakah Panembahan dapat diselamatkan, Ki Sadana?” tanya pelan Pangeran Selarong.

loading...

“Saya, Pangeran,” jawab Ki Sadana dengan nada rendah. “Keselamatan sejati berada di tangan Yang Maha Kuasa. Sementara saya, Pangeran dan orang-orang tetap keras memperjuangkan harapan serta daya upaya.”

api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu

Bab 6 Geger Alas Krapyak sudah tersedia dalam pdf. Hubungi nomor WA di bawah untuk keterangan lebih lanjut.

Pangeran Selarong menarik napas panjang. Ia pun memperhatikan keadaannya sendiri. “Aku akan pulih dalam waktu yang singkat, tapi apa artinya bila ayah masih dalam kesulitan?” ucap Pangeran Selarong dalam hati. Kemudian ia bertanya lagi pada Ki Sadana, “Apakah kesehatan Panembahan memungkinkan bila kita tetap bergerak menuju Alas Krapyak? Atau Ki Sadana mempunyai saran lain?”

“Saya, Pangeran,” jawab Ki Sadana dengan nada rendah. “Tentu saja saya tidak ingin melampaui kehendak Panembahan dan Pangeran sendiri.”

“Ungkapkan saja,” perintah Pangeran Selarong.

Ki Sadana merenung sejenak lalu memandang Ki Baya Aji, lantas juru sembuh itu menundukkan wajah dalam-dalam.

Ki Baya Aji mengangguk, kemudian berkata, “Pangeran, bila kita mengambil waktu semalam lagi untuk berkemah di tempat ini, tentu ada bahaya yang sama seandainya kita melanjutkan perjalanan.“ Ki Baya Aji memandang sekitar lalu menyambung ucapan, “Apakah ada ancaman lagi atau tidak? Kita tidak pernah tahu. Para pengkhianat seperti tidak ada habisnya silih berganti berlomba-lomba mengambil hidup Panembahan.”

“Segalanya adalah titipan, Kiai,” ujaran Panembahan Hanykrawati ini ditujukan pada Ki Sadana namun diselingi sedikit erangan.

Orang-orang tersentak tapi mereka pun tidak tahu, apakah harus gembira atau tetap berundung sedih? Semula mereka mengira Panembahan Hanykrawati masih dalam keadaan tidak sadar.

Kemudian Panembahan Hanykrawati memandang Ki Baya Aji lalu orang-orang sekelilingnya. Katanya kemudian, “Bila tidak ada keberatan, aku ingin sebagian orang bersedia memberiku ruang.”

Sejenak para pengawal bertukar pandang. Ada sirat mata keberatan tapi itulah perintah pemimpin mereka. Maka mereka pun melangkah mundur hingga kerumunan itu seakan berubah menjadi lingkaran orang-orang yang mengitari api unggun. Dalam waktu itu, seumlah orang yang teliti melihat perkembangan pun segera berbisik-bisik memberitakan hal baik itu pada rekan-rekannya. Orang-orang pun berbunga hati. Semangat mereka kembali membuncah. Ketenangan pun melanda sekitar lembah.

Panembahan Hanykrawati terlihat seperti sedang mengumpulkan kekuatan, lalu berusaha duduk tegak dengan mandiri. Sejenak kemudian, beliau berkata, “Seperti inilah yang kerap terjadi di sekitar lingkaran kekuasaan, baik pada masa lalu, sekarang dan hari-hari yang akan datang. Selalu ada orang yang orang yang tetap menginginkan kekacauan di Mataram. Mereka dapat membunuh manusia lain tanpa perhitungan maupun pertimbangan bahwa mereka juga mempunyai keluarga, sanak kadang, kerabat dan tetangga. Mereka tidak akan merasa susah atau kehilangan ketika satu demi satu kehidupan bertukar tempat dengan kematian.”

“Panembahan…,” kata Ki Sadana dengan gerak tubuh yang seolah ingin Panembahan Hanykrawati tidak banyak bersuara dan bergerak. Juru sembuh ini segera meminta orang-orang menyiapkan tandu agar Panembahan Hanykrawati dapat berbaring dengan layak.

“Jangan… tidak… tidak perlu,” perintah Panembahan Hanykrawati. “Meskipun aku masih bersusah payah, tapi jangan memberi kesan pada musuh bahwa aku sedang dalam keadaan lemah. Tetaplah seperti ini.”

Kepada Ki Baya Aji, Panembahan Hanykrawati kemudian bertanya, “Bagaimana keadaan Agung Sedayu?”

“Saya, Panembahan,” jawab Ki Baya Aji, “dua pendamping Ki Rangga belum memberi laporan. Saya pun tidak berani mengurangi kekuatan yang ada di sini untuk memantau perkembangan di mulut lembah.”

Panembahan Hanykrawati mengatur pernapasan sedikit lebih lama sebelum menanggapi Ki Baya Aji. Beliau dapat menguasai perasaan. Oleh karena itu, perkembangan yang terjadi pun masuk dalam benak dan hati dengan segala perhitungan dan pertimbangan. Wajah Panembahan Hanykrawati mulai berangsur-angsur tampak bercahaya, atau lebih tepatnya ; seperti tidak ada kejadian genting yang dialaminya. Padahal sejurus waktu yang lalu, Panembahan Hanykrawati berada di persimpangan dua alam yang bertolak belakang!

Bola mata Panembahan Hanykrawati berputar seperti sedang mencari seseorang. Ketika tatap matanya bertemu dengan sorot mata Pangeran Selarong, Panembahan Hanykrawati mengerti ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh anaknya, dan itu masalah yang cukup besar. Kemudian beliau bertanya, “Apakah Pangeran mempunyai pemikiran lain?”

Pangeran Selarong benar-benar dalam keraguan. Bahkan darahnya mendesir lebih cepat sehingga mengusik jalan pikirannya yang sempat tenang. Pangeran Mataram ini tidak segera menjawab. Ia sedang memusatkan pikiran agar dapat memberi jawaban. Maka terdengar darinya beberapa helaan napas panjang. Kemudian ia berkata, “Bila bermalam, maka, itu bisa menimbulkan kesan bahwa pertahanan kita sudah melemah. Namun musuh pun sudah tentu telah disibukkan oleh Ki Rangga. Saya bisa seyakin itu karena Ki Grobogsan Sewu dan Ki Banyudana pun tak kunjung kembali dalam waku yang cukup lama ini. Mereka bertiga sudah pasti menemukan ketidakberesan dan sedang mengamankannya demi Panembahan.”

Panembahan Hanykrawati mengangguk. Pendapat Pangeran Selarong sama dengan yang berada di dalam pikirannya. Kemudian Panembahan Hanykrawati meminta Ki Baya Aji dan Ki Anjangsana lebih mendekat. Perintahnya kemudian, “Lakukan segala sesuatu yang diperlukan dan sesuaikan dengan perintah Pangeran Selarong.”

“Panembahan,” jawab dua lurah Mataram berwawasan luas itu pun segera melaksanakan tugas usai mendengar penjelasan Pangeran Selarong.

Maka kesibukan pun kemudian terlihat di sekitar tempat itu. Ki Baya Aji dan Ki Anjangsana segera berbagi tugas. Mereka membuat dua kelompok besar lalu diikuti kelompok pendukung yang terdiri dari sedikit orang.

Beberapa senapati mengerutkan kening ketika mendapatkan perintah untuk mendirikan tenda. Mereka melirik pada arah matahari. Keadaan belumlah gelap atau muram untuk menyiapkan perkemahan  Tapi benarkah mereka akan bermalam? Tapi mengapa simpul-simpul tali dan pasak tidak boleh dibuat dengan kuat?

Dapat dipesan untuk PDF. Klik di sini

Dalam waktu singkat, tenda-tenda untuk bermalam pun terpasang. Sesuai perintah Pangeran Selarong, mereka akan menyisakan sedikit penjaga saja. Selebihnya harus berada di dalam tenda bersama senapati masing-masing. Sementara yang menjadi pemimpin penjagaan adalah Ki Baya Aji dibantu Ki Anjangsana sebagai senapati peronda. Sedangkan Kinasih, atas pertimbangan kelebihan  ilmunya meski luka-luka, ditempatkan pada kedudukan tersendiri yang berjarak belasan langkah dari tenda raja.

“Pangeran,” kata Panembahan Hanykrawati ketika mereka sudah duduk berhadapan di dalam tenda. “Sebagai orang tua, sudah barang tentu aku tidak ingin ada perpecahan di dalam keluarga sendiri. Aku pun tidak ingin kau berada atau berat pada salah satu pihak.”

“Tentang apakah ini, Ayah?” tanya Pangeran Selarong.

“Pangeran, ayah tidak menganggapmu sebagai saudara muda Pangeran Mas Jatmika lalu tidak mempunyai untuk berbuat atau mengatakan sesuatu. Pada usiamu sekarang dan pembelajaran serta pergaulan dengan banyak orang, terutama ketika bersama para sesepuh yang linuwih dan waskita, ayah meyakini bahwa engkau telah mengerti kata sepuh itu sendiri.”

Pangeran Selarong menundukkan wajah dalam-dalam.

“Sesepuh…sepuh,” desah Panembahan Hanykrawati diiringi napas perlahan. “Menjadi sepuh, seseorang sudah dapat dianggap atau dinilai telah selesai dengan segala urusan yang terhubung dengan perut atau kesukaan. Ia tidak lagi meneteskan liur ketika melihat kekuasaan dan tidak pula ingin berebut. Ia sudah berhenti mengejar segala kesenangan karena telah berada sebuah ruang yang disebut kesempurnaan. Kesempurnaan sendiri adalah sudut pandang lain dari apa yang kita anggap sebagai kecukupan. Sesepuh atau sepuh adalah keadaan yang menuntut, terutama menurut ayah sendiri, ketenangan walau dipaksakan. Jika Pangeran bertanya, apakah ayah dapat tenang dengan segala perbedaan di kraton antara Kakang Mas Wuryah dengan Kakang Mas Jatmika? Tentu aku dapat memberimu jawaban sekarang ; aku tidak pernah tenang.”

Pangeran Selarong masih dalam keadaannya.

“Ayah sudah mempunyai penilaian tersendiri untukmu. Ayah pun yakin bahwa kau cukup dewasa  untuk menentukan bersikap dan berbuat. Bila ada satu atau dua yang membuat kita berada di persimpangan, itu karena Pangeran Selarong sudah berhasil membentuk dirinya sendiri. Ayah dapat menuntutmu tetap setia pada perintah ayah sebagai raja. Namun ayah tidak dapat memaksamu ketika sebuah keputusan muncul sebagai seorang ayah. Mungkin dalam hatimu sudah muncul kecenderungan untuk memihak Kakang Mas Wuryah sebagai pengganti ayah. Mungkin pula sebaliknya bahwa Pangeran Selarong lebih cocok berada di belakang Kakang Mas Rangsang. Itu semua akan dihormati oleh ayah selama kau dapat menjaga keutuhan Mataram.”

Pangeran Selarong merenung. Pikirnya, ada waktu untuk membicarakan itu semua dengan saudara-saudaranya karena yang menjadi perhatian sekarang adalah keselamatan sang raja Mataram. Maka ia pun tidak segera menanggapi Panembahan Hanykrawati. Meski demikian, ia sadar bahwa ayahnya, Panembahan Hanykrawati, sedang menanggung sesuatu yang sangat besar dan memilih untuk dihadapinya sendiri. Pangeran Selarong tidak berkata-kata. Sambil bersimpuh, putra raja itu lantas meraih punggung tangan Panembahan Hanykrawati lalu diletakkan sepenuhnya tepat pada wajahnya sendiri sebagai tanda bakti seorang anak. Sejenak perasaan duka menguasai seluruh perasaan Pangeran Selarong. Pangeran tangguh Mataram ini seperti sedang mendengarkan ucapan berpisah dari ayahnya. Hampir saja ia tidak dapat menahan ledakan yang berdentum sangat keras di dalam dadanya. Pangeran Selarong pun sangat cemas saat mengenang kata Panembahan Hanykrawati, ”… kau dapat menjaga keutuhan Mataram.”

Untuk sejenak waktu, keheningan merayapi udara di dalam tenda. Panembahan Hanykrawati duduk bersila dengan mata batin sedang memandang semesta. Ia sudah cukup jauh dari hiruk pikuk segala yang melingkarinya. Dalam waktu itu, Panembahan Hanykrawati beranjak sesuai dengan usia dan kedudukannya. Menjadi sepuh, seperti yang dikatakan pada Pangeran Selarong, berarti sudah mengikis segala keterkaitan dengan angkara maupun kemurkaan atau segala sesuatu demi kepuasan yang tidak sempurna. Sedangkan Pangeran Selarong, meski tidak berada dalam tataran yang sama dengan Panembahan Hanykrawati, pun merenungkan nasib Mataram pada masa mendatang. Bahwa Panembahan Hanykrawati tidak mungkin hidup selamanya adalah keniscayaan. Oleh karena itu, ia merasa harus dapat berada di tengah-tengah orang-orang yang berselisih pendapat. Saat merasa waktunya tiba, Pangeran Selarong meminta diri pada Panembahan Hanykrawati untuk mempersiapkan perjalanan ke Alas Krapyak.

Di luar tenda, Pangeran Selarong memanggil seorang penjaga agar menemui Ki Baya Aji lalu meminta lurah tersebut mengumandangkan perintah agar para pengiring segera bersiap. Sejenak kemudian terdengar suitan panjang. Para prajurit dan senapati mereka bergegas keluar dari tenda lalu melipat serta memberesi segala perlengkapan. Mereka tidak bertanya-tanya lagi alasan percepatan. Mereka tunduk pada perintah Pangeran Selarong tanpa syarat.

Di tengah-tengah kesibukan itu, seorang prajurit berpangkat rangga yang menjadi ketua kelompok peronda menyelinap keluar dari perkemahan. Ia melompati kubangan kering, kemudian berlari cepat menuju empat batang pohon randu yang tumbuh berdekatan. Setiba di tempat itu, prajurit tersebut merundukkan wajah seperti sedang mencari sesuatu yang terjatuh dari langit. Ia melihat sebuah benda menderas ke tempat yang dipijaknya sekarang. Di manakah benda itu? ia memperkirakan benda itu adalah keris Ki Sawala yang dilontarkan pada Panembahan Hanykrawati namun tidak mengenai sasaran. Ia segera berjalan jongkok, meraih ranting kering lalu menyapu hingga sepanjang ranting tersebut. Ia tertegun ketika ranting menyentuh benda keras. Ia mengulang sentuhan lalu memukul  dengan ringan. “Oh, benarlah,” kata rangga tersebut. Ia membolak balik keris yang menjadi senjata Ki Sawala sambil bergumam, “Sangat disayangkan bila kau teronggok di tempat ini lalu terlupakan. Untunglah aku tahu kekuatanmu melalui hawa yang memancar darimu. Benar-benar bodoh orang itu. Benar-benar bodoh.” Sekejap kemudian keris itu pun berpindah ke balik pakaian rangga tersebut. Setelah memastikan bahwa tidak ada orang yang melihatnya, rangga itu pun bergerak kembali menuju perkemahan.

Tidak lama setelah rangga itu bergabung lagi pada kelompoknya, rombongan Panembahan Hanykrawati pun bergerak. Keberangkatan yang dimulai dari lembah sangat berbeda jauh dibandingkan saat mereka bermula dari kotaraja. Beberapa orang tampak kepayahan karena luka-luka. Sebagian lagi tidak dapat menyembunyikan kelelahan jiwani. Namun begitu, secara keseluruhan, setiap orang berada dalam kesiagaan dan kewaspadaan penuh.

Tanpa diketahui seorang pun, tubuh Ki Sawala tiba-tiba berada di samping jalur yang akan dilewati. Para prajurit bertukar pandang dengan kerutan alis yang tidak menyenangkan. Sementara para senapati telah sibuk mencari pemecahan di dalam pikiran masing-masing. Siapakah yang memindahkan tubuh tak bergerak seorang pengkhianat? Meski tidak merintangi jalan tapi setiap pasang mata akan mudah melihat Ki Sawala yang masih hangat dan membujur lintang. Sangat mengganggu pandangan tapi juga ada kemungkinan mengandung pesan tajam dari seseorang.

Pada jalanan yang searah menuju Alas Krapyak, pertempuran Agung Sedayu masih berlangsung sengit. Keseimbangan masih terjaga namun Agung Sedayu sedikit demi sedikit mulai mengetrapkan gabungan dua kekuatan besar yang mengalir di dalam dirinya. Ya, tenaga cadangan yang bersumber dari ajaran Kiai Gringsing berpadu dengan tata gerak ajaib dari perguruan Ki Sadewa dan hasilnya benar-benar mencengangkan! Bagi Ki Sanden Merti, pertarungan melawan Agung Sedayu terasa seperti bertarung melawan banyak orang yang berkemampuan setingkat dengannya. Seorang diri saja tapi Agung Sedayu seakan mampu menyerang dan mengurungnya dari segala penjuru. Setiap kali ia melangkah atau menggeser kaki, Agung Sedayu sanggup memotong lintasannya atau bergerak lebih cepat darinya. Itu tak lain karena jalur ilmu perguruan Ki Sadewa mempunyai dasar tata gerak yang memungkinkan Agung Sedayu bergerak sesuai kehendaknya. Dan satu kehebatan lain adalah pergerakan itu dapat dilakukan  tanpa mengabaikan sisi pertahanan!

Dalam pertempuran itu, Ki Sanden Merti harus berjuang mati-matian mempertahankan kedudukan agar tetap seimbang. Meski belum ada lecet pada kulit atau memar pada bagian tubuh yang lain, Ki Sanden Merti benar-benar harus menguras tenaga dan segenap pikiran untuk membendung serangan Agung Sedayu. Ada larik keputusasaan ketika pertahanan Agung Sedayu tak juga tumbang oleh serangannya. Bahkan seiring dengan perjalanan matahari meninggalkan puncak kedudukan, Ki Sanden Merti seakan-akan turut terbenam.

 

Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah tamat. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.